Pertemuan di Restoran Lachende Javaan
Hari itu, tanggal 7, bulan Juni, tahun 2000, adalah hari kesekian kalinya saya mampir ke Restoran Lachende Javaan, di Frankstraat, Belanda.
Saya mampir untuk makan, setelah berkunjung ke rumahnya Bapak The Tjong-Khing, seorang ilustrator kenamaan Belanda, yang tinggal di daerah Haarlem.
Di restoran itulah, secara kebetulan, saya bertemu Nyonya Helen. Dia seorang wanita tua Belanda yang mengenakan gaun klasik warna putih dan dibalut oleh mantel warna hitam. Di lehernya melilit pasmina dengan motif batik yang didominasi warna cokelat muda.
Dia seperti wanita terhormat. Wajahnya memiliki tanda-tanda kecantikan sebagai sisa-sisa peninggalan dari masa mudanya. Matanya tampak sangat manis, dengan rambut pirang kecokelatan, yang dilipat ke atas menjadi sanggul.
Dia mendekati saya yang sedang duduk sendiri, setelah beres makan soto sambil ngobrol dengan Frans Helling, pemilik Restoran Lachende Javaan.
Nyonya Helen hanya seperti orang yang ingin mampir untuk menyapa. Ya, katakanlah begitu, berdiri dengan tenang, menatapku penuh perhatian.
“Kamu orang Indonesia?” Dia bertanya dengan nada yang ramah untuk memulai percakapan, menggunakan bahasa Indonesia. “Atau mungkin Malaya?” tanya dia lagi.
“Indonesia, Oma,” saya jawab dengan senyuman yang ramah. Sesaat, saya tertegun oleh bahasa Indonesia yang digunakannya.
“Saya tadi mendengar, kalian berbicara bahasa Melayu.”
Sebelumnya, memang saya ngobrol dengan Frans Helling menggunakan bahasa Indonesia.
“Saya mengawasimu sejak tadi,” katanya, lalu tersenyum dan memperkenalkan diri. Saya juga tersenyum dengan cara bagaimana seharusnya menyambut seseorang yang ingin mengajak bicara. Kemudian, saya tahu dia sangat santai dan duduk di kursi yang ada di depan saya. Dia mengaku bernama Helen.
“Saya senang mendengar dialek bicaramu,” katanya. Saat itu, dia sudah duduk berhadapan dengan saya, hanya terpisah oleh meja.
“Kamu tinggal di mana, di Indonesia?”
“Saya ditempatkan oleh Tuhan di Bandung, Oma.”
“Oh. Bandung!” Dia berseru, penuh antusias.
“Ya, Oma. Kenapa?”
Dia menghela napas. “Tidak apa-apa.”
“Oma dari mana?”
“Saya tinggal di Amsterdam.”
“Oma, sendiri ke sini?”
“Oh. Tidak. Saya bersama dua teman. Kami ada pertemuan di Haarlem. Hanya saja, mereka punya urusan yang lain,” jawab Nyonya Helen. “Jadi, saya tinggal menunggu,” tambahnya.
***
Ketika bicara, dia selalu memiliki binar di matanya. Dia memandang saya dengan penuh perhatian pada saat giliran saya yang bicara.
“Tadi, setelah kamu selesai dengan temanmu, saya lihat kamu hanya duduk sendiri. Barangkali, kamu bisa diajak bicara, untuk mengisi waktu saja,” katanya.
“Oh. Iya.”
“Saya khawatir, saya akan mengganggumu.”
“Tidak, Oma. Jangan kuatir. Saya senang.”
“Terima kasih. Ternyata, kamu baik dan ramah.”
“Sama-sama,” saya jawab. “Bahasa Indonesia Oma lancar sekali, ya.”
“Ya, tentu saja,” katanya dengan suara seperti orang yang sedang merasa bangga. “Karena, kamu harus tahu, saya lahir dan dibesarkan di Indonesia.”
Dia tersenyum dengan tipe senyuman untuk membuat saya yakin bahwa dia serius. “Kamu tahu Ciwidey?” tanya Nyonya Helen kemudian.
Sebagai warga Jawa Barat, tentu saja saya tahu Ciwidey. Itu adalah sebuah daerah yang selalu diselimuti kabut. Letaknya lebih dari 37 kilometer dari Kota Bandung.
