Ini hari Kamis dan aku sudah tak sabar ingin segera Jumat. Aku suka slogan TGIF, seperti memberi semangat baru di dalam hidupku. Siapa yang tak suka weekend sih? waktunya men-charge jiwa, hati dan pikiran setelah lelah bekerja selama lima hari dan sering lembur. Sore ini managerku memberikan tugas untuk membuat laporan keuangan akhir bulan. Dia ingin tahu seberapa berpotensinya perusahaan ini dalam menghasilkan profit di bulan ini dan sebagai gambaran kasar profit perusahaan di bulan selanjutnya.
"Alana tolong kamu siapkan laporan keuangan per 30 hari kemarin ya. Besok kita akan meeting dengan direktur." Pak Anto managerku memberi perintah.
"Baik pak, 30 day’s report ya pak." jawabku.
"Yup seperti biasa, kamu tahu kan apa yang harus kamu siapkan dan kerjakan?" tanya Pak Anto.
"Tahu pak, akan saya siapkan sore ini sebelum pulang kantor." jawabku percaya diri.
"Bagus! Saya janji ketemu client satu jam lagi." tegas Pak Anto sambil berlalu keluar dari ruanganku.
Namun baru saja satu menit berlalu Pak Anto tiba-tiba muncul lagi di depan pintu dan berteriak, "Hey Alana, besok kamu datang lebih pagi ya. Kali ini kamu harus ikut meeting bersama direksi dan kamu yang presentasikan laporan itu. Okay!" dan Pak Anto hilang lagi dari penglihatanku seketika sebelum aku menjawabnya.
Apa! Besok aku harus ikut meeting direksi. Oh tidaaak! Teriakku dalam hati. Mimpi apa aku semalam, tak kuduga sebelumnya. Sejak kapan aku yang hanya seorang asisten manager ikut-ikutan meeting dengan direksi. Meetingnya besok tapi rasanya dadaku sudah berdebar dan gelisah dari sekarang.
Nampaknya hari ini aku akan lembur lagi. Jam di hp menunjukkan pukul 4 sore, jam pulang kantor normalnya satu jam lagi. Aku sebenarnya sudah menyiapkan data untuk laporan 30 day’s sejak tadi siang, karena laporan itu sudah bagian dari tugasku tiap bulannya. Tapi tak kukira Pak Anto akan mengajakku serta dalam meeting itu, yang lebih mendebarkan aku harus mempresentasikan laporannya di depan direksi. Aku harus tampil maksimal. Kurapikan data dan mulai memeriksa ulang laporannya, lebih teliti dan kupelajari dengan baik.
Benar saja hari itu aku harus extend dua jam. Pekerjaanku hari ini baru selesai sesaat sebelum Adzan Isya berkumandang. Waktunya pulang dan aku sudah lelah.
Saking gugupnya aku terbangun tengah malam. Aku ingin memastikan presentasiku besok akan berjalan dengan sempurna. Kunyalakan laptopku dan kupasangkan flash disk yang kubawa dari kantor tadi. Soft copy dari laporannya ada didalam flash disk itu. Kupelajari lagi satu persatu dan kuperbaiki apa yang salah dan menambahkan yang kurang. Padahal ini hanya laporan bulanan saja dan aku sudah biasa membuatnya untuk Pak Anto. Tapi ini bukan sekedar laporan keuangan bulanan. Karena aku harus menyajikan dan mempresentasikannya itu yang menjadi beda. Rasanya besok aku akan menghadapi ujian akhir di sekolah. Lulus atau tidaknya tergantung dari keberhasilan persentasiku nanti.
Aku hanya ingin menampilkan yang terbaik, makanya segala sesuatunya harus tepat dan sempurna. Sampai-sampai aku lupa waktu dan jarum jam sudah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit. Ini sudah sangat larut aku sudah terlalu mengantuk dan tertidur lima menit setelah kututup laptopku.
Suara berisik Mang Mamat si tukang sayur membangunkanku esok paginya. Uuugh Mang Mamat kenapa harus datang sih pagi ini, geramku. Berat rasanya untuk bangkit dari singgasana tidurku. Kulihat cermin disebelah kasurku, benar saja apa yang kutakutkan semalam. Mataku terlihat sembab dan kepalaku berat. Rasanya ingin terus berselimut dan memeluk guling. Tapi itu mustahil, hari ini aku akan bertemu direksi dan harus segera bersiap ke kantor.
