Hari yang paling di tunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Pagi ketika gelapnya langit masih menyelimuti, Devina sudah disibukkan dengan persiapan yang sebenarnya sudah dia lakukan malam kemarin. Gadis itu berkali-kali keluar masuk ke dalam kamar kos yang bersekat hanya untuk mencari powerbank. Seingatnya dia meletakkan di atas kardus dekat rak sepatu. Namun sudah ke tiga kalinya dia tak menemukan barang yang dicarinya itu.
“Aih, mana penting lagi,” ujarnya kesal.
Lelah karena tidak menemukan barang yang dicari alhasil Devina kembali menjatuhkan diri ke kasur. Dari celah atas jendela kamar kos terlihat suasana masih gelap. Belum terdengar kendaraan berlalu-lalang. Sebab masih satu jam lagi jarum jam mengarah pada angka enam. Lantas Devina kembali beranjak dari kasurnya. Ia jelas tak mungkin kembali tidur.
Maka awal niatnya beranjak untuk membasuh wajah dan gosok gigi terhenti sementara karena melihat powerbank yang dicarinya ada di rak make up. Ia melenguh kesal. Nyatanya aktifitas pagi untuk persiapan trip perusahaan lebih runyam dari apa yang dibayangkan.
***
Kini matahari sudah menampakkan keagungannya. Sinarnya belum sampai membakar kulit, namun sudah terasa hangat. Jam di arloji lengan kiri Devina masih menunjuk pukul tujuh. Ia mengenakan kemeja oversize kotak dipadukan dengan celana jeans yang pas di kedua kakinya. Karena tali tas ranselnya melorot, segera dia membenarkannya. Namun tak lupa dia masih menyimak obrolan dengan Sela di dekat pos satpam.
“Gue nggak bisa ninggalin Dirga sama pengasuh, karena masalahnya kita nginap satu malam, ayahnya juga masih ada dinas di luar kota, jadi ya gue ajak aja.”
Sela ibu muda itu lantas membenarkan posisi menggendong anaknya yang berusia dua tahun. Ia menggendong tas ransel besar di punggung dan di depan harus menggendong Dirga yang tampak tak tenang sedikit pun. Anak itu cukup aktif merengek meminta turun.
Awalnya Devina terkejut dengan kedatangan Sela yang tak sendiri. Bahkan dengan keadaan wajah yang hanya terpoles tipis-tipis. Sela hanya mengenakan kaos berlengan panjang dengan celana bahan. Gaya yang cukup sederhana bagi seorang ibu satu anak itu yang terbiasa berpenampilan rapih dan terkonsep semi formal.
“Tapi itu kayaknya Dirga minta turun deh, Mbak,” ucap Devina merasa simpati sekaligus kagum dengan keadaan Sela. Memang dari beberapa karyawan tak ada yang membawa anak seperti Sela.
"Duh, mana tasnya gue bawain, Mbak." Naya yang ikut simpati membantu Sela melepaskan tas ranselnya. "Ini kalau gue milih nggak ikut aja sih," katanya kemudian.
"Sayang Nay, setahun sekali ini," balas Sela santai dan terkekeh. "Gue ajak Dirga juga karena ada lo, mau bantuin kan?"
"Ih, kampret!"
Sela terbahak diikuti Devina. Gadis itu lantas mencoba berkomunikasi dengan Dirga. Balita itu memiliki kedua pipi yang menggembung dan berbadan besar.
“Coba sih Mbak aku gendong Dirga, kayaknya sih nggak takut ya,” ujar Devina merentangkan tangannya kehadapan bocah laki-laki itu. Gadis itu lantas memulai aksi untuk mendekati anak balita itu. Tampaknya Dirga bukan tipikal anak yang takut dengan orang baru. Jadi Devina lebih mudah mendekatinya.
Sembari menunggu jadwal keberangkatan yang hanya tinggal sepuluh menit lagi, tampaknya semua karyawan Gesitz sudah hadir di halaman perusahaan. Terlihat Bayu dan Cakra keluar dari kantor menghampiri dengan gaya yang cukup keren. Cakra hanya mengenakan kaos polos oversize dengan celana chinos selutut, gaya casual yang dulu pernah Devina lihat di Desa Kencana Indah. Lalu Bayu mengenakan celana panjang jeans dengan kemeja polos putih yang lengannya di gulung hingga siku.