"You can call me Master Randy from now, Miss Tammy."
"Master Randy?" ulangku sedikit mengejek. "Like Master Yoda?"
Tawanya menyembur dari bibirnya yang rapat sampai asisten booth-nya melirik kaget. Rambut coklatnya menghambur ke muka saat ia membungkam mulutnya. "Oh, Miss Tammy. You won't believe me. I was drinking Starbuck next to a studio, when a guy called me Anakin's double. I said 'What? No'. But he said 'You got Anakin's hair, get your suit, get on the ship.'"
"Oh, My God! Randy!" Mataku melebar menutup mulutku yang menganga. "If you’re the Anakin Skywalker, I’ll be making your fanart with a prince’s crown!”
Tawa kami kembali pecah di booth kecil Randy di event Anime Expo. Mukanya merah. Senyumnya kian lebar. Pipiku ikut hangat oleh tawaku sendiri dan pemandangan langka seorang Randy kalem bak pangeran yang terpingkal sampai mukanya merah. He's so human.
"So, Master Randy," kusodorkan tanganku melintasi meja booth. "Is it a deal, then? 'Script Writing Master Class' with Master Randy every 7 pm?"
Ia menyisir rambutnya ke belakang dan tersenyum hangat. Wajahnya masih merah sehabis tertawa. He looks very happy with my presence today.
"I can't see why not." Dijabatnya tanganku lalu ditepuknya lengan atasku. "I'll see you around, Miss Tammy."
Bayangan tentang pertemuan keduaku dengan Randy di Anime Expo melintas di benakku. Membaur dengan wajah pria berkumis putih dari Dunia Aequor yang berlutut di sisiku. Perasaan berbunga-bunga saat ditepuk Randy bersemi kembali di raga yang baru. Namun, jiwaku yang tinggal di tubuh Io ini teriris realita yang pedih.
Komikus Tammy alias Portia07 sudah wafat. Tidak ada kata-kata perpisahan, ataupun kata-kata penolakan terhadap tawaran menulis script dari Randy. Mungkin sekarang Randy sedang mengunjungi makamku yang entah menetap abadi di LA atau pulang ke negaraku.
In this world… "Kenapa Guru Sola dikurung Baba?"
Pertanyaanku meluncur begitu saja karena teringat bab 20. Mata pria ini mengembang dan terkekeh pelan. Disisirnya rambut putih gondrong yang menghambur ke bawah saat ia menatap kakiku yang telanjang di balkon menara. "Karena North Edge dulunya bersalju." Matanya kembali padaku. "Baba tidak mau aku masuk angin."
Dahiku berkerut. This is wrong! Think, Tammy. Think!
Ketika Astra mengingatkan tentang kedatangan Rhea sebagai Sabik, ia mendengar kabar tentang awak kapal Cressida Submarine yang terdampar di Kota Meerfahen, Southland. Kapal selam itu digunakan Cyrus untuk menyebrang ke Northland tapi diserang monster laut. Saat ke sana, Rasalas yang menyelamatkan para awak kapal sedang menceritakan adiknya Ransola yang dikurung di menara oleh nenek Baba kepada kerumunan di Bar Meerfahen.
"I need strong allies to come with me hunting Prismafly! A dragonfly with wings to cover our sun's aura. We sneak in. Get my brother. Sneak out. Baba will come to Meerfahen in a month. We shall NOT mess with Baba here, so we must hurry."
"You need to defeat Baba before she gets here," kata Sabik dari balik kerumunan. "She’s been corrupted by the sun crown of Old King Elios. And god-knows-who his descendant, Baba The Master of Gravity, comes in 'peace'."
Sabik mendekati Rasalas yang besar dan menjulang. Rasalas melipat tangannya dan memincingkan mata. "And how we defeat this future goddess, Miss–"
"Sabik," potongnya sambil menjulurkan tangan. Dari telapaknya keluarlah cahaya emas seperti api yang kemudian memadat menjadi pedang kristal yang teracung ke dagu Rasalas. Kerumunan langsung membicarakan Sabik yang bersuara ABG puber dan berkepang satu seperti perempuan. "It's 'Sir Sabik' for you," koreksinya ketus. "I know a guy who can kill Baba. Find him, and your brother may be freed."
