Siang ini mentari sedang membanggakan dirinya dengan apa yang dia punya. Panas yang dipancarkan begitu terik seperti ingin membakar lapisan terluar kulit. Entah, ini musim apa? kemarin hujan di siang bolong tiba-tiba, hari ini gerimis muncul malu-malu di pagi hari dan siangnya kalian tidak akan bisa memprediksikannya. Jadi jangan coba-coba berprasangka pada sore dan malamnya baik hari ini ataupun esok lusa.
"Alanaaa, yuhuuu..." dari jauh suara cempreng dari wanita ceking dan centil mengganggu lamunanku.
Aku masih ingin melamun dan membayangkan indahnya masa depan yang kurancang sekilas dikepalaku, namun tak bisa. Kedai Pecel Madiun milik Mbak Yati selalu memiliki hawa yang membuat emosi jiwa. Berdiri setengah kokoh di trotoar jalan dengan terpal biru yang hanya menutupi bagian atapnya saja. Meja makan yang tak begitu panjang hanya berteman 6 bangku plastik yang juga berwarna biru. Lalu gerobak yang satu-satunya menyimpan harta karun bagi perut para pencari makan. Dan dapur dadakan yang seadanya berhimpitan dengan tembok pemilik rumah yang sebenarnya tak mau ada apapun yang menghalangi keindahan bagian terluar dari sisi depan rumahnya. Mungkin beberapa lembar uang berwarna merah atau biru setiap bulannya cukup untuk memberi izin Mbak Yati mengotori tembok depan rumah itu dengan cipratan minyak saat menggoreng ayam, telur dadar atau tempe mendoan dan air bekas kobokan atau air cucian piring.
"ALANA Woiii..." Kali ini suara bising dan tepakan tangan di bahuku itu benar-benar membuyarkan masa depanku. Ya selain hawa panas, teriakan Tika memang sangat mengganggu.
Sambil memasang muka kesal dan mata sinis akhirnya kubalas dia si pembuat onar "Apa sih Tik, ganggu aja."
"Nah kan mulai deh, ngelamun aja lu kerjaannya. Nih jus mangga lu." Tika si suara cempreng tiba-tiba datang dan membelikanku jus mangga.
"Tumben amat lu beliin gw jus." Tak perlu kutolak kebaikan Tika yang sudah tahu apa yang kumau setiap selesai makan pecel madiun Mbak Yati yang pedesnya super nampol.
Kedai Pecel Madiun Mbak Yati memang sudah sangat terkenal di kalangan warga sekecamatan. Selain sambalnya yang super duper pedas, harganya juga murah. Kita bisa makan kenyang dan nikmat hanya dengan 7.000 rupiah untuk nasi pecelnya saja. Tambah ayam goreng penyet berarti tambah sepuluh ribu lagi, atau 13.000 rupiah untuk menu nasi, pecel dan telur penyet juga kerupuk. Jangan heran dengan harga murahnya, bagi kami para pekerja swasta ini menu Kedai Mbak Yati ini memang sudah menjadi surga bagi dompet dan perut kami.
Sejak tadi pagi aku dan Tika memang sudah berencana akan makan siang di sini. Maklum sudah masuk di minggu terkahir, isi dompet sedang tidak terlalu sehat. Setelah selesai makan Tika pergi begitu saja meninggalkanku dan menuju kedai lainnya di seberang jalan. Hari itu pun tak biasanya Kedai Mbak Yati tidak terlalu ramai. Hanya ada dua orang lainnya yang bersamaan dengan kami memesan dan hanya take away saja. Baguslah jadi aku dan Tika bisa makan dengan tenang tanpa harus terburu-buru karena banyak mata memandang dan mengawasi ritual kramat bagi perut-perut kami. Karena kursi yang sangat terbatas maka kita sering harus berlomba siapa yang paling cepat menghabiskan makanan, supaya orang lain bisa dapat giliran duduk dan makan di kedai.
"Ga perlu kan gw nawarin lu dulu mau beli jus apa gak, ini kan udah jadi menu keharusan lu abis bibir dower makan pecelnya Mbak Yati hahaha." Tika tertawa dan merasa bangga seolah-olah kali ini dialah pahlawan yang memadamkan api dari kebakaran di mulutku.
"Iya deh iya, thanks ya Tik. Tar gw ganti duitnya." Sedotan pertama dari jus mangga membuat lega sepanjang bibir sampai tenggorokan setelah terlewati rasa pedas nampol si pecel madiun.
"Ngomong-ngomong lu tadi lagi lamunin apa sih Lan, bisa-bisanya lu ngelamun pas lagi kepedesan?" tanya Tika sambil mengerutkan dahi.
"Gak lamunin apa-apa. Kepo deh lu!" godaku kepada Tika.
"Iiih apa si Lan, males banget gw kepoin lu. Gw cuman takut lu kesambet aja pake acara ngelamun siang bolong." sambil cemberut Tika meneguk Jus Alpukat miliknya.
"Haha mana ada kesambet siang-siang gini ngaco lu. Lagian gw gak ngelamun Tik, hayati lelah kayanya sampe gak sadar ngelamun kaya yang lu liat tadi. Hahaha." jawabku asal supaya Tika tak menambah pertanyaannya lagi..
"Lu lagi kepikiran apa sih?" Tika masih penasaran.
Tak kujawab pertanyaan Tika, akupun meninggalkannya dan berlalu menuju kantor kami setelah membayar makanan yang kita pesan tadi.
"Eh si Alana ya, ditanya teh. Tunggu Lan." Tika mengikutiku dari belakang.
***
Yup, Tika benar. Tadi aku memang tak sengaja melamun, hmm lebih ke mengkahayal sih. Membayangkan sesuatu yang indah, menggambar dalam pikiran tentang lukisan masa depanku. Aku tak akan memberitahu Tika soal ini, karena sudah tentu dia akan menyindirku dengan sebutan "Si Pemimpi". Ini bukan pertama kalinya aku memberi tahu Tika. Mungkin Tika pun sudah bosan mendengarkannya. Menurut Tika apa yang aku impikan itu adalah semata-mata hanyalah bunga tidur saja alias mimpi belaka. Tika bilang kalau mimpi itu jangan terlalu tinggi karena jika kita tidak mampu menggapainya rasanya sakit seperti jatuh dari gedung tinggi. Aku tak peduli jika Tika ataupun yang lainnya puas menyindirku dengan sebutan "Si Pemimpi". Makanya aku sudah jarang bercerita lagi tentang impian-impianku itu. Bukannya support malah nyinyiran yang di dapat, membuat down saja.