.🏠🏠.
Di taman hanya ada An dan Iqbal. Para penduduk Sky sudah pulang. Tadi, Iqbal meminta An untuk berbicara dengannya. Berdua saja. Tanpa Hana atau siapa pun. Ke duanya memandang ke atas. Melihat langit yang sedang cerah. Sekilas An melihat ke arah Iqbal, ada rasa bersalah karena dia sudah memberi goresan pada wajah Iqbal. Tapi, siapa suruh dia menyakiti Hana.
"Bagaimanapun juga gue minta maaf, Bal. Gue tadi emosi." akhirnya An meminta maaf, walaupun tidak sepenuhnya.
Iqbal tersenyum, kemudian merangkul pundak An. "Kata mereka, jalan hidup remaja lelaki adalah berkelahi. Jadi, nggak usah merasa bersalah. Lagian gue pantes kok dapat ini semua. Gue salah."
"Ngomong-ngomong, kenapa lo tadi nangis dipelukan bunda?" tanya An penasaran. Ia pikir Iqbal tidak secengeng itu.
"Cuma ingin."
"Terus kenapa lo permainkan Hana? Lo tahukan kalo Hana mudah baper, tapi mudah pula melupakan."
Iqbal tersenyum, "Awalnya sih gue cuma pengen permainkan Hana. Tapi, semakin gue dekat sama dia, gue jadi nyaman." An menaikkan alisnya, kenapa tiba-tiba An ingin marah ya?
"Mungkin dia udah benci kali ya sama gue."
"Hana nggak kayak gitu kok. Ck, sesakit apapun lo lukai dia, dia tetap punya sisi malaikat. Makanya gue suka dia." An terdiam sebentar, tunggu apa yang baru saja ia ucapkan? "Maksud gue, suka sebagai teman. He... He..."
"Hmm, sampaikan juga salam gue ke bundanya Hana. Dan bilang juga, nggak perlu repot-repot ke rumah. Toh, bokap nyokap gue nggak akan peduli." ucap Iqbal dengan wajah lesu. Tidak ada yang perlu ia banggakan di dalam keluarganya, sebab itu ia iri melihat bundanya Hana. Hana adalah orang yang beruntung punya bunda yang perhatian dan pengertian.
"Jadi, apa rencana lo selama tiga hari ini?" pertanyaan Iqbal membuat An terdiam. Tubuhnya membeku membayangkan omelan mama Kim. Sekarang ia baru ingat bahwa dirinya kena skorsing.
..
Setelah dipersilahkan masuk oleh Hafidz, An dengan senyum mengembang mengikuti langkah masnya Hana. Dia membawa kantong kresek membuat Hafidz penasaran, "Apaan itu An?"
"Oh iya, hampir lupa." An terkekeh, "Ini ole-ole dari Bandung. Appa An baru pulang." An menyerahkan bungkusan yang di tangannya pada Hafidz, "Bunda mana?"
"Ada tuh, di taman belakang."
Ingin hati hendak menemui bunda, namun langkah An harus terhenti ketika Hana menarik bajunya. An menghela napasnya, haruskah hari ini mereka bertengkar lagi? Dengan alasan yang sepele?
"Mau kemana lo?"