Di kantor ,Tika melihatku beberapa kali menguap di meja kerjaku sambil menahan berat kepala dengan tanganku yang sesekali menutup mulutku yang menguap lagi dan lagi.
"Kenapa Lan, nguap mulu dari tadi." tanya Tika.
"Ngantuk tik, boleh gak ya gw tidur lagi bentaaar aja di loker. Lima belas menit deh." aku berharap Tika meng-iya-kan. Tapi siapa Tika yang hanya seorang General Cashier yang tak berwenang mengizinkan aku tidur sebentar sebelum memulai pekerjaan hari ini.
"Alana, tolong report yang saya minta kemarin sore disiapkan ya. Sepuluh menit lagi kita mulai meeting oke." sebelum Tika menjawab pertanyaanku tadi, Pak Anto sudah memberi perintah.
"Oh, baik pak. Sudah siap ko. Nanti saya bawa laporannya ke ruangan meeting." jawabku dan saat itu kulihat wajah Tika yang senyum mesem-mesem seperti menahan tertawa.
"Hahaha. Silahkan tidur dulu tuan putri kalau bisa, tapi lima belas menit sepertinya tidak bisa tuh, sepuluh menit cukup gak. Hahaha." ejek Tika setelah Pak Anto keluar dari ruangan.
"Ah, sial lu. Seneng amat sih Tik." balasku kesal.
"Emang semalem lu tidur jam berapa sih Lan, tumben-tumbenan pagi-pagi gak semangat gitu. Nguap mulu dari tadi. Abis nonton drakor ya?" Tika bertanya sambil dia menyiapkan berkas.
Saat Pak Mail mengetuk pintu aku menjawab pertanyaan Tika, "Semalaman gw siapin laporan ini Tik. Kemarin sore tumben-tumbenan Pak Anto bilang kalau meeting kali ini aku yang presentasiin laporannya, di depan direksi pula. Gimana gw gak stress coba. Makanya gw melek semalaman pelajarin ini semua."
"Pagi Bu Tika dan Bu Alana boleh saya masuk." tanya Pak Mail.
"Masuk pak." jawab Tika sambil dia berjalan menuju ke brangkas depan pintu mendekati Pak Mail juga.
Pak Mail adalah security yang sudah biasa menjadi saksi saat Tika akan menghitung uang-uang yang dikumpulkan oleh semua cashier. Sambil mengeluarkan amplop-amplop uang dari brangkas Tika berkata, "Oh gitu. Lu bisa lah, kan itu report yang biasanya lu kerjain. Good luck ya Lan."
"Thanks Tik, gw ke ruang meeting dulu ya." Bismillah, doaku dalam hati.
Tanpa berkomentar panjang lagi Tika dan Pak Mail mulai mengerjakan tugas mereka bersama sampai tuntas. Sementara di ruang meeting, direksi, Pak Anto dan manager-manager dari divisi lainnya sudah siap. Akhirnya saat yang mendebarkan tiba, meeting dimulai juga. Setelah beberapa sambutan dari para manager akhirnya giliran Pak Anto yang akan menyampaikan inti dari meeting ini. Kemudian dia mengalihkan fokus semua orang kepadaku. Semua mata langsung tertuju kepadaku. Rasanya seperti sedang konser tunggal dan mereka sudah dengan siap ingin menikmati acara konsernya atau malah ingin bersorak kecewa jika konsernya tidak menarik.
Untung saja semua data dan file yang dibutuhkan untuk meeting hari ini sudah aku siapkan sejak kemarin sore ditambah lagi tadi malam aku dengan sukarela mempertahankan mataku untuk tetap terjaga supaya bisa mempelajari semuanya. Awalnya memang sangat mendebarkan, rasanya ingin duduk dibalik layar saja, tapi lama-lama rasa gugup itu hilang. Lambat laun aku menemukan ritmenya. Aku sudah sangat percaya diri dan berjanji pada diriku sendiri bahwa presentasi kali ini harus berhasil. Butuh waktu dua jam sampai meeting itu selesai. Rasanya seperti berhasil keluar dari pintu penghakiman dosa. Haha.
