Hell City

Noura Publishing
Chapter #2

Hell's Foxx City

Sepulang sekolah, aku benar-benar sibuk. Siang ini, Mom bawelnya kambuh. Dia menyuruhku berkemas, mengomeliku kalau aku lelet, begini-begitu, dan lainnya! Untung, mood-ku sedang bagus untuk tidak cepat marah. Aku beranjak ke kamar, mengeluarkan travel bag yang ukurannya lebih besar dari ukuran travel bag sewajarnya.

Aku juga mengeluarkan koper dan segera kuisi dengan pakaian. Lemariku benar-benar kosong sekarang. Di kamar juga tak ada barangku sama sekali. Semuanya akan kubawa ke Hell’s Foxx City.

Hei, sepertinya ada yang aneh. Aku belum pernah ke Hell’s Foxx City sebelumnya. Bahkan, aku baru mendengar nama seaneh itu, saat Dad bilang kalau kami harus pindah ke sana. Aku mengerutkan kening. Hell’s? Bukankah itu artinya neraka? Foxx itu, kan, rubah! Kalau foxx apa, ya? Jadi, rubah neraka? Neraka rubah? Ah … sepertinya memang ada yang janggal! Mendadak, aku teringat kata-kata Keysha. Masa iya di sana kriminalitasnya tinggi? Sering terjadi pembunuhan dan lain sebagainya? Mungkin saja, sih. Namun, aku kurang yakin. Oh, maksudku, aku benar-benar tidak yakin soal hantu-hantu kejam!

“VERO! CEPAT TURUN! KITA AKAN SEGERA BERANGKAT!” Terdengar teriakan nyaring Mom saat aku tengah asyik menapaki anak tangga yang licin.

Aku memutar bola mata, sebal. “Mom,” sahutku. “Aku di sini, kenapa harus teriak sekencang itu, sih?”

Rencananya, dari rumah kami akan naik taksi menuju Stasiun Delux. Hmm, aku sangat bosan naik kereta. Pasalnya, seumur hidup Dad selalu memilih kereta ketika kami bepergian. Belum pernah sekali pun aku merasakan naik pesawat. Hah! Boro-boro pesawat, bus pun aku tidak pernah. Ya sudahlah, toh, mengeluh tak ada gunanya.

“Ve?” panggil Dad yang duduk di sebelahku. Sementara Mom, duduk di tempat lain. Saat ini, kami berada di kereta dengan kebisingannya yang selalu membuatku tak bisa tidur, padahal mataku sudah berat sekali. “Kau kenapa diam begitu? Tak suka jika kita pindah ke Hell’s Foxx City?” lanjut Dad.

Aku menggeleng kecil, “Tidak, Dad. Aku hanya mengantuk,” ucapku. “Aku mau tidur dulu. Pasti perjalanannya masih sangat jauh. Jangan lupa bangunkan aku, ya, Dad.”

“Iya, tenang saja. Tidurlah yang nyenyak, Sayang,” balas Dad.

Aku berusaha memejamkan mata, walaupun sulit.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku saat seseorang mengguncang bahuku dengan kekuatan maksimal. Aku dapat merasakan hangatnya sinar mentari. Semburat cahaya itu menusuk mataku, membuat mataku tak bisa terbuka sempurna. Kulihat di sebelahku ada Dad yang sedari tadi mempertahankan senyum manisnya. “Apakah kita sudah sampai?” tanyaku.

Dad mengangguk. “Ayo, cepat bawa travel bag dan kopermu!” perintahnya.

Aku hanya menurut. Kugendong travel bag-ku dan kuseret koper tua, lalu keluar dari kereta.

Aku menarik napas panjang, membiarkan oksigen memenuhi paru-paruku. Begitu aku keluar dari kereta, embusan angin yang terasa sejuk langsung menyambutku. Aku tidak tahu kalau udara di Hell’s Foxx City sejuk seperti ini. Sepertinya, di sini tidak ada polusi. Mungkin penduduknya sedikit. Ya, mungkin. Kami sampai di stasiun tujuan, namanya Stasiun Celens. Namanya memang terdengar aneh. Stasiun Celens ini lebih sepi daripada stasiun pada umumnya. Jika biasanya aku harus berdesak-desakan untuk mencapai pintu keluar stasiun, di Celens, jalanan benar-benar lengang. Hmm, aku patut bersyukur karenanya. Sepertinya ini adalah stasiun tua. Terlihat dari dinding-dindingnya yang mengelupas, bahkan berlumut. Hal itu menimbulkan kesan angker. Apalagi pencahayaan yang temaram. Mendadak, sekujur tubuhku merinding. Mungkin karena aku kedinginan saja. Lagi pula, mustahil sekali kalau ada roh-roh halus, pikirku.

Lihat selengkapnya