Sejak kejadian itu, aku terbangun di kasur aneh yang terbuat dari plastik. Seperti tidur di atas kasur air yang berpendar putih. Kasur ini panas seperti inkubator ala Aequor untukku yang bermata cacat. Tak bisa kubayangkan seorang komikus Tammy yang tidak bisa melihat tokoh-tokoh tampan dan menggambar mereka. God, my career is doomed without my eyes!
Tempat tidurku berupa bola kaca yang yang dikelilingi siluet-siluet manusia. Tangan-tangan besar mereka masuk keluar dari lubang di kaca yang langsung menutup tak berbekas. Mereka mengganti popok dan memasang infus di tanganku lalu pergi setelah memanggilku:
"Io."
Apa aku ini bulan Jupiter yang dikonversi jadi manusia? Kuraba mukaku membayangkan kepala bola berkawah-kawah seperti bulan. Tak lupa kuperiksa infus berjarum emas yang menancap di tanganku. Kalau begini, kapan aku bisa keluar dari inkubator?
Aku yang terjebak jadi bayi punya misi menyelesaikan Arc XI. Tapi… baca sampai Arc X pun aku belum! Terakhir baru Arc II yang tamat di bab 20.
Arc II menceritakan Cyrus, siswa asal Southland yang menyiapkan ujian masuk ke Cressida Biotech di Northland. Cyrus adalah Astra yang mengulang ke satu tahun yang lalu. Cyrus menyeberang ke Northland bertemu rombongan Putri Rhea di Kerajaan Thalys. Tapi Rhea sudah tahu motif Astra mencegahnya menyebrang ke Southland. Digenggamnya tangan Cyrus dan diserapnya energi matahari Astra. Astra langsung berpindah ke gerbang Sol dan masuk kembali ke tubuh aslinya yang koma di Southland. Dari situ dia kembali menjadi Sabik yang turun ke Kota Thebes memperingati orang-orang akan kedatangan Putri Rhea.
Dari Arc tersebut, aku tidak tahu apakah ini Northland atau Southland. Aku juga tidak tahu apakah waktu terus berjalan maju dari Arc III sampai X. Astra sudah meninggal. Jantungnya disimpan di pria beruang yang namanya tidak bisa kuingat. Ingatannya yang mengalir ke otakku sudah berubah menjadi TV kusut yang kian kesemutan, lalu mati.
Apakah itu salam perpisahan Cane dan Astra yang meninggal di dunia ini? Lalu aku si Tammy ini harus menulis apa? Menyelesaikan apa? Membunuh Putri Rhea kah? Astaga… jadi dewasa pun aku belum!
Hari demi hari, aku bersabar menjadi bayi bermata buram yang hanya bisa tidur, buang air, dan menangis di bola kaca selama sebulan. Orang-orang memasukkan tangan mereka ke lubang kaca dan selayaknya ahli tenaga dalam, mereka menyapu-nyapu udara di atasku hingga perutku terasa hangat lalu bergolak hingga aku berkeringat dingin. Layaknya terapi rutin, tubuhku semakin mudah digerakkan setelah sebulan lebih.
Waktu terus berlalu hingga tersadar aku tak pernah bertemu ibuku. Bermodal selang infus di tanganku, aku merasa lebih berenergi sekalipun tidak makan dan minum. Cairan yang mengalir ke dalam tubuhku berwarna putih dan bercahaya seperti cairan yang mengisi kasurku. Entah apa yang dimasukkan ke tubuhku. Lama kelamaan penglihatanku membaik.
Suatu ketika aku duduk di kondisi remang. Aku dikejutkan cahaya biru menari-nari di kaca di atas kepalaku. Aku berdiri sempoyongan mengangkat tangan ke kaca melengkung. Begitu kusentuh, kaca ini berubah berubah menjadi layar komputer di film-film sci-fi. Aequor ternyata lebih modern dari yang kubayangkan.
Tulisan-tulisan biru bermunculan bersama gambar lingkaran seperti sigil para penyihir. Kusentuh mereka hingga keluar foto orang-orang yang mengurusku. Bahasanya tidak kumengerti. Mataku berhenti di sosok wanita berambut ash blonde bergelombang seperti refleksiku saat berdiri di gerbang Sol.
"Akh…"
Aku terduduk. Mataku melotot ngeri teringat sesuatu hingga merinding. Aku ingat pantai. Aku ingat rasanya berlari di sana dengan kaki panjang dan rambut sambung berkibar. Kupeluk tubuhku erat dan gemetar. Aku masuk ke kubus hitam yang merupakan gerbang Sol dan digencet gelombang kuat hingga hancur beratom-atom.
Aku pernah mati seperti itu. Mati melihat refleksiku sendiri di gerbang Sol. Foto wanita di atasku sangat mirip dengan refleksiku. Rambutnya bergelombang dari ubun-ubun turun ke dada. Kulitnya kecoklatan sepertiku. Matanya berwarna emas dengan cincin biru melingkari pupilnya. Tatapannya memancarkan kebaikan seperti matahari yang bersinar tak kenal lelah.