Bagusnya meeting berjalan dengan lancar. Pak Anto sebagai atasan langsung menghampiriku dan mengatakan bahwa dirinya puas dengan hasil laporanku begitupun direksi dan para manager lainnya. Rasa ngantukku hilang begitu saja saat rapat, mungkin karena saking gugup dan tegang. Tapi setelah itu semua kelegaan berakhir lagi, rasa ngantukku kembali datang dan aku menguap lagi dan lagi. Aku butuh kesegaran dan minum air yang banyak. Mungkin teh hangat akan membantuku melek lagi. Sayangnya kalau orang lain butuh kopi supaya mata tetap melek, tidak denganku. Aku tidak suka kopi, perutku akan bergejolak menentangnya jika kopi masuk kedalam lambungku. Tapi percaya atau tidak aku justru menyukai aromanya , rasanya aroma kopi bisa menenangkan jiwa, hati dan pikiran. Menghirupnya saja sudah cukup bagiku. Mungkin aku pula lah satu-satunya pengunjung kedai atau coffee shop yang tak pernah memesan kopi. Hahaha.
Siang ini Boss besar alias direktur dan Pak Anto akan pergi ke luar kota. Hasil rapat kemarin sore membawa mereka ke pintu bisnis selanjutnya. Mereka berdua sudah ada janji bertemu siang ini dengan client kami yang baru itu untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Itu artinya sisa setengah hari lagi adalah kebebasan bagi kami seisi kantor ini. Tidak akan terdengar teriakan bapak manager memanggil-manggil nama kami meminta ini dan itu.
Tika sudah memberi signal kepadaku, kedutan alis dan kedipan mata centilnya mengisyaratkan sesuatu. Biasanya dia akan meminta tolong kepadaku, entah menemaninya kemana, beli apa atau sekedar makan siang di kafe yang agak jauhan dari kantor kami. Refreshing katanya. Menu-menu kantin memang sudah membosankan. Semua pedagang di sekitar kantor juga sudah kami jajahi. Jadi pergi makan di kafe daerah Dago mungkin itu pilihan bagus.
"Tik, makan di Dago yuk." ajakku kepada Tika sebelum dia mengusulkan sesuatu yang lebih absurb.
"Haha tau aja lu apa yang gw mau. Cusss. Tapi anter ke bank dulu ya, sambil setor duit." Tak panjang lebar Tika segera menyambar tasnya dan berjalan menuju pintu keluar.
"Oke." aku mengikuti Tika di belakang.
Kami pergi ke kafe langgananku di atas bukit di daerah Dago atas. Aku sering ke sini, jauh-jauh dari Bandung Selatan menuju Bandung Utara dengan menengendarai motor hitamku si Bity, jarak yang ditempuh sekitar 35 menit. Kali ini aku bersama Tika pergi dari kantorku di daerah Pasteur menuju kafe itu di daerah Rancakendal dan hanya butuh sekitar 17 menit saja untuk tiba disana.
Teman sekaligus wanita yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri yang biasa dipanggil Bubu lah yang dulu pertama kali membawaku kesini. Bubu dulu teman kerjaku di kantor ini, dia sekretaris direksi, tapi dia sudah resign dan pindah ke Bali bersama suaminya setahun lalu. Karena kafe ini pula adalah kafe milik temannya. Menu masakan khas sunda yang tak jauh berbeda dengan menu rumahan pada umumnya. Tapi view alam yang serba hijau dan landscape pegunungan di kejauahan ditambah suara kicauan burung membuat semua masakan yang biasa itu jadi luar biasa, endolita maknyos kalau kata si Bu
Jika kita turun lagi ke lantai bawah di sisi bukitnya, maka akan ada suasana yang berbeda dari kafe ini. Ada semacam workshop atau galery seni yang cukup luas. Biasanya para penggiat seni akan memperlihatkan bentuk seni yang mereka ciptakan disini. Dan para pecinta seni akan dengan senang hati mengunjungi pameran atau workshop mereka disini sambil nongkrong dan ngopi. Mulai dari seni lukis, seni patung, seni pahat bahkan sampe seni kontemporer dengan segala bentuk seni yang unik. Aku pernah datang ke sini beberapa bulan sebelum Bubu pindah ke Bali. Saat ada workshop seni lukis dan bentuk abstrak lain dari salah satu seniman Bali. Aku tak terlalu paham akan karyanya tapi aku cukup menikmatinya begitu juga dengan Bubu.
