Menikmati senja di dataran tinggi di salah satu kampung provinsi Jawa Barat yang di penuhi dengan hijaunya pepohonan teh membuat kesehatan pikiran kian pulih. Di sana di bawah pohon beringin tua nan besar berdiri seorang laki-laki dengan tegap dan memasukkan kedua tangannya di saku celana. Dia sedang menikmati hari liburnya dengan kesendirian. Demi mendamaikan pikiran yang sedang semrawut akibat di tinggal oleh sang kekasih hati.
Marah sudah dia lakukan beberapa hari sebelumnya. Memaki, memukul dan mabuk-mabukkan merupakan tanda jika ia tak terima karena telah di perlakukan dengan seenaknya.
Namun karena Cakrawala Karang Sanjaya adalah laki-laki dewasa usia dua puluh tujuh tahun membuatnya tak lantas terus melampiaskan dengan perilaku buruk. Dan atas dasar itulah ia memilih untuk mengasingkan diri di sebuah vila keluarga jauh dari pusat kota tempatnya tinggal demi ketenangan pikiran.
Lima hari dia telah tinggal. Kesehariannya tetap bekerja secara online, karena posisi Cakra cukup penting di perusahaan, yaitu sebagai pemimpin perusahaan jasa ekspedisi. Oleh sebab itulah walau ia telah mempercayai orang kepercayaannya untuk menggantikan posisinya sementara, tetap saja Cakra mengantisipasi diri untuk tetap bekerja secara daring.
“Permisi Mas, maaf.”
Suara seorang wanita menyadarkan Cakra dari lamunan panjangnya. Segera dia menoleh dan langsung mendapati seorang perempuan muda tengah menatapnya dengan raut sungkan.
“Saya mau tanya.”
Akibat keterdiaman Cakra, perempuan itu kembali berkata. Sempat ia memperhatikan sekeliling perkebunan teh sebelum kembali menatap laki-laki dihadapnnya.
“Ini Desa Kencana Indah kan ya?”
Cakra hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari perempuan yang tidak ia kenali itu.
“Kalau begitu, tau rumahnya Melinda? Anaknya Bapak Reso, ketua RT desa ini?”
Perempuan itu bertanya dengan binar penuh harap dan nada yang lebih riang. Sebab sudah satu jam dia berjalan dan bertanya kepada orang-orang yang dia temui, namun tetap tak kunjung menemukan lokasi yang ia cari-cari. Walau saat ini sudah menemukan Desa Kencana Indah, tapi dia belum menemukan rumah temannya yang bernama Melinda.
“Maaf, saya nggak tau,” ujar Cakra dengan singkat.
Lantas perkataan itu langsung menyurutkan binar harapannya. Perempuan itu langsung meluruhkan pundaknya seolah beban kembali menumpuk di bahunya. Dia memang sudah lelah. Sedangkan itu Cakra tampak mulai berjalan meninggalkan tempatnya berdiri. Dia akan kembali ke vila karena sore mulai larut. Tetapi sebelum langkahnya semakin jauh, perempuan tak dikenalnya itu tiba-tiba menghadang jalannya.