Held To Death

farahatus saniyah al barkah
Chapter #1

01

Tanganku diikat.

Tali rotan kasar, bau bensin. Lantai dingin. Bau darah mengering.

Ayahku berdiri di atas kepala. Matanya merah bukan karena tangis, tapi karena minuman keras.

Tangan kanannya membawa sabuk, tangan kirinya membawa kebencian.

"Kamu pikir kamu bisa sembunyi dari siapa, hah?"

Aku masih kecil waktu itu. Tapi aku sudah tahu:

tidak semua anak lahir untuk dicintai.

Suara sabuk itu memotong udara sebelum memotong punggungku.Satu kali. Dua kali. Aku berhenti menghitung di pukulan ketiga karena yang tersisa cuma rasa besi di mulut.

Bahkan ibuku... tidak menyelamatkanku.

Ia hanya menutup pintu, dan membiarkan aku belajar sendiri bahwa rasa sakit adalah warisan.

Aluna terbangun dari tidurnya.

Keringat menetes dari pelipis. Bantal basah. Nafasnya nampak sesak, seperti paru-parunya yang masih berada di ruang tamu rumah tua itu.

Aluna milirik nakas sebelah tempat tidur jam menunjukan pukul 06.15 pagi,matahari mulai naik sedikit terik cahayanya mulai menyusup ke sela jendela kamar.

Tubuhnya terduduk lemas di tepi ranjang, punggungnya basah oleh keringat, dan jantungnya masih berdetak seperti sedang dikejar sesuatu yang tak terlihat.

Aluna menunduk. Telapak tangannya menutup wajah, menyeka sisa keringat dan air mata yang tak ia sadari sempat turun.Napasnya masih pendek-pendek, tersengal.

Lalu, dengan suara yang parau, ia bergumam:

"Ah, sial... mimpi itu datang lagi rupanya."

Ia mengusap tengkuknya pelan, seperti berusaha menyeka rasa sakit yang sudah lama tak tinggal di kulit, tapi tertanam di dalam tulang. Mimpi itu selalu datang tanpa permisi.

Kadang lewat suara, kadang lewat aroma bensin, kadang hanya lewat... diam.

Aluna melirik ke jendela. Langit pagi sudah menunjukan cerahnya,hanphone nya bunyi memunculkan notifikasi dari vio sahabat nya

Vio

Jangan lupa bangun ,ada kelas jam 8 pagi see you.....

Aluna

Di usahakan gak lupa hahaha

wajahnya nampak gusar setelah membaca notifikasi dari sahabat tercintanya itu,Terlalu pagi untuk memulai hari baginya.

Langkahnya pelan menuju kamar mandi.

Keran air ia buka tanpa suara. Suhu dingin menampar kulitnya, membuat bulu kuduk berdiri. Ia menunduk, membiarkan air mengalir dari telapak tangan ke wajah. Berulang kali.Seolah bisa menyapu mimpi. Seolah bisa menyiram kenangan yang tak pernah benar-benar mau mati.

Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus tipis dan celana tidur abu abu.

Langkahnya terhenti di depan cermin besar yang tergantung di dinding kamar. Bayangan dirinya terpantul samar oleh cahaya pagi yang masih malu-malu menembus tirai.

Matanya bengkak.

Lehernya masih basah.

Tapi bukan itu yang membuatnya terdiam.

Di bawah cermin, di sudut kecil rak kayu, ada satu bingkai foto posisinya diletakkan terbalik, menghadap ke dinding.

Aluna menunduk.Tangannya ragu.

Seolah benda itu bukan sekadar bingkai, tapi pintu kecil menuju neraka pribadi.Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, ia meraihnya... dan membalik foto itu.

Dua orang dewasa. Satu anak kecil di tengah.Senyum mereka terlihat... palsu, sekarang. Tapi dulu ia percaya senyum itu nyata.

Wajah Mawar dan Rahadyan.

Dan dirinya Aluna kecil, mengenakan gaun putih dengan pita merah. Berumur sekitar lima tahun. Masih utuh. Masih percaya.

Air mata turun perlahan, membasahi pipinya tanpa suara.

'Kenapa kalian melahirkanku... kalau hanya untuk saling menyakiti lewat aku?'

Lihat selengkapnya