"Obatnya gak ketinggalan kan?" Mala menatap putrinya lewat pantulan spion begitu ia menghentikan mobilnya di depan gerbang sekolah.
"Enggak, Bu." Mentari memakaikan jaket ke atas kepalanya hingga hampir menutupi wajahnya. Gadis lalu itu menyalami Mala.
"Sunscreen?"
"Ada."
Pintu mobil perlahan dibuka. Hari senin yang sial baginya karena langit tampak begitu cerah. Jam belum menunjukkan pukul tujuh namun matahari seperti sudah siap membakar permukaan kulitnya.
"Ya udah, kalo gitu hati—" ucapan Mala terpotong begitu melihat pintu mobil yang sudah ditutup. Mentari tampak sudah melesat keluar melewati gerbang, diikuti oleh tatapan aneh beberapa orang. Mala menggelengkan kepalanya. Terkadang phobia yang dimiliki putrinya itu membuatnya tertawa, tapi juga merasa kasihan di saat yang bersamaan. Bagaimana pun, Mentari jadi tidak bisa melakukan berbagai aktivitas seperti kebanyakan orang pada siang hari. Gadis itu bahkan tidak dapat mengikuti upacara. Meskipun sinar matahari bagus saat pagi hari, tapi tetap saja. Berdiri selama kurang lebih satu jam di bawahnya bagi Mentari sama artinya dengan bunuh diri.
Mentari berlari menuju salah satu koridor dengan tergesa. Gadis itu langsung melepas jaketnya begitu sampai di sana.
"Padahal gue semalem udah banyak berdoa biar hari ini hujan," ucapnya di tengah napas yang memburu.
"Mentari!"
Mentari mau tidak mau menghentikan langkahnya begitu suara cempereng itu terdengar. Ia berbalik dan mendapati Lala, yakni teman sebangkunya.
"Rajin banget lo jam segini udah olahraga." Lala tergelak, membuat Mentari mencebikkan bibirnya.
"Tahun depan gue doain lo yang ngidap Heliophobia ya, La. Biar kita impas. Jadi tahun depan gue bisa puas ledekkin lo." Mentari melirik Lala sinis, membuat tawa sahabatnya itu terhenti.
"Ampun, Tar. Doa lo jahat banget. Gue udah kenyang sama fobia gue." Lala membuat tampang sedih.
"Fobia? Emang lo fobia apaan?"
"Fobia di-PHP-in doi. Hahahaha." Tawa cempereng Lala sontak menggelegar memenuhi koridor yang sudah ramai.
"Gak lucu tahu, La! Bikin malu aja lo." Mentari menutup sebagian wajahnya dengan jaket yang berada di tangannya begitu orang-orang di sana memperhatikannya dan Lala.
Setelah menyimpan tas, bel tanda upacara berbunyi. Seluruh siswa mulai berkumpul memadati lapangan. Kecuali anggota PMR dan— Mentari, tentu saja. Ketika Lala dan yang lainnya berjalan lurus menuju lapangan, ia justru berbelok menuju UKS.
Beberapa anggota PMR sudah tidak asing begitu melihat Mentari yang memasuki UKS.