Aeshaya Khiar menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur dengan mata bengkak, ia baru saja menyelesaikan satu buku tebal yang diberikan ayahnya. Buku itu berisi tentang ilmu Kebahasaan tinggi yang tidak seharusnya dibaca oleh anak seusia Aesha.
Aesha menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Perempuan itu kembali memusatkan perhatiannya ke satu titik dimana buku itu berada. Memikirkan bagaimana ia masih bisa bertahan sampai saat ini. Disaat anak seusianya masih belajar biologi dengan bab Pengukuran, dia sudah harus memecahkan berbagai macam rumus yang bahkan masih jadi misteri di kalangan para guru atau ilmuwan-ilmuwan tinggi.
Aeshaya khair namanya, anak perempuan yang masih berumur 15 tahun yang selalu dituntut untuk menjadi sempurna oleh orang tuanya. Anak perempuan yang memiliki sejuta luka dari luar maupun dalam. Darah segar selalu mengalir ketika ia tertidur setelah mengerjakan tumpukan kertas ujian yang dibuat ayahnya. Pukulan demi pukulan, cacian demi cacian, sudah seperti makanannya sehari-hari. Hingga akhirnya, ketika ia masuk ke sekolah menengah akhir (SMA) XI , Aesha bertemu dengan seseorang yang mengubah hidupnya.
“Hai Aisa! Hei, are you okay? Muka lo keliatan pucet.”
“Gak gue gapapa kok, Cuman kurang tidur aja.”