Lala tidak henti-hentinya menatap layar ponsel dan pintu secara bergantian. Merasa semakin putus asa, akhirnya gadis itu memutuskan untuk pergi menemui Mentari Putri yang tak kunjung kembali dari perpustakaan. Sepuluh menit lagi bel pergantian jam akan berbunyi, namun Mentari belum juga menunjukkan batang hidungnya. Semua murid di kelas bahkan sudah mengganti seragam mereka dengan pakaian olahraga.
>> Tar, buruan ke kelas! KM dapet info kalo materi hari ini senam lantai!
Pesan yang dikirimkan Lala beberapa menit lalu bahkan tak juga dibaca. Apa mungkin Mentari ketiduran?
Kedua kaki Lala sudah hampir mencapai tangga namun gadis itu buru-buru kembali ke kelas saat melihat siluet Pak Chandra yang sudah menaiki satu per satu anak tangga.
"Mampus lo, Mentari Putri!" Lala mendudukkan tubuhnya di bangku dan berusaha menghubungi Mentari namun sahabatnya itu tak menjawab sama sekali.
"Gue curiga dia sengaja gak angkat telepon dari gue karena males masuk jam Pak Chandra." Lala mendengkus. Tepat setelah itu, Pak Chandra masuk ke dalam kelas.
Usai mengucap salam, satu per satu nama mulai dipanggil. Absen Lala dan Mentari berdekatan, membuat Lala gugup seketika, padahal yang sekarang tengah bermasalah adalah Mentari dan bukan dirinya.
"Lala Africia."
Lala berkedip dua kali dan refleks mengangkat salah satu tangannya ke udara. "Ha-hadir." Ia menggigit bibir bawahnya seraya melirik ke bangku kosong yang ada di sebelah.
"Mentari Putri."
Hening.
Lala menelan ludah saat semua mata tertuju padanya. Gadis itu kian gelagapan saat matanya bertumbuk dengan mata milik Chandra.
"Ke mana Mentari?" Suara khas Chandra memecah keheningan di sana.
"Me-Mentari tadi ngerjain tugas di perpustakaan, Pak. Udah ditelepon berkali-kali tapi gak diangkat. Tapi aku udah kirim chat—" Lala seketika mengatupkan bibirnya rapat saat Chandra melanjutkan kembali kegiatan mengabsen.
***
Mentari menguap entah yang ke berapa kali. Layar ponselnya berkali-kali menyala namun tak dia pedulikan, seolah sudah mengetahui kalimat seperti apa yang akan dilontarkan oleh si penelepon.
"Ah, gue laper." Gadis itu menggembungkan kedua pipinya. Suasana perpustakaan yang sepi ditambah gerimis di luar sana membuat rasa kantuk semakin menyelimuti meja yang ditempati oleh Mentari. Gadis itu kembali menguap.
Dia sudah terlalu malas bertemu dengan guru olahraga menyebalkan yang lahir di bulan purnama itu. Mendadak Mentari merindukan guru olahraganya yang lama. Meskipun sudah tua dan lebih galak, tapi Mentari lebih memilih gurunya yang lama. Toh dari dulu dia memang selalu kebagian tugas membuat makalah olahraga setiap kali praktik di lapangan.
Samar-samar terdengar beberapa suara langkah kaki mendekat diikuti oleh percakapan dengan intonasi yang rendah. Murid-murid dari kelas lain mungkin datang untuk meminjam buku paket atau mengerjakan sesuatu di sana, sama halnya seperti dirinya.
Mentari menatap setiap rintik yang jatuh melewati jendela di dekatnya. Ia menopang dagu sembari menatap langit yang masih berwarna kelabu.