Aku dan Tika memutuskan untuk duduk santai di bagian bawah dari kafe ini. Selain suasananya yang lebih tenang dan adem, well kafe dan gallery ini memang akan ramai setelah pukul 4 sore nanti. Percayalah anak muda gaul yang berseni akan berkumpul disini. Tak banyak yang tahu, tapi yang memiliki sense of art memang akan lebih suka berkumpul disini ketimbang kumpul di kafe-kafe lainnya di sekitar Rancakendal ini.
"Mau pesen apa Lan?" tanya Tika setelah berkali-kali membolak balikkan buku menu.
"Tahu cabe lada garam sama teh hangat melati." menu favoritku itu kurasa cukup untuk mengganjal perut yang belum terlalu lapar ini.
"Oke, menu keharusan lu klo nongkrong di kafe. Tahu cabe lada garam, teh hangat melati. Hmm gw mau pesen Sop Iga Bakar sama Ice Lychee Tea terus kayanya cireng rujak enak juga nih. Satu lagi dessertnya Ice cream with caramel banana satu. Sip, done dan.. mbak, mbak..." Tika langsung memanggil pelayan kafe yang saat itu melewati meja kami.
"Lu lapar apa kalap sih Tik? Habis gak tuh?" Aku heran kenapa Tika memesan begitu banyak makanan siang ini.
"Habis ko tenang ajalah, kaya baru kali ini aja lu makan sama gw." Balas Tika sambil mengeluarkan handphone dan mulai berselfie ria.
Lima belas menit kemudian sebagian pesanan kami datang termasuk teh melati hangat milikku. Siang ini memang lebih adem karena sepertinya matahari enggan terik, ditambah hembusan angin di lereng bukit membuat hawa menjadi lebih dingin. Teh hangat memang cocok untuk dinikmati kala itu. Aku tak mau kalah dengan Tika, kuambil hpku juga dan mulai memotret secangkir teh hangat di meja dengan latar belakang hamparan hijau lereng bukit yang sedang ditanami bunga kol dan gunung yang berdiri tegak dibelakangnya. Cekrek dan refleks ku pasang di status whatsapp-ku. Kuberi caption "A cup of warm jasmine tea and a longing heart greet you this evening." Entah aku merindukan siapa? pura-pura rindu seseorang saja lah. Tak akan ada yang tahu.
Kusimpan cangkir teh itu dalam genggaman kedua tanganku. Hangatnya serasa menjalar kesetiap nadiku sampai menuju kepada titik dikepala yang memerintahkan mataku untuk terpejam sesaat. Angin semilir membuatku terlena dalam gelapnya pandangan setelah kupejamkan mata dan membisikkan sesuatu ditelingaku. "Ayo Alana kita bermimpi lagi." Kuhirup uap teh yang terbang menjauh dari permukaan teh dalam cangkir. Sebagian masuk kedalam hidungku dan tiba pada titik syaraf khayalku. Sebagian lagi menghangatkan wajahku lalu terbang bersama tiupan angin.
Aku seperti sedang membeku, lalu pikiranku melayang jauh. Semakin jauh dan jauh lagi. Ini sebuah impian yang selama ini ada dalam benakku. Impian mendapatkan kehidupan yang lebih indah. Ada aku, Aluna dan Alena di tengah padang rumput yang luas. Ilalang hampir menenggelamkan Lena karena tingginya hampir menyamai dia. Luna dan Lena berlari menjauhiku, sambil sesekali melihat kebelakang dan memastikan aku masih ada ditempatku berdiri. Luna berteriak memanggilku, menyusul Lena yang melambaikan tangannya mengisyaratkan bahwa aku harus segera menyusul mereka. Mereka berlari cepat sekali. Aku berusaha melangkahkan kakiku dan mulai berjalan, lalu lebih cepat lagi. Mereka semakin jauh. Tunggu aku, stop jangan berlari Luna, Lana, teriakku dalam hati. Namun mereka semakin jauh dan seluruh tubuh mereka lama-lama menghilang tenggelam diantara ilalang-ilalang.