Rasalas menyunggingkan senyum miring di bawah kumis tipisnya. "Poeisis," tebaknya pada pedang Sabik yang ia pinggirkan dengan punggung tangan. "You're a Reichi master, Sir Sabik. Have we met before?"
Sabik menurunkan pedangnya. Ia tersenyum tipis. In another timeline, Sal, you were my partner, batinnya. “Doesn’t matter. What matters is that Baba crossing The Rain Wall against gravity law. And while our Immortal Kings being sunlocked, the crowns are the easiest prey for the fanatic White Sun Order to merge the two suns.”
Kerumunan langsung memprotes kegilaan White Sun Order terhadap ramalan bintang.
Rasalas mengangguk, “Kill the old lady, save the world, save my brother.” Ia menyengir dan langsung menjabat tangan Sabik yang kecil. “It’s a deal, then. Who’s with me?”
Entah kenapa aku mengingat semua dialog itu, semua wajah mereka, dan seperti apa bentuk bar di Kota Meerfahen seakan aku berada di sana, di sisi Sabik.
Cane! Is this Cane’s memories as Astra?
Aku merosot ke lantai merasakan pusing yang berputar di kepalaku. Pandanganku kabur. Suara-suara memenuhi kepalaku. Kilas balik kehidupan Astra berkelip di depan mataku seperti lampu diskotik. Kepalaku kian berat hingga aku tengkurap di lantai. TV yang dulu mati kini menyala. Channel-nya terus berganti membangun ulang ingatanku akan plot novel Sol dengan gambaran yang lebih riil. Kota Meerfahen. Sabik. Rasalas. Apa yang ditakuti Rasalas.
Baba. She kept Ransola in this tower!
“Io! Dengar aku, Io? Io?”
Suara Ransola kian menjauh. Aku menutup mataku. Pusing seakan mencopot jiwaku dari tubuhku. Kesadaranku hilang ditelan kegelapan…
—∾—
Hari di mana pria beruang memegang kepalaku, aku mendengar suara Astra dan Rasalas. Ingatan itu menjejali kepalaku hingga penuh, pusing, dan pingsan. Kejadian itu terulang. Aku bangun di kasur empuk. Selimutnya seperti velvet saat tanganku menyapu permukaannya untuk duduk. Lagi-lagi aku lupa. Padahal, semuanya begitu jelas.
Sol bukan hanya sebaris kata yang diinterpretasikan imajinasiku yang terbatas. Sol ‘hidup’. Sol memiliki dunia yang kumasuki. Sol memiliki orang-orang yang kulihat langsung setinggi apa tubuh mereka, energi matahari apa yang menguar, dan emosi apa yang mereka pancarkan. Kakak yang cemas setiap hari memikirkan adiknya—
“Io Kecil masih pusing?”
—aku menoleh ke adik itu. Adik yang sudah kepala 3, atau lebih, bernama Ransola.
“Minumlah,” katanya sambil menyodorkan cawan perak padaku. Ia duduk di tepi kasur, tersenyum. “Jangan khawatir. Kalau aku mau memulangkanmu ke Baba, sejak kau pingsan, kau sudah kubawa turun. Minumlah, Nak.”
Aku menurut. Ini hanya air biasa yang membasahi tenggorokanku. “Tapi nanti Baba–”
“Tenanglah,” tuturnya. “Sekarang sedang gerhana matahari biru. Baba pasti sedang tidur siang.” Ia mengambil cawanku lalu turun dari kasur, membelakangi ruangan luas bernuansa putih-biru. “Solblauen tidak bisa menggunakan energi solblau ketika gerhana biru terjadi. Kecuali homunculus dan penjaga yang menggunakan penguat. Baba takkan tahu kau di sini.”
Solblauen. Pengguna solblau, energi matahari biru. “Apa Guru Sola ini homunculus?”