Sejauh mata memandang, hanya akan terlihat pohon teh yang sangat luas di sana. Terlihat seperti karpet hijau yang digelar, dengan panorama pegunungan dan bukitbukitnya yang cukup dekat.
Untuk mencapai tempat yang bernama Ciwidey itu, akan membutuhkan waktu sekitar 3 jam dari Bandung, dengan menggunakan kendaraan dan tidak macet.
“Ciwidey jauh dari Bandung, Oma.”
“Iya, saya tahu. Kamu pernah ke sana?”
“Satu atau dua kali saja.”
“Ciwidey adalah tempat di mana aku menghabiskan sebagian besar masa laluku,” katanya cepat-cepat melanjutkan. “Penuh dengan pohon teh dan lahan perkebunan yang indah. Air seperti tak ada habisnya, mengalir melalui sungai-sungai. Di sana, terdapat banyak pancuran yang keluar dari bukit-bukit kecil menuju kolam. Bukit-bukit itu dipenuhi oleh pohon-pohon pinus yang tumbuh berbaris. Dalam ingatan saya, masih bisa saya rasakan embusan anginnya yang sepoi-sepoi. Jalan yang biasa kami lewati adalah jalan yang hampir selalu sepi. Tidak ada banyak lampu jalan di masa itu. Jadi, apabila malam tiba, kami sudah harus masuk ke rumah, untuk menjadi bagian dari kesepian alam di sana. Kalau cuaca malam sedang bagus, saya suka melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Pada saat melihatnya, saya langsung seperti menemukan seolah-olah tak ada sesuatu yang lebih menarik selain itu. Sungguh, itu bagian yang sangat baik di dalam hidup saya.”
Bagi dia, katanya menambahkan, Ciwidey adalah sebuah tempat yang cukup memainkan peranan besar ketika dia tumbuh di sana. Ciwidey selalu berada di dalam pikirannya. Ciwidey selalu berada di dalam kenangannya. Sekarang, dia sudah tua, ketika harus lebih mengenang ke masa lalu, dia menceritakan semuanya seperti sedang membaca teks di atas kertas.
“Kalau boleh tahu, dulu Ciwidey-nya daerah mana, Oma?”
“Saya tinggal di wilayah perbukitan. Sedikit agak terisolasi. Itu sangat sunyi. Butuh 45 menit menuju kota Ciwidey dengan menggunakan kendaraan.”
“Hanya daerah kecil di kawasan Ciwidey?”
“Ya. Ada banyak hal penting telah terjadi di sana, di dalam hidup saya,” katanya. “Masa muda saya terbaring di sana. Saya masih ingat bau tanahnya. Saya masih ingat kabutnya.”
“Apa lagi yang Oma ingat?”
“Oh, banyak. Saya masih ingat suara kodoknya. Saya masih ingat bagaimana anginnya terasa sangat dingin menembus tembok.”
“Lebih dingin di Belanda, Oma.”
“Ya, memang, Belanda lebih dingin. Suhu di Ciwidey hanya berkisar 17 sampai 26 derajat, tapi bisa berubah menjadi sangat dingin sekali di malam hari, apalagi kalau sudah musim kemarau, suhu malam hari bisa mencapai 7 derajat meskipun di siang harinya sedikit cukup panas, dan malah bisa membakar tubuh di udara gunung yang tipis.”
***
Pada dasarnya, saat itu, saya merasa memiliki percakapan yang baik dan seru dengan Nyonya Helen, tapi sepertinya waktu berjalan sangat cepat, dan saya harus segera kembali ke Amsterdam karena sudah janji dengan Mbak Tita, teman saya yang selalu sibuk itu, untuk bertemu dengan Peter van Dongen, seorang komikus kenamaan Belanda yang pernah membuat komik Rampokan Jawa, juga dengan Mister Joost Pollman, Direktur Stripdagen.
Kemudian, Nyonya Helen berharap akan bisa bertemu lagi dengan saya. Itulah yang bisa dia katakan sebelum saya berpisah dengannya. Dia mengundang saya ke rumahnya di Amsterdam.
“Baiklah, Oma. Kalau begitu, boleh minta alamatnya?”
Nyonya Helen memberi alamat rumahnya, yaitu tak lama setelah dia mengenakan mantelnya.
“Pokoknya kalau ada waktu bertemu, saya mau ngasih tahu kamu, bagaimana kehidupan saya waktu di Ciwidey, sesuai dengan apa yang bisa saya ingat sampai sekarang.”