Randy, Esme, the fairest beings that ever existed in my life. If you both are crying in my grave right now on earth, I have a request. The impossible one.
PLEASE PULL ME OUT OF MY GRAVE!!! I DON'T WANNA DIE BY A THIEF IN THIS WORLD!!
Kakiku yang kesemutan karena berlutut akhirnya terbebas dari masa lalu. Konyol… Kelumpuhan ini begitu konyol! Gara-gara takut dibunuh maling, aku harus berhati-hati menggeser kakiku ke samping sambil bertumpu dua tangan untuk kabur.
Kalau di sini ada laptop dan CPU mahal Esme, aku pasti merelakan mereka dibawa maling. Tapi di Aequor, yang diincar sudah pasti aku! Satu ginjal homunculus harganya mencapai seratus juta jika berasal dari tubuh homunculus yang utuh (menurut pelayan baru yang menggosip tentang homunculus). Bayangkan! Organku dipreteli satu-satu dan dilelang di pasar gelap!
Imajinasiku liar saking lamanya menggeser kaki lain hingga lurus. Seandainya aku punya kekuatan, aku bisa menghajar maling itu dari jauh meski kakiku kesemutan. Tapi, dengan jubah kamuflase yang digunakannya, aku sama sekali tidak tahu di mana dia berada. Lama betul maling satu ini memanjat menara!
Apa dia mampir ke kamar yang lebih mewah? Apa dia sudah di kamarku? Oh, no… Ransola! Apa dia melewati kamarku dan langsung ke kamar Ransola?
Mendadak aku punya keberanian untuk memeriksa seisi kamarku yang biru mencekam. Mataku berkeliling. Sebelah kasur, sebelah sangkar, sebelah lemari, dan sebelahku di kolong meja. Kamarku yang biru ditelan gerhana biru tidak menunjukkan tanda apa-apa. Bahkan, seisi menara seperti tertidur massal sampai tidak ada yang datang mendobrak pintu kamarku.
Sraaak!!
Aku tegang mendengar suara di atasku. Seperti orang yang merosot di dinding. Apa Ransola jatuh? Aku mencondongkan diri keluar kolong meja setelah kesemutanku reda. Begitu kuputar badanku memeriksa jendela, sepasang kaki menendang masuk hingga aku kembali beringsut ke kolong meja.
Seseorang jatuh berguling di lantai hingga menabrak lemari di seberangku. Buku-buku berjatuhan menimpa wujudnya yang setengah transparan. Si maling, si dia yang berbaring miring dan mengerang tertimpa buku, meronta di lantai seperti orang yang dicekik dari belakang. Dicabutnya sesuatu yang menutupi wajah hingga ia terlihat seperti kepala bermasker tengkorak yang berbaring di lantai tanpa badan.
Aku membeku. Penutup yang dilemparnya ke lantai di depanku ditumbuhi potongan kaca transparan yang bergerak-gerak dan mencicit. Tak lama, wujudnya terungkap seperti bunglon yang berhenti berkamuflase. Sekumpulan makhluk seperti ngengat bersayap kristal hitam sedang menggerogoti sebuah hoodie hitam sambil mencicit. Sayap mereka berpendar merah menyala yang begitu kontras dengan cahaya biru pekat yang menusuk mata.
"Nak Io!"
Aku mendengar panggilan dari pintu kamarku yang terbuka. Ransola! He's safe! Dia memakai tunik biru bergliter yang mudah kulihat saat mengendap mendekatiku. Ransola melirik si maling yang merobek jubahnya dan melemparnya ke arah Ransola. Aku memekik tertahan begitu Ransola beringsut ke kolong meja menghindari ngengat di potongan jubah yang hampir mendarat di punggungnya.
"Hellcry," jelasnya sambil terengah menyisir rambut putihnya yang berantakan. “Mereka menyukai sayap Prismafly. Mereka juga pasti mengincar Io.”
“Ha! Apa lagi yang kau siapkan untuk menjebakku, Sola!” sahut si maling.
Mataku menatap si maling bermasker tengkorak yang menyapu ngengat-ngengat di tubuhnya. Lalu, kembali ke ngengat yang merayap ke arahku, aku panik dan langsung merapat ke dinding. Aku terus bergeser ke arah Ransola yang menenangkanku sambil mundur.
“Apa kau lupa dengan ramalan itu, Silas?” sahut Ransola sambil mundur ke kaki meja.
“Sepertinya kau mulai pikun, Sola. Apa Rhea tidak memberitahu tanggalnya?”
Sedangkan aku yang merangkak menyusul Ransola terdistraksi tiga hal sekaligus: Hellcry, Rhea, dan muka Ransola yang begitu dekat saat ia menggendongku setelah keluar dari kolong meja. Jantungku berdebar ketika tangannya melingkar di bawah pahaku dan melingkar di belakang punggungku. Tenang, Tammy. Tenang! Io masih kecil jadi wajar digendong seperti ini!
“Io takut?” tanyanya dengan lembut tepat di depan mukaku.
Mukaku langsung panas. Iya! Aku takut jantungku copot melihatmu sedekat ini!
Ransola tersenyum lalu melihat ke arah si maling. Aku bahkan lupa dengan para Hellcry yang masih merayap ke arah kami saat kami mundur ke pintu. Mereka seperti gerombolan kristal hitam yang menghambur menutupi lantai dan berpendar merah seperti lahar panas.
“Aku muak melihatmu mengurus anak kecil di menara, Sola! Aku sudah cukup sabar untuk tidak membunuhmu karena kau adikku!"
Aku membelalak. Mati? Kau ingin Randy mati? Tunggu… Tadi kau bilang ‘adik’?
Si maling melepas masker tengkoraknya lalu meremasnya hingga hancur. Ia berdiri, merobek atasan hitamnya yang compang-camping digerogoti para Hellcry. Kulitnya yang kecoklatan terlihat gelap di malam biru yang pekat. Tapi luka-luka gigitan di ototnya menampakkan dagingnya yang bercahaya putih keemasan seperti lampu. Bahkan darahnya pun juga putih keemasan, mengalir turun ke lekukan ototnya sehingga mataku tidak bisa beralih.
Uh… If thief, why hot?
Kutepis jargon itu dari benakku begitu si maling menarik belati kristal dari bootsnya lalu melemparnya ke dinding di atas meja belajarku. Belati yang menancap itu menyala dan langsung dikerubungi para Hellcry yang berkerumun mendaki tunik Ransola.
“Silas," Ransola tersenyum melihat tuniknya yang bersih dari Hellcry, "Sepertinya, kita tidak akan pernah tahu kapan waktu yang tepat, termasuk kapan kau kembali padaku.”
Si maling melangkah maju melewati jendela. Cahaya birunya memoles wajahnya yang tegas dan berkumis tipis, "Oh, adikku. Aku muak dengan semua janji-janji Rhea padamu. Lebih muak lagi karena kau tak pernah memberitahuku!!"
Ia maju mencabut belati dari boots sebelahnya sebelum aku memproses ‘siapa’ yang kulihat. Ransola mundur ke bordess dan mundur lagi selangkah menaiki tangga. Si maling menikam udara kosong lalu menabrak dinding di sisi jendela. Cahaya biru pekat membuat mata hitam onyx-nya berkilat marah saat menghunus belatinya ke arah kami. Ke kepalaku!
Kudekap erat-erat bahu Ransola dan kubenamkan wajahku di tuniknya. Belati menghunus di atas kepalaku. Ransola mundur. Langkahnya seperti terseret dan terpleset di undakan tangga.
"Silas. Yang kau lakukan hanya akan membuatmu terluka."
"Oh? Terluka? Sejak kapan kau tahu separah apa luka yang kumiliki!? Heaah!!"
Belati menghunus lagi. Suaranya yang membelah angin membuat jantungku nyaris copot. Ransola merapat ke dinding. Ia tidak berbalik badan sama sekali seakan ia tidak ingin kepalaku tersabet belati. Tapi nanti punggungku kena!
"Silas. Aku tahu kau tidak akan mendengarku. Aku hanya ingin kau mendengar isi hatimu."
"Isi hatiku, Sola? Kau tidak pernah peduli! Kau tidak peduli dengan mereka yang mati di tangan Rhea!!"
Aku semakin takut membuka mata. Sabetan berikutnya datang bertubi-tubi disusul oleh umpatan penuh kebencian. Kami terus mundur. Ransola terus menghindar dari miring ke kiri, miring ke kanan, merapat ke dinding kiri, dan berputar ke kanan nyaris tersabet belati kristal yang menancap ke dinding. Aku membuka mata karena suaranya begitu dekat. Tepat di sebelah leher Ransola, belati yang bercahaya itu menancap di pertemuan antar bata yang berpendar biru di atas punggung Ransola. Kami terpojok. Belati itu tinggal bergeser ke samping dan Ransola…
"Kau… takkan mengerti…”
Aku tegang ketika nafas berat si maling berhembus di punggungku.
“Aku kehilangan Meerfahen… Semuanya… Southland! Rumahku! Temanku! Semuanya mati karena Rhea dan otaknya dibakar matahari!"
Jantungku berdebar. Tanganku yang melingkar di leher Ransola hampir bersentuhan dengan belati tajamnya. Perlahan, kuturunkan tanganku lalu aku menoleh ke belakang dengan kaku. Si maling menundukkan kepala. Suaranya bergetar saat menggenggam belatinya dengan kedua tangan yang gemetaran. “Kau… yang terkurung seumur hidup…,” ia terengah dan tercekat tangisnya, “...takkan mengerti rasanya kehilangan sampai kau mati!!”