Dimana mereka? Aku panik. Astaga pandanganku mulai mengabur, aku tak bisa melihat apa-apa. Dimana mereka? Semakin jauh aku melangkah rasanya ilalang-ilalang ini semakin tinggi. Pantas saja aku tak bisa melihat mereka apalagi Alena yang masih kecil, tingginya tak lebih dari 70 cm. Aku semakin panik karena Aluna yang lebih tinggi dariku pun sudah tak terlihat lagi. Aku ngeri, semakin panik dan bingung. "Lunaaa, Lanaaa dimana kalian?" aku berteriak tapi tak ada jawaban dari mereka berdua. Aku harus bergerak maju dan berlari lebih cepat lagi. Sambil terus berteriak memanggil mereka. Mataku mulai berkaca, aku menangis karena semakin kencang kuberlari menjauhi titik berdiriku semula tak kudapati mereka dimanapun. Angin tiba-tiba datang sangat kencang dan menyapu semua ilalang-ilalang dihadapanku. Ilalang-ilalang itu tercabut dari akarnya dan terbang entah kemana, tersapu angin ke sisi barat dan timur di depanku.
Apa ini? Angin juga membuatku tak mampu berdiri tegak lagi. Tubuhku serasa bergoyang tak tentu poros gravitasinya. Mataku tak bisa melihat apa-apa, angin kencang memaksaku memejamkan mata dan kulindungi dengan telapak tanganku. Aku merasa diombang ambing oleh angin beberapa lama. Lalu tiba-tiba angin mulai mereda, dia tak lagi mengamuk seperti tadi. Perlahan mulai melembut dan hanya bersemilir saja menyapu rambutku dan seperti sedang mengecup lembut wajahku sekarang. Dari bilik mataku yang masih terpejam aku melihat ada cahaya terang didepanku. Dan suara itu, suara Alena yang tertawa riang dan Aluna yang memanggilku. Ya itu mereka, aku mendengar suara mereka, sungguh itu mereka.
Tak sabar rasanya ingin segera membuka mata ini. Kusapu rambutku yang menari terkena angin kutarik kebelakang, kusibakkan dan kukaitkan di daun telingaku. Sehingga tak ada lagi yang mencoba menghalangi mata dan area wajahku. Perlahan cahaya mentari mulai masuk dan membuat silau retina mataku. Lebih lebar lagi, satu kedipan, dua kedipan dan saat kedipan ketiga aku melihat segalanya. Didepanku berjarak puluhan langkah aku melihat mereka. Itu Aluna dan Alana, mereka nampak riang dan melambai-lambaikan tangan kepadaku.
Aku lega setelah badai angin di tengah padang rumput itu akhirnya mereka baik-baik saja. Setidaknya terlihat seperti itu, mereka seperti berada di depan sebuah pohon dan berpegangan pada dahan kecilnya. Tak nampak kegelisahan di wajah mereka. Aku tersenyum dan lega, aku ingin segera datang kepada mereka dan memeluk mereka. Kulangkahkan kakiku segera, perlahan lebih cepat dan lebih cepat lagi. Aku ingin berlari sekarang maka ku berlari. Semakin jauh dari tempatku tadi dan aku seperti melihat sesuatu diantara mereka. Oh tidak! Ternyata itu bukan sebuah pohon. Dari jauh tadi aku tak melihat bagian atasnya, karena kabut atau asap putih atau apalah ku tak tahu masih menghalanginya. Tapi semakin dekat kepada mereka, mataku semakin jelas memandang sesuatu ditengah-tengah Luna dan Lena. Tinggal belasan langkah lagi dan aku terengah-engah, lalu berhenti dengan penasaran di kepalaku.
Kupicingkan mata untuk memastikan apa sebenarnya yang ada diantara Luna dan Lena. Apa itu? oh tidak lebih tepatnya siapa dia? Seseorang yang sedang berdiri diantara anak-anakku sambil menggenggam tangan Luna dan Lena di sisi kiri dan kanannya. Kulihat wajahnya, aku tak mengenalnya dan terasa asing bagiku. Dia tersenyum kepadaku dan senyuman itu manis sekali seperti ingin menghipnotisku. Dan anak-anakku nampak bahagia bersamanya. Aku ingin menggapai mereka, aku ingin berjalan mendekati mereka namun aku tak bisa. Tiba-tiba saja kakiku sulit digerakkan, tubuhku kaku. Jangankan berlari, melangkah saja sulit, lalu aku mendengar sesuatu.
"Alana..." ada suara yang memanggilku.
Suara itu nampak tak asing bagiku, tapi itu bukan suara mereka. Bukan suara Aluna ataupun Alena dan tidak mungkin pula suara lak-laki itu.
Tiba-tiba aku mendengar gemuruh dan kulihat langit pun mulai mendung. Lalu rintik hujan mulai turun dan Oh tidak mereka menghilang, tidak, tidak, jangan pergi. Tolong kembali. Tidaaak...