Desember, 16 tahun lalu.
Aku terdiam, mendengarkan tiap kata dari paman melalui ponsel. Ada isak tangis di suara paman. Ayahku telah meninggal dunia. Selepas maghrib. Aku berusaha mencerna tiap kalimat paman. Hasilnya aku benar-benar hanya terdiam, menangispun tidak. Ella, sepupuku yang sejak tadi duduk di samping mulai memeluk. Berusaha menguatkan aku yang masih belum benar-benar sadar akan situasinya. Pelan-pelan Ella menuntunku untuk menemui keluarga besar yang telah menunggu di ruang tamu. Semua telah bersiap untuk menuju tempat tinggal Ayah, rumah pamanku. Beberapa orang dewasa masih berdiskusi untuk akomodasi kami ke sana. Aku menunggu beberapa saat sampai akhirnya kami berangkat.
Suasana jalan sepi dan lengang di tengah malam. Perjalanan Jakarta Tangerang benar-benar lancar bebas hambatan. Sepanjang jalan, tak ada yang bicara. Semua sibuk dengan pikiran dan perasaannya. Sesekali terdengar isak tangis dari salah satu kerabat, namun itu tak membuatku ikut menangis. Justru aku semakin diam dan sibuk mengingat beberapa kejadian beberapa hari sebelumnya. Lalu aku mulai larut dalam lamunan yang cukup panjang.
"Yah, Lia pamit ya. Ayah sehat-sehat di sini. Nurut sama si mbok ya. Latihan jalan tiap hari." Ucapku berpamitan di hari aku mengunjungi ayah.
"Iya. Insha Allah. Lia juga jangan nakal ya. Baik-baik di rumah uwa. Belajar yang bener." Susah payah ayah menyahut, terbata-bata karena stroke yang dideritanya. Penyakit yang telah lama diderita membuat ayah sulit bergerak dan bicara.
"Iya insha Allah. Ayah kaya Om ya. Di minum obatnya. Om juga ada stroke tapi tetep sehat tuh. Karna om minum obatnya rutin." Gayaku sudah seperti dokter yang menghadapi pasien.
"Iya, tapi Lia mau pulang sekarang?" Tanya ayah, raut wajahnya mulai sedih. Khasnya, sejak ayah terserang stroke, wajah sedih sering kali terpancar.
"Iya, kan Lia besok sekolah yah. Nanti kalo Lia libur pasti nginep lagi ya." Aku menjawab sambil mencium tangan ayah.
"Tapi, ayah mau ikut Lia pulang." Ayah makin terlihat sedih. Tangannya tak ingin melepaskan tanganku.
"Pulang kemana? Ayah kan disini tinggalnya, barengan sama Om. Di sini ada mbok yang bisa bantu-bantu ayah. Kalo di rumah Uwa ngga ada yang bisa bantu ayah selama Lia sekolah. Nanti malah ngerepotin Uwa kan?" Aku menggenggam erat tangan ayah, berusaha menguatkan diri sendiri juga ayah. "Lia beresin sekolah dulu. Kalo udah selesai, nanti Lia pindah ke sini. Lulus sekolah Lia cari kerja di sini terus tinggal sama ayah." Suaraku bergetar, mataku mulai panas. Pemandangan yang sangat tak ingin kulihat.
Ayah hanya mengangguk dan menangis. Aku terdiam menahan perih dari luka yang tidak tampak. Aku harus terlihat biasa saja agar tak menambah kesedihan ayah dan ini bukan hal yang mudah. Meski pemandangan seperti itu bukan yang pertama, tapi aku tetap tidak terbiasa.
Lima tahun ayah menderita penyakit ini. Keadaan ekonomi kami yang sulit membuatku dan ayah tak dapat berbuat banyak. Pernah suatu kali aku mengusahakan meminta bantuan pada pemerintah untuk perawatan ayah, berhasil. Ayah mendapatkan perawatan yang baik dari rumah sakit pemerintah. Namun, entah apa yang dipikirkan ayah, beliau memaksa untuk pulang sebelum benar-benar sembuh. Meski aku menolak permintaan ayah untuk pulang paksa, pada akhirnya aku tetap sepakat dengan ayah agar beliau keluar dari rumah sakit dan mulai rawat jalan saja. Tapi cerita menjadi tak sesuai rencana karena sifat ayah yang sungguh keras kepala. Selepas dari perawatan di rumah sakit, beliau memaksakan diri yang belum sehat betul untuk keliling berjualan buku.
"Ayah harus bayar sekolah Lia, cari uang buat makan kita juga. Ayah ngga bisa di rumah aja bergantung sama sodara-sodara," begitu katanya tiap kali aku marah pada ayah yang sulit menerima pendapatku. Sedetail apapun aku menjelaskan tentang beasiswa dan tabunganku yang mampu mengatasi keperluan pribadi kami, tetap saja ayah berkeras membiayai hidupnya sendiri. Pada akhirnya aku menyerah, tak lagi banyak bicara. Aku bukan tak peduli tapi aku berpikir tentang bakti. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk ayah saat itu. Sedikit berharap dengan mengikuti keinginan hatinya, mungkin bisa membuat ayah sedikit lebih sehat.