.🏠🏠.
Hana masih setia membahas kumpulan soal-soal yang memusingkan kepalanya. Tadinya dia meminta bantuan Hafidz, namun mas-nya itu terlalu emosi untuk mengajarinya. Jadinya, Hafidz menyerah dan membiarkan Hana pusing sendiri membahas soal-soalnya.
Hari demi hari berjalan, bahkan tahun pun sudah berganti. Yang artinya hanya menghitung bulan masa-masa SMA Hana akan berakhir. Dan kini dia disibukkan dengan membahas soal-soal untuk tes masuk perguruan tinggi. Nilainya tidak terlalu bisa dibanggakan, namun jika ada kemauan dan kerja keras, apa yang ingin dicapai mudah-mudahan bisa tercapai.
Hana membuka kaca mata yang biasa ia gunakan untuk belajar. Ia merenggangkan otot-otot lengannya. Sedikit lelah. Apalagi aktifitas hari ini sangat banyak. Otaknya yang tidak seberapa harus dipaksanya untuk berpikir dan berpikir.
Hana keluar ke balkon sambil membawa secangkir coklat panas. Menghirup udara malam sebentar sambil mencuci mata. Hana tersenyum saat melihat lurus ke arah An yang juga sedang berjuang di balik tembok kamarnya. Cowok itu juga berusaha semaksimal mungkin untuk memperlihatkan sisi kerennya di akhir menjelang ujian. Tiba-tiba Hana merasa agak aneh saja saat mengingat bahwa An akan segera pergi dan meninggalkan Indonesia. Untuk waktu yang akan lama mungkin. Dia juga tidak tahu, apakah An akan berencana untuk tinggal di negara asalnya selamanya atau akan pindah dan menetap di Indonesia? Hana tidak tahu. Yang Hana pegang erat adalah janji untuk menunggu tujuh tahun.
Jika ditanya apakah Hana memiliki rasa pada An. Tentu saja ada. Ia merasakannya setelah konser dadakan An bersama Reza idolanya. Setelah hari itu Hana sangat merasa gugup jika dekat dengan An. Namun, ia membuang jauh-jauh rasa gugup itu. Perempuan sangat pandai menutupi dan sangat hati-hati dalam setiap tindakan.
Hana mendongak menatap lurus ke depan saat mendengar pintu terbuka dari arah seberang. Ternyata An. Hana melambaikan tangannya dan dibalas oleh senyum An. Mereka tidak berucap apa pun, hanya saling pandang dan tersenyum.
..
An menjatuhkan tubuh berkeringatnya di lapangan basket Sky. Tidak lama kemudian, Fahreza menyusulnya. Mereka baru saja menyelesaikan permainan duo mereka.
"Gimana lo sama Hana?" Fahreza menoel lengan An. Menanyakan kabar hubungan temannya itu yang semakin hari terlihat semakin romantis. Semuanya beranggapan bahwa mereka sedang berpacaran, tapi ke duanya tidak mengakui. Backstreet kah?
"Baik-baik." jawab An semampunya, tanpa ingin memperluas pembicaraan.
"Ya elah, gue tahu lo baik-baik aja sama dia. Hubungan lo sama dia?"
"Kami tetanggaan." jawab An lagi dengan memasang wajah polos bak anak TK.
"Males gue ngomong sama lo." Fahreza bangkit dan meninggalkan An begitu saja. Bahkan cowok itu tidak ingin berbasa-basi mengajak An untuk pulang saking kesalnya.
"Ya elah. Merajuk bro?" An mengejar Fahreza dan ketika sudah dekat dia merangkulnya dengan erat.
"Awas-awas! Kita nggak kenal." Fahreza menyingkirkan tangan An dan mendorong tubuh An. Namun, An lebih berenergi dari Fahreza.
"Za, bisa anter gue pulang?" ke duanya hening ketika seorang cewek muncul begitu saja dan menghampiri Fahreza dengan mata berair seperti habis menangis.
Fahreza dengan cepat menyingkirkan tangan An dan meraih pipi cewek di depannya. Menghapus bulir-bulir air mata di wajah cewek itu, "Lo kenapa?"
"Maaf banget. Gue ngerepotin lo. Tapi bisa anter gue pulang sekarang?"