Satu bulan berlalu sejak meninggalnya ayah, aku masih sering kebingungan. Tak Jarang aku merasa jika ayah masih baik-baik saja di Tangerang. Terapi duduk, berdiri lalu belajar berjalan lagi. Namun, menunggu telepon dari ayah yang tak datang-datang membuatku tersadar jika ayah memang telah berpulang.
Sejujurnya, aku bukan termasuk anak yang dekat dengan ayah, meski ibuku telah lama tiada. Normalnya, ketika seorang anak hanya memiliki satu orangtua, kedekatan diantara mereka akan sangat erat. Tapi ini tidak berlaku pada ku dan ayah. Kami bahkan sebentar sekali tinggal dalam satu rumah. Selepas ibuku menghadap sang Ilahi, ayah sibuk mencari nafkah. Menetap di dekat tempat kerjanya, demi menghemat biaya. Mengunjungiku sesekali di akhir minggu. Saat itu memang ayah tidak bekerja di Jakarta dan memutuskan untuk menitipkan aku di rumah orangtua ibuku karena amanah yang diberikan oleh ibu sebelum beliau meninggal. Entah bagaimana jelasnya, yang pasti sampai aku besar aku menetap di rumah kakek dan nenekku. Namun, keadaan sedikit berubah ketika ayah diberhentikan dari pekerjaannya. Perlahan kesehatannya menurun, terlalu stress membuat ayah terserang stroke. Ayah memutuskan untuk kembali ke Jakarta, tinggal sementara bersamaku di rumah kakek dan nenek ku.
Kurang lebih setahun ayah sakit dan selalu ada di rumah. Tubuhnya mungkin istirahat tapi tidak dengan pikirannya. Stress berat karena merasa menjadi beban orang lain, membuat kesehatannya semakin menurun. Saat itulah pamanku memutuskan untuk membawa ayahku tinggal bersamanya di Tangerang. Melihat ayah yang sudah tak berdaya, aku mulai mencoba untuk terbiasa bicara santai dengan ayah. Tidak banyak orang yang memahami bahasa ayah saat itu, mungkin hanya aku dan pamanku, yang lain butuh penerjemah. Memang tidak banyak yang kami bicarakan, tapi semua ajarannya sangat melekat dan selalu kujadikan patokan dalam hidupku. Itulah sebabnya, meski kami bukan tipe ayah dan anak yang akrab, rasa kehilangan ayah tetap ada. Bagaimanapun keadaanya, ayah tetap saja ayah dan aku anaknya.
Status yatim piatu memang luar biasa. Mendadak orang-orang berdatangan untuk membantuku. Tak tanggung-tanggung, bahkan ada yang ingin menjadikan aku sebagai anak asuh. Melihat situasi yang akan kuhadapi, ujian nasional juga segala persiapan untuk menentukan kemana setelah lulus SMA, sumbangan datang tak henti-hentinya. Tawaran untuk pendaftaran ke lembaga bimbingan belajar ternama pun selalu ada. Semua dilakukan karena mereka berniat membantuku untuk fokus belajar tanpa perlu memikirkan masalah biaya. "Jadilah orang pintar dan sukses. Buat harum nama orangtuamu." Kira-kira begitulah kalimat yang paling sering kudengar.
Namun, bukannya senang aku malah merasa malu. Banyak hal yang mengganjal dalam pikiranku. Aku sudah 17 tahun, seharusnya aku sudah bisa mengurus diri menentukan jalan hidupku sendiri. Semua yang membantuku hanya fokus pada gelar sarjana. Dimana aku harus menuntut ilmu setelah SMA, bagaimana caranya aku lancar meraih gelar sarjana tanpa pusing memikirkan biaya, dan berakhir dengan menjadi lulusan terbaik lalu mendapatkan pekerjaan yang layak. Pemikiran yang sangat baik namun aku tahu betul prosesnya akan panjang dan tidak mudah. Terlebih aku sudah mempertimbangkan untuk tidak merepotkan siapapun juga tak ingin ada hutang jasa. Aku sudah memikirkan tentang hal ini ketika bantuan mulai berdatangan. Tidak ada hal yang benar-benar gratis. Maka beberapa tawaran bantuan kutolak secara halus, dengan alasan seadanya. Aku tidak ingin ada kejadian tak menyenangkan di tengah-tengan perjuanganku mengejar sarjana atau di saat aku telah lulus kuliah. Bersyukurnya, orang-orang yang kutolak bantuannya bisa memahami pemikiran gadis remaja ini.
Namun belakangan aku paham akan satu hal, bantuan-bantuan itu datang karena kebaikan Allah padaku si anak yatim piatu. Sesungguhnya janji Allah itu nyata. Tak akan Dia membiarkan hambaNya susah berlama-lama. Aku tak lagi malu jika mendapat tawaran bantuan ini itu, hanya saja aku tetap pilih-pilih, berusaha tak serakah atau silau akan tawaran harta benda dan jasa.
Sisa masa SMA kuhabiskan dengan fokus belajar. Menimbang-nimbang untuk melanjutkan sekolah atau bekerja. Sesekali aku main ke warung internet (warnet) untuk mencari info tentang jurusan yang diminati sekalian mencari lowongan pekerjaan yang membutuhkan pekerja paruh waktu. Berharap dapat memutuskan secepatnya, namun ternyata tak mudah membuat suatu keputusan apalagi kalau itu untuk masa depan.
Ujian Nasional semakin mendekat, hawa-hawa menegangkan sudah semakin terasa. Beberapa kawanku sudah mulai sibuk mengikuti tes perguruan tinggi di sana sini. Aku? Masih belum ada gambaran. Belum jelas apa yang ingin kulakukan.
"Jadi lo mau gimana setelah ini?" Tika membawakan minum yang aku pesan. Ketika aku baru duduk sambil meletakkan makanan pesanan kami di meja setelah berjalan dari ujung ke ujung mencari kursi kosong. Kantin sekolah memang tidak pernah sepi, sekalipun jam pelajaran sedang berlangsung.
"Belum tau," aku berhenti sebentar untuk menyedot lemon tea favorit kita semua, "tes PTN aja palingan yang gue ikutin mah. Ada yang lolos alