"Pokoknya kita harus titipkan Rose ke Ibu dan Bapak! Aku nggak sanggup membiayai kedua anak kita dan kamu sekaligus!" Bentak Musa dengan suara yang menggelegar. Nia yang takut suara suaminya itu membangunkan kedua anaknya langsung mengusap keduanya.
"Aku mana mungkin bisa meninggalkan Rose di sini! Kita itu keluarga, suka dan duka harus dilalui bersama!" Nia mencoba menyakinkan Musa agar ia tidak meninggalkan Rose di rumah kedua orangtua Nia.
Musa yang tidak ingin dibantah, mendekat dan mencengkram kedua bahu Nia dengan sangat erat. "Kita itu mau pindah ke Jakarta! Memangnya kamu bisa menjaga mereka berdua. Bayangkan, jika salah satu mereka diculik oleh preman di sana aku juga yang pusing! Belum lagi kita nggak tahu akan tinggal di mana. Kalau kita hanya membawa Canna semuanya tidak akan terlalu sulit."
Nia terdiam. Kemudian linangan air mata yang sedari tadi ingin keluar tidak bisa ia tahan lagi.
Musa yang melihatnya langsung melepaskan cengkraman di bahu istrinya dan langsung memeluknya. Tidak ada pilihan lain mereka harus merelakan salah satu anaknya untuk dirawat oleh kedua orangtua Nia.
Malam harinya mereka langsung melangkah kan kaki ke rumah Ayah dan Ibu Nia. Ayah dan Ibu Musa sudah meninggal, pilihan terakhir jatuh ke mertuanya. Musa juga yakin dari segi ekonomi mereka bisa merawat satu cucu untuk dua sampai tiga tahun ke depan.
Dengan membawa kedua anaknya dan Nia istrinya, Musa berjalan memasuki pekarangan rumah mertuanya. Hawa dingin langsung dirasakan oleh Musa yang membuat dirinya memeluk Rose supaya anaknya tetap hangat.
Ketukan pintu pertama tidak membuat orang di dalam membuka pintu, dan setelah Musa kembali mengetuk baru ayah mertuanya keluar dengan memakai baju koko dan sarung.
"Maaf Pak ganggu malam-malam," ucap Musa sambil menyalami Bapaj mertuanya, Nia yang ada dibelakang pun mengikuti apa yang dilakukan Musa.
"Ada apa? Kok sampai bawa tas segala?" tanya Bapak Nia. "Kalian mau pergi ke mana?"