Mala berlari menyusuri koridor untuk mencari kamar tempat putrinya dirawat. Usai mendapatkan telepon, tanpa pikir panjang lagi ia langsung meninggalkan rumahnya.
Setelah menemukan ruangan itu, Mala segera masuk ke dalam dan ia melihat Mentari tengah duduk di atas tempat tidur.
"Ya ampun, Mentari, kamu bikin Ibu khawatir!" Mala langsung bergegas memeluk putrinya dan mengusap bagian belakang kepala gadis itu.
Mentari hanya terdiam di posisinya. Ia belum lama sadar dan mendapati dirinya berada di ruangan asing yang entah di mana, lalu ia dikejutkan juga dengan kedatangan ibunya di sana.
"Aku di mana, Bu?" Mentari menatap jarum infus yang masih menancap di tangannya. Bodoh, harusnya ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya itu.
"Tadi Ibu dapat telepon kalo kamu masuk rumah sakit." Mala melepas pelukannya lalu wanita itu menghela napas berat saat melihat adanya luka lebam di salah satu permukaan pipinya, "Siapa yang ngelakuin ini, Tar? Kamu dipukul?" tanyanya seraya menangkup wajah gadis itu.
"Aku cuma jatuh—"
"Pipi kamu memar, Mentari! Siapa yang ngelakuin ini?!" tegas Mala dengan nada meninggi.
Mentari terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya ia menggelengkan kepala, lalu tersenyum tipis.
Kedua bahu Mala merosot setelahnya usai menatap permukaan kulit kedua tangan dan kaki Mentari yang kemerahan.
"Kenapa kamu harus ngelakuin ini, Mentari," lirih Mala.
Mentari segera membuang pandangannya ke arah lain, "Mentari capek, Bu."
"Ibu sudah sering bilang, jangan dengerin omongan mereka."
Salah satu tangan Mentari kemudian mengepal, "Tapi Mentari juga manusia, Bu! Aku gak bisa terus-terusan sabar dan diem aja tiap kali aku dihina sama mereka!" Pandangannya semakin berembun dan gadis itu buru-buru mengusap salah satu sudut matanya dengan tangan.
Usai mengatakan itu, Mala melihat kedua tangan Mentari kembali bergetar pelan. Ia segera menggenggamnya dan memeluk kembali putrinya dengan erat, hingga tangisan Mentari benar-benar terdengar di sana.
***
"Bokap gue bilang kalo Mentari kemungkinan terbiasa minum anti depresan jadi dia harus lebih diawasi. Lo tahu kan, pengidap fobia itu kayak gimana."
Bahkan Alan tak pernah menyangka kalau gadis itu akan rutin meminum obat penenang atau bahkan anti depresan untuk meredakan serangan panik yang bisa datang kapan saja. Sejujurnya, saat pertama kali melihat gadis itu di sekolahnya, ia menganggap kalau Mentari hanyalah anak manja yang alergi dengan panas matahari namun pandangannya berubah saat mereka berangkat ke sekolah bersama.
Saat itu hari masih pagi dan matahari juga belum terlalu terik, malah bagus untuk kondisi kulit. Namun Alan tidak tahu kalau hal itu justru memberikan efek sebaliknya bagi Mentari. Malahan, kondisi gadis itu semakin parah karena serangan panik yang ia alami hingga menimbulkan berbagai sugesti di dalam dirinya sendiri, membuat ruam-ruam di kulitnya bermunculan.
Tapi, di balik hal-hal mengerikan itu, bukan berarti Mentari tak bisa sembuh dari fobianya, kan? Pasti ada cara untuk membuat gadis itu sembuh.