Sekarang, aku mau menggambarkan situasi dan kondisi rumahku, persis, seperti apa adanya sehingga dengan begitu, kamu akan tahu seperti apa keadaannya waktu itu, agar dapat mudah membayangkan apabila aku menyebut salah satu bagian dari rumahku di dalam cerita-cerita selanjutnya.
Oleh karena itu, sepertinya kamu memang harus sedikit bersabar.
Rumahku tidak terlalu besar, berdiri di sebuah tempat yang indah di atas perbukitan. Posisinya menghadap ke arah sebelah timur, sehingga setiap pagi, aku bisa melihat cahaya matahari meledak di awan dengan sinarnya yang keemasan, walau kadang-kadang hal itu suka terganggu dengan datangnya hujan tropis yang bisa turun secara tiba-tiba. Atau, oleh kabut putih tebal, yang datang membungkus semuanya pada saat-saat tertentu.
Jika aku berdiri di halaman depan rumah dan cuaca sedang cerah, aku bisa melihat barisan gunung berwarna biru tua yang dipenuhi hutan belantara. Di bawah lerenglereng gunung itu, terhampar luas pohon teh. Warnanya hijau kekuningan yang tumbuh berundak karena mengikuti kontur tanah yang ada. Sebuah sungai besar yang dipenuhi oleh bongkahan batu-batu, membelah bukit itu dan sering dijadikan tempat bermain anak-anak kampung setempat.
Di antara bukit-bukit itu, ada beberapa rumah milik keluarga Belanda, yang satu sama lain letaknya berjauhan. Banyak jalan setapak yang bisa dilalui untuk mencapai ke sana, termasuk melalui jalan aspal yang membentang kira-kira 100 meter dari depan rumahku, dan sedikit agak jauh di atas sungai. Sesekali, suka ada mobil yang melewati jalan itu, selain pedati yang ditarik oleh sapi atau kuda tunggang milik orang Belanda, pengusaha perkebunan.
Jika malam tiba, jalanan akan gelap karena hanya memiliki sedikit cahaya di sana-sini. Benar-benar gelap gulita dan dipenuhi dengan suara-suara yang menakutkan. Aku sering mendengar suara tokek di rumah dan sayupsayup suara burung seperti bersahutan dengan suara monyet di tengah hutan.
Di belakang rumahku terdapat jalan setapak, yang berliku dan dipenuhi pepohonan. Jalan itu sempit dan sederhana, menuju ke lokasi perkampungan warga pribumi dan kami menyebutnya sebagai Jalan Belakang. Kalau ingin pergi ke sana, aku harus membuka pintu pagar di belakang rumahku atau meloncatinya jika kebetulan sudah dikunci oleh Darsa. Itu sangat mudah karena tingginya hanya 1 meter saja.
Di bagian depan rumahku, terdapat sebuah galeri dengan tangga batu keras tiga undakan. Semacam teras rumah yang dibatasi pagar tembok setinggi 1 meter dan dihiasi beberapa pot bunga tempat tumbuh mawar bulan dan bunga-bunga lainnya. Galeri itu berfungsi sebagai ruang duduk keluarga atau untuk menerima tamu yang datang berkunjung. Di langit-langitnya terdapat lampu gantung dari kaca Venesia.
Tidak begitu jauh dari galeri depan, tepatnya di bawah pohon rasamala, terdapat sebuah bangku besi yang dicat warna hitam. Aku sering duduk di kursi itu, menikmati angin yang datang berembus, seolah-olah sedang ingin menghiburku.
Di bagian belakang rumahku, ada satu galeri lagi, yang berfungsi hampir sama dengan galeri yang ada di depan, yaitu untuk mengadakan berbagai kegiatan nonformal, termasuk untuk sesekali dijadikan tempat makan.
****
Sekarang, aku mau menggambarkan kamarku, persis sebagaimana adanya, khusus untuk yang ingin tahu seperti apa kamarku pada zaman dahulu.
Kamarku bercat putih, memiliki penampilan yang bagus, berukuran 4 x 4 meter, dengan ubin berwarna putih-ungu.
Di dalam ingatanku, masih bisa kurasakan, bagaimana kamarku biasanya bau karbol dari ubin yang harus dibersihkan setiap pagi agar terlindung dari infeksi. Kadang-kadang, tercium juga bau pestisida dari obat semprot merek “Flit” yang kami gunakan dengan cara dipompa, sebagai usaha lain untuk mengusir serangga.
Di dalam kamarku terdapat satu buah lemari berukir, yang terbuat dari kayu jati berwarna cokelat tua. Ukurannya cukup besar, dengan lebar sekitar 2.5 meter dan tinggi kurang lebih 2 meter. Di tengah lemari itu, terdapat satu cermin berbentuk oval yang biasa aku pakai untuk berhias sambil duduk di bangku bundar.
Selain lemari, terdapat satu meja dan dua buah kursi rotan Manila, yang diberi bantal besar berwarna merah tua dan empuk. Sedangkan, lemari rendah yang terbuat dari kayu mahoni, ditempatkan di sudut lainnya, berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan buku. Di atas meja itu, ada sebuah lentera Cina berbentuk heksagonal dengan dinding kaca berwarna lembut yang dipenuhi manikmanik di pinggirannya.