Sekarang, dengarkan bagaimana aku memulai.
Aku lahir tahun 1924, di kawasan Tjiwidei (Ciwidey), yang tidak akan aku sebutkan nama daerahnya karena alasan tertentu. Aku diberi nama Helen Maria Eleonora dan lahir sebagai seorang gadis Belanda yang memiliki kulit warna putih agak kekuning-kuningan. Kulitku terasa halus dan lembut dengan pipi agak kemerahan. Ada sedikit bintik-bintik cokelat pada bagian wajahku, tapi, kata ibuku, itu berguna untuk melindungiku dari pengaruh bahaya sinar matahari. Mataku biru dan rambutku tebal bergelombang, berwarna pirang agak kecokelatan sesuai dengan apa yang dimiliki oleh ibuku.
Aku tidak hanya dibesarkan dengan bahasa Belanda sebagai bahasa ibu, aku juga tumbuh dalam keluarga Belanda khas yang mengutamakan nilai-nilai budaya Barat.
Seleraku diprogram sesuai dengan model Eropa, di tengah-tengah kepungan budaya, norma, dan nilainilai masyarakat pribumi, yang lebih kuminati melebihi minatku pada budaya Eropa.
Aku diperlakukan seperti itu, dengan pola asuh yang cukup ketat.
Aku tidak diizinkan pergi ke mana pun, terutama jika pergi sendirian. Mungkin, mereka berpikir lingkungan di luar begitu mengerikan dan oleh karena itu mereka lebih suka melihat aku berada di kamarku.
Jika kamu berpikir sepertiku, kamu akan setuju kalau aku selalu memiliki banyak masalah dengan keketatan seperti itu. Mau tidak mau, aku jadi harus bisa mencaricari sendiri hiburan di rumahku.
Sepertinya, ayahku memahami apa yang aku pikir dan apa yang aku rasakan. Sebagai sebuah kompensasi, ayahku memberi aku biola dan membeli banyak buku untukku.
****
Demikianlah singkatnya. Keseluruhan cerita segera akan datang berikutnya. Sekarang, aku akan menggambarkan sedikit lebih terperinci tentang keluargaku supaya kamu bisa mendapatkan gambaran tipologis tentang orangorang di sekitarku.
Keluargaku adalah keluarga kelas menengah yang mampu memenuhi kebutuhan untuk kehidupan yang lebih layak. Keluargaku tidak terlalu kaya seperti keluarga R.A. Keerkhoven atau keluarga Hoogeveen, tetapi juga tidak miskin.
Di rumahku ada pesawat telepon, lampu listrik, mobil Ford Tudor, radio, gramofon, koleksi rekaman klasik ayahku (kebanyakan Arias dari opera terkenal masa itu), buku-buku, biola, beberapa lukisan, mesin jahit, dan berbagai macam jenis mainan, dari mulai boneka sampai meccano. Itu belum ditambah dengan barang-barang antik Tionghoa koleksi ibuku, dari mulai vas bunga, guci, cangkir, dan piring-piring berharga.
Aku diberikan pendidikan Katolik yang harus berdoa sebelum makan, juga berdoa sebelum tidur, yaitu dengan cara meletakkan lututku di ubin sambil mengangkat kepala sepenuhnya, sampai aku benar-benar bisa merasakan seolah-olah sedang berbicara dengan Tuhan. Aku lakukan itu, tidak dimaksudkan untuk menjadi religius atau saleh. Aku hanya tahu semua doa memang baik.
Di hari Minggu, kami mengunjungi gereja kecil dengan menara sederhana yang terletak di sebelahnya, dibangun dari batu dan pasir yang cerah. Lokasinya kirakira 200 meter di sebelah selatan rumahku, yaitu terletak di daerah yang biasa disebut Tonggoh.
Aku selalu merasa lebih baik ke gereja, bisa bertemu dengan orang-orang di sana daripada harus tinggal di rumah yang selalu membosankan. Lagi pula, khotbah yang baik tidak pernah merugikan siapa pun, dan kata ibuku barang siapa yang tidak datang kepada-Nya secara sukarela, tidak akan pernah mendapatkan kasih-Nya. Ibuku selalu menganjurkan untuk mengekspresikan imanku kepada-Nya dengan menyanyikan lagu-lagu pujian untuk-Nya, maka hati akan sepenuhnya bersukacita di dalam Roh-Nya.