Mungkinkah ia ibuku? Pernahkah ia kemari?
Sebuah siluet masuk ke ruangan ini. Pintunya membuka jauh di depanku, membentuk sinar buram yang hilang saat menutup. Kusipitkan mataku menangkap bentuk-bentuk silinder seperti kolom di dinding putih remang untuk mencari pintu tadi.
"Io Kecil~" sapa seorang wanita yang berdiri di kananku. Baju putihnya berupa coat midi yang sedikit menggelembung dengan belah tengah. Ia bersandar ke kaca, menaruh tangannya di kaca di atas kepalaku untuk memperbesar gambar ibuku.
"Essie," katanya, menunjuk ibuku, "Mama." Digesernya wajah itu agar aku dapat melihat wanita ini. Kacamata bulatnya membingkai mata birunya yang menyala seperti neon. Rambut peraknya menghambur ke kaca seperti kepulan asap saat menunduk.
"Namamu Io."
Sontak, aku mundur. Suaranya menggema di kepalaku, termasuk tawanya saat tersenyum dengan mata menutup. "Aku Nita. Sebut saja aku ini telepath. Kau tidak harus belajar Bahasa Aequor untuk mendengarku. Mudah, kan?"
Aku diam. Tidak berani memikirkan apapun.
Nita menceritakan almarhum ibuku, Essie, yang meninggal setelah melahirkanku. Ibuku adalah peneliti di lab kerajaan seperti Dr. Frankenstein yang bekerja di kastil vampir. Kastil itu bernama Blue Palace, tempat ini. Vampirnya adalah raja abadi Kerajaan Polluxia di Northland. Melenceng sedikit jauh dari Arc II berlatar Kerajaan Thalys tempat Cyrus bertemu Rhea.
Ups… Aku tidak boleh memikirkannya di dekat Nita.
Dr. Frankenstein-nya tidak hanya ibuku. Nita mengutak-atik layar hingga muncul foto wanita jangkung yang merangkul ibuku. Bellatrix Cressida. "Cressida itu bangsawan jenius. Ciptaannya banyak. Termasuk kota emas Cressida. Labnya di mana-mana. Yang di Polluxia, khusus mengerjakan homunculus. Ketuanya, Bellatrix ini."
Ditariknya foto itu memenuhi kaca. Di belakang pasangan itu ada tabung-tabung besar berisi organ manusia. "Organ homunculus.” Nita tersenyum mengoreksi pikiranku. “Di sini ada yang namanya sunbleed. Kondisi di mana energi matahari di tubuh manusia mengalami ‘pendarahan’. Jika dibiarkan, manusia akan meninggal kehabisan energi. Organ yang menyimpan energi itu harus diganti. Ibumu, Essie, dan partner-nya, Bella,” telunjuknya mengetuk pasangan itu bergantian, “mereka mengembangkan homunculus, manusia buatan yang bisa menjadi donor organ. Tapi… ibumu berbeda..."
Kuamati air muka Nita yang berubah dari ceria ke sendu. Senyumnya sedih. Mata birunya memancarkan sinar dingin seperti malam biru yang sendu. Ia membuka foto ibuku yang sedang mengamati satu homunculus yang masih anak-anak. Ibuku menatapnya dengan penuh kasih sayang dan senyuman yang begitu tulus. Kutemukan senyum yang sama di wajah Nita.
“Essie menghormati mereka selayaknya manusia,” tuturnya pelan di benakku. Matanya menutup saat tersenyum ke arahku. “Bahkan menamainya seperti anak sendiri.”
Dahiku berkerut. Nita seperti memberiku kode.
Langkah kaki terdengar dari tiga orang pirang yang memasuki ruangan. Aku terlambat. Belum sempat melihat posisi pintu, cahaya buram itu sudah hilang. Nita menjauh dari kaca. Digantikan tiga orang ini yang model bajunya mirip Nita, terutama yang perempuan bersanggul.
Tangan-tangan mereka dibungkus sarung tangan karet dan merentang di atas kaca. Sekitarku bergemuruh seperti ada speaker keras bersembunyi di bawah kasur. Aku panik. Kasurku bergetar dan tulisan-tulisan biru di atas kepalaku bergerak cepat seperti glitch lalu kaca hilang seketika. Aku melongo. Kaca itu poof hilang seperti gelembung sabun yang pecah. Aku sampai tidak sadar infusku sudah dicabut. Lukanya juga langsung sembuh.
"Hari ini kita ke menara," jelas Nita. Mataku berkeliling lalu terpaku pada perempuan bersanggul yang memutar tangannya mengitari kasurku seperti mengaduk kuali nenek sihir. Begitu tangannya terangkat, naiklah pagar berwarna biru di sekitarku. Kasur ini akhirnya seperti ranjang bayi sungguhan berbentuk lingkaran. Aku mengulangi proses pembentukannya di kepalaku. Seperti butiran pasir biru yang memadat lalu mengeras.