Mentari bergerak gusar di posisinya. Dia tidak bisa makan dengan tenang semenjak guru olahraganya yang super menyebalkan itu mengatakan kalimat horor beberapa jam yang lalu. Kulitnya sudah mulai terlihat normal, namun hal itu sama sekali tidak mengurangi kecemasannya. Jika gurunya itu benar-benar tidak bercanda, maka habislah dia minggu depan.
"Tar, bisa makan dengan tenang gak sih?" Lala yang sudah sejak tadi menahan diri akhirnya angkat bicara. Dia tidak tahan mendengar helaan napas Mentari yang entah sudah yang ke berapa kali. Sahabatnya itu juga hanya mengaduk-aduk makanannya asal, membuat suara alat makan itu mengganggu gendang telinganya.
"Duh, sori, La. Gue mana bisa tenang kalo udah ada yang ngomong kayak gitu," ujar Mentari. Menurut lo ... Pak Chandra serius gak?"
"Kenapa gak lo tanyain aja?"
"Udah gue DM tapi belom dibales." Mentari kembali menghela napas, membuat Lala mendelik seketika.
"Kenapa lo harus repot-repot kirim DM kalo lo bisa nemuin dia ke ruang guru?"
"Ih, males. Liat mukanya aja gue udah emosi." Mentari mencebik. Dia memasukkan gulungan kobis yang sudah berbalut bumbu kacang itu ke dalam mulutnya.
Lala memijat pelipisnya. Jika sudah begitu, dia sudah tidak mau tahu urusan Mentari Putri. Biarlah dia sendiri yang menyelesaikan semuanya.
"Gue ambil minum dulu. Lo mau sekalian gak?" ujar Mentari yang beranjak dari posisinya.
"Hm. Samain aja."
Kedua kaki Mentari melangkah menuju salah satu lemari pendingin di samping etalase. Dia mengambil dua buah minuman teh melati dan kembali ke tempatnya dan Lala. Namun sesampainya di sana, dia dikejutkan dengan Alan.
"Ngapain lo?" tanya Mentari.
"Gue boleh gabung?"
Mentari menatap ke sekitarnya sejenak. "Hm. Duduk aja."
Alan duduk di depan Lala, membuat gadis itu menatapnya sinis. Ia hampir saja melemparkan sendok di tangannya namun suara Mentari berhasil menginterupsinya.
"Udahlah, La. Biarin aja dia di sini." Mentari bersuara. Ia lalu duduk di tempatnya dan sesekali melirik Alan yang berada di sebelahnya.