Kadang-kadang, aku juga pergi bersama ibuku ke berbagai acara sosial yang biasa diadakan oleh keluarga Belanda, di mana biasanya berita terbaru dan gosip-gosip akan diperbincangkan di sana. Aku bisa mendengar hal-hal yang mereka katakan, baik itu penting atau cuma omong kosong, baik itu menyenangkan atau menyebalkan. Tetapi, hal yang paling jelas dari semuanya adalah lumayan membosankan. Aku hanya duduk di samping ibuku, melepas diri dari jenis kegiatan apa pun, dan harus banyak tersenyum, meskipun tidak jelas, tetapi penting untuk merayakan tata krama sosial.
Waktu aku berumur 10 tahun, aku sudah punya biola sendiri, pemberian keluarga orang Itali, yaitu teman ayahku yang dulu dikenal sebagai pengusaha susu di daerah Lembang, Bandung Utara.
Pada awalnya, buatku, biola adalah instrumen yang sangat sulit dimainkan, meskipun sudah belajar dari teman ayahku yang bermata ketat, berambut abu-abu, dan suka meminjam uang kepada ibuku dengan diawali oleh percakapan yang menyenangkan.
Untuk waktu yang lama, aku terus belajar, memperhatikan notasi dan mencari akord yang tepat, sampai aku bisa memainkan lagu “Ode to Joy” dari Ludwig van Beethoven, “London Bridge is Falling”, “Twingkle, Twingkle, Little Star” dan lambat laun aku bisa memainkan karya F. Chopin, Johann Sebastian Bach, Mozart, dan lain-lain.
****
Aku sekolah di salah satu sekolah milik yayasan yang ada di daerahku, yaitu sekolah yang disediakan khusus untuk anak-anak Belanda pengusaha di Tjiwidei. Lokasinya lumayan agak jauh dari rumahku.
Aktivitas di sekolah dimulai pada pukul 8.00 pagi dan bertahan sampai pukul 1.00 siang. Aku pergi ke sekolah dengan menggunakan bus sekolah yang disediakan oleh yayasan.
Hari-hariku berjalan seperti itu, memakai rok warna putih dari bahan kain Sete dengan lipatan yang benarbenar terasa kaku.
Di sekolah, aku bisa bertemu banyak teman, tetapi kamu tahu sekolah hanya tempat untuk belajar, selain untuk mendengarkan semua ocehan guru sampai tiba saatnya pulang membawa Pekerjaan Rumah.
Setelah itu, hampir tidak ada yang aku lakukan selain tidur siang, sebagai bagian dari budaya Belanda, yang dilakukan dari mulai pukul 2.00 siang hingga pukul 4.00 sore.
Sementara anak-anak pribumi, sekolah di sekolah khusus untuk anak-anak karyawan dan buruh perusahaan dengan masa pendidikan selama empat tahun.
Sejauh yang aku tahu, mereka membayar lima sen hingga satu setengah gulden per bulan, kecuali bagi mereka yang keluarganya tidak mampu secara ekonomi.
Kelak, di antara anak-anak pribumi itu ada yang melanjutkan sekolahnya ke tingkat lanjutan dan sekolah menengah, seperti HIS dan MULO di Kota Bandung, yang akan memberi mereka kesempatan untuk menerima pendidikan menengah dan bahkan lebih tinggi lagi dari itu.
Guru-gurunya adalah lulusan pendidikan di Normaalschool atau Hogere Kweekscholen (H.K.S.) dan digaji oleh pemerintah Belanda. Pengawasan sekolah dilakukan oleh kepala pengawas dan pengawas adat, yang dipimpin oleh inspektur Eropa.
Aku sering melihat sebagian besar dari mereka— anak-anak pribumi, berjalan pulang dan pergi ke sekolah dengan tanpa alas kaki. Anak-anak perempuannya menggunakan pakaian kebaya dan sarung batik yang sudah lusuh. Sedangkan anak laki-lakinya, membungkus kepala mereka dengan sejenis kain batik yang dililitkan.
****
Ayahku bernama Adriaan, seorang Belanda dengan kulit berwarna kemerahan dan wajah berjanggut runcing. Hidungnya cukup mancung dengan mata biru yang terang. Papa, demikian aku menyebutnya, seorang pengusaha di salah satu perusahaan yang ada di kawasan Tjiwidei. Dia biasanya terlihat cukup rapi.
Di tahun-tahun itu, Papa adalah orang yang sangat sibuk dan selalu terlihat membenamkan dirinya di dalam pekerjaan. Jika harus lembur, dia akan pulang di ujung sore dengan tubuh berkeringat dan penuh debu, kadangkadang dipenuhi oleh lumpur atau basah kuyup diguyur hujan.
Di rumah, dia akan sedang menulis di mejanya untuk membuat pembukuan dan urusan-urusan lain yang menyangkut masalah perusahaan. Jika dia sudah di sana, dia akan seperti orang yang diam-diam sedang menikmati hidupnya.
Di atas meja tulisnya itulah, Papa telah memainkan peranan penting di dalam perkembangan salah satu perusahaan perdagangan produk pertanian dan peternakan yang ada di kawasan Tjiwidei.
Seingatku, Papa adalah orang yang paling mengutamakan kewajiban. Dia orang yang tidak mengenal belas kasihan baik bagi dirinya, maupun bawahannya terutama kalau sudah menyangkut masalah kekeliruan atau kesalahan.
Pikirannya selalu mengembara ke mana-mana, ke pekerjaannya dan ke semua hal yang tidak bisa kubayangkan. Tentu saja, aku tidak pernah tahu apa yang ada di dalam pikirannya.
Kadang-kadang, aku sering melihat Papa sedang duduk di kursi rotan warna kuning pucat, yang ada di serambi bagian dalam, mendengarkan siaran radio NIROM, yaitu radio pemerintah Hindia Belanda, yang menyiarkan program-program olahraga, politik, budaya, layanan gereja, dan senam pagi.
Selain itu, NIROM juga menyiarkan musik-musik orkestra atau sandiwara dari kelompok teater dan kabaret dari Belanda. Papa akan mendengarkannya dengan mata yang tertutup atau sambil mengisap tembakau yang biasanya dia beli di Toko Tabaksplant, Bragaweg, Bandung.
****
Sedangkan ibuku, bernama Maria. Dia lahir di Den Haag tahun 1901. Dia adalah wanita muda yang segar, dengan gigi putih. Matanya berwarna biru agak terang dengan rambut sebahu berwarna pirang kecokelatan. Dia manis, punya jiwa sosial, cerdas, dan sopan. Hampir tak pernah dengki dan selalu menunjukkan penilaian yang sehat di dalam banyak hal. Kepada siapa pun, dia hampir tidak pernah memiliki hati yang buruk.
Kalau aku bilang dia cantik karena memang begitulah dirinya, apalagi kalau sudah memakai kebaya flanel dan dipadu dengan sarung batik dari Pekalongan, dia tidak akan cuma cantik, tetapi sekaligus juga anggun.
Mama, begitu aku menyebut dirinya, hanya ibu rumah tangga biasa dan memiliki satu kamar khusus sebagai ruang untuk menjahit. Kadang-kadang, dia akan menghabiskan sebagian besar harinya dengan menjahit di sana, sambil mengatasi segala kerinduannya pada negara Belanda yang sudah lama dia tinggalkan.
****
Kadang-kadang, Mama suka bercanda denganku. Aku masih ingat pada suatu kejadian yang aku alami ketika aku berusia 8 tahun, di saat Mama membuatku bergulingguling di sofa, sementara tangan Mama menggelitiki pinggangku.
Aku teriak sambil ketawa. “Stop!” kataku.
Mama terus mengejarku, yang berlari untuk berlindung di balik badan Sitih, pengasuhku (aku akan memberitahumu segera, siapa dia). Ternyata, Sitih tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya tersenyum melihat tingkah laku kami sore itu.
“Sitih, apakah Sitih melihat Helen?” tanya Mama ke Sitih dalam bahasa Melayu, berpura-pura tidak tahu kalau aku sedang sembunyi di balik badan Sitih yang sudah diam berdiri.
“Jangan Mama kasih tahu, Sitih!” kataku berbisik kepada Sitih.