"Katanya dia guru olahraga di sekolah kamu."
Alan masih tertegun. Lelaki itu masih berusaha mencerna ucapan mamanya barusan. Apakah ia salah dengar? Atau pendengarannya juga ikut bermasalah?
"Kamu tahu kan, sama Chandra? Dia ganteng, pinter, terus sopan juga. Kamu kan kelas sebelas, pasti belajar sama Chandra, 'kan?" ujar Dewi.
"H-hm."
Dewi tersenyum.
Alan memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut, berusaha untuk menyembunyikan tampang masamnya. Rasanya makin hari ia makin ogah-ogahan mendengar nama gurunya itu. Dan yang ia sesalkan adalah, kenapa Candra yang menyebalkan itu adalah Candra teman masa kecilnya dulu?
"Kalian sudah lama gak ketemu, pasti masih canggung. Apalagi kan Candra itu sekarang guru kamu, jadi kamu gak bisa kayak biasanya. Selama berada di lingkungan sekolah, kamu harus tetap menjaga sopan santun kamu dan bersikap layaknya murid. Tapi jika di luar sekolah, kalian mungkin bisa bersikap seperti biasa." Dewi kembali berujar.
Tidak heran jika Candra sampai mengetahui dirinya tanpa adanya perkenalan. Rupanya dia memang mengenalnya sejak lama.
"Oh, iya. Anaknya Tante Mala itu emang suka diem di rumah, ya, kalo siang? Kayaknya Mama gak pernah liat dia keluar rumah kalo siang. Pasti adiknya yang selalu kelihatan ada di luar."
Gerakan rahang Alan memelan seiring dengan kalimat yang dilontarkan oleh mamanya. Lelaki itu terdiam selama beberapa saat, memikirkan jawaban seperti apa yang seharusnya yang ia katakan.
"Jangan bilang kalau dia itu ... anti sosial. Kayaknya Mentari bukan anak seperti itu. Dia berkomunikasi dengan baik sama orang-orang di luar. Hanya aja gadis itu seperti menghilang ditelan bumi setiap kali pulang sekolah tiba."
"Mentari gak anti-sosial, Ma. Dia sama aja kayak gadis-gadis lain kok. Mungkin dia males aja keluar karena cuaca di luar yang panas," jawab Alan seadanya.
Dewi terkikih pelan. "Dasar, ya,anak muda zaman sekarang. Sama sinar marahar aja takut, alesannya karena takut kulitnya item, takut kulitnya belang."
'Andai aja Mama tahu kalo Mentari itu cewek spesial yang super beda dari yang lain,' batin Alan. Mamanya pasti akan sangat terkejut atau mungkin setengah tak percaya jika mengetahui yang sebenarnya dialami oleh gadis itu.
"Atau mungkin Mentari itu sakit, Lan? Kulitnya agak pucat kalo Mama perhatiin. Kamu juga ngerasa gitu gak?"
Alan tersedak pelan. Ia meraih segelas air putih di hadapannya dan meminumnya sedikit. "Ma, udahlah, jangan mikir yang aneh-aneh. Yang jelas tuh dia pasti punya alasan tersendiri," ujarnya.
Dewi tersenyum tipis. "Tapi kamu cepet akrab sama Mentari kalo Mama perhatiin. Mentari dan keluarganya juga bersikap baik. Mama seneng setidaknya kamu ada temen di sini."
'Bisa-bisanya Mama ngomong gitu, padahal gue kena tampol di hari pertama ketemu sama tuh cewek.' Alan kembali membatin.