Aku berpikir apa yang belakangan kulihat adalah wujud dari perasaan atau emosi yang terpendam, lalu meluap seperti ombak di laut pasang.
Berada dalam relung selama berhari-hari, aku banyak berpikir dan merenung tentang perubahan hidup yang terjadi. Tidak banyak, memang, karena aku sendiri masih sangat kesulitan untuk mengontrol diri. Terlebih di masa aku merasa semakin kecil dan kalah oleh ego. Pikiranku selalu saja berkutat pada siklus yang sama. Kesedihan, traumatis, kekecewaan, dan penyesalan.
Tidak, bukannya aku pesimis sampai-sampai aku bisa memerangkap diriku sendiri, tetapi terima kasih pada seekor kupu-kupu yang selalu datang.
Aku tidak pernah tahu bahkan menyadari siapa kamu. Yang aku tahu, aku memang dekat dengan mereka sejak aku masih kecil. Meski aku sering berbuat anarkis pada beberapa saat merasa kesal dan marah.
Pada masa ini, yang mereka sebut sebagai animal spirit atau tothem banyak mendatangi para manusia yang berada dalam bimbingannya. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu—tidak sama sekali—bahkan pada dia yang selalu hadir dalam fana maupun maya. Biasanya seekor elang yang terus-menerus hinggap di atas atap atau pohon mangga di depan rumah.
Aku teringat saat aku masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar. Di pekarangan rumahku yang masih tampak seperti hutan perawan dengan pohon-pohon yang cukup lebat karena tetap dipelihara. Semak belukar berjejer memenuhi setiap ruang yang ada di sana. Di musim semi, semua tampak begitu indah karena mereka bermekaran secara bersamaan membuat diorama tampak mirip dengan ladang bunga. Banyak kupu-kupu di sana, bahkan setiap pagi aku akan berjalan ke belakang rumah hanya untuk melihat kepompong menetas dan memandangi kupu-kupu yang sedang mengeringkan sayapnya.
Beberapa ekor kutangkap dan kumasukkan ke dalam toples yang tutupnya sudah kulubangi agar udara bisa masuk, kemudian kubawa ke tempat lain untuk melakukan tugasnya di alam liar. Saat itu aku tidak mengerti, jadi kupikir saat aku membawa mereka ke tempat lain, aku telah membantu seekor kupu-kupu untuk mencari kehidupan barunya.
Abang sampai berkata, "Bakat petugas reboisasi memang beda!"
Aku terkekeh. Bisa-bisanya seorang Birelle kecil yang yang sebahagia itu hidup bersama alam dan menikmati dirinya yang terkoneksi dengan cinta, sekarang tumbuh menjadi manusia yang selalu mengeluh dan egois. Sepupuku menyebutnya, 'pemuda gagal'—ah, kalau aku mungkin bisa disebut pemudi saja.
Aku bahkan masih ingat ketika seekor kupu-kupu raja—Mariposa Monarca—hinggap di kepalaku.
Aku pun menyapanya. "Hei, kamu siapa? Apa aku mengganggumu?"
Kupu-kupu tidak berbicara, tetapi sesaat dalam kepalaku, dipenuhi kata. "Tidak." Dengan visualisasi senyum penuh kilauan.
Responsku? Tentu saja tersenyum, kemudian berjalan ke halaman depan rumah, di tempat aku juga menanam bunga-bunga berjejer hingga membentuk sebuah taman di petak lahan berukuran 3x3 meter. Ditambah 1x2 meter tepat di bawah teras tak jauh dari taman buatan yang diisi berbagai macam jenis bunga lili, amarilis, nawar, hibiscus, hingga bunga yang kini berharga jutaan rupiah dulu bisa kidapatkan gratis dari tetangga. Namun, saat aku kelas lima SD, taman itu dibongkar. Sampai di sana, kupu-kupu itu hinggap di atas bunga bungur yang sedang mekar—sudah setengah rontok, sih.
Memang benar sih, Perubahan dan peristiwa yang mengiringi perjalanan hidup mampu mengubah seseorang tergantung seberapa besar hantamannya. Bukan berarti mengeluh. Aku hanya ... bersyukur karena sebenarnya sudah dituntun sedari kecil. Namun, karena ketidakpuasan diri dan rasa iri yang sering sekali tumbuh ketika melihat apa yang tidak kumiliki ada pada teman-temanku. Perlahan membuatku menjadi pribadi yang pencemburu dan berontak.
Sampai pada akhirnya mati rasa.
Kalau diingat-ingat, selama ini aku memang sering kali dihantui oleh dua hal. Sama persis dengan kilatan film yang diputar secara acak. Mariposa Monarca dan angka 128 yang tiba-tiba muncul di mana pun selama dua puluh tahun—itu artinya sejak aku berusia enam tahun yang mana merasa minder akibat iri pada salah satu temanku.
Aku jadi ingin berusaha menjadi lebih baik, belajar giat hingga melupakan bersosialisasi, lupa makan, tidur tak nyenyak, bahkan memaksa diriku sendiri untuk memiliki suatu bakat. Nihil. Aku tidak punya bakat apa pun kecuali selalu diikuti kucing-kucing di sekitar sekolah, atau ditempeli banyak kupu-kupu Catopsilia Pomona saat sedang musim transmigrasi.
Nilai matematikaku tidak memuaskan sama sekali, Bahasa Inggris dan Bahasa Arab mendapatkan nilai minus, sedangkan seni rupa ... hmm kurasa aku bisa melatihnya.
Dari situlah aku menjadi sedikit optimis—sebenarnya over optimistic, sih—sehingga melupakan bahwa semua kejeniusan harus diiringi dengan jiwa dan tubuh yang sehat. Hingga saat pertama kalinya aku tantrum akibat stress dan kelelahan, aku jatuh sakit. Aku pun memutuskan untuk menyerah.
Saat ini, ketika aku telah memahami maknanya, aku hanya menginginkan satu hal.
Positivity in my head, agar aku bisa berdamai dengan setan-setan yang telah bersemayam di kepalaku selama bertahun-tahun.
🍁🍁🍁
Suara kicau burung dan lalu-lalang kendaraan terdengar sangat jelas di telingku, seperti sedang berada di tengah-tengah jalan tol yang memotong hutan belantara. Namun, semua yang ada di sekitarku hanyalah gelap dan basah. Seolah-olah aku tengah tenggelam.
Tunggu. Aku ingat, apakah ini seperti mimpi yang kualami setahun yang lalu? Di saat aku tengah berjalan menyusuri sungai kecil menuju hilir, hingga menemukan sebuah bendungan besar. Aku berdiri di atasnya, menatap langit. Saat itu, kulihat diriku seperti bukan aku. Aku yang berbeda. Sampai pada akhirnya perasaan itu datang. Kesepian, kesedihan, dan duka. Membuatku untuk kembali ke hulu, menyusuri kembali aliran air dangkal yang hanya semata kaki. Namun, tanpa diduga, jalur yang sebelumnya kulewati dengan lancar itu tidak bisa kupijak. Aku terperosok di perairan dalam yang penuh ilusi. Gelap. Aku berusaha berenang ke atas, meski berkali-kali aku menggapai air, sesuatu yang ada di bawahku semakin mengikat dan menarikku semakin dalam, hingga ke dasar. Aku tidak ingin menyerah hingga aku berhasil kembali berenang dengan oksigen di paru-paruku yang telah menipis. Ayunan tanganku semakin mendekati bibir perairan, hingga saat aku hampir mencapai permukaan, aku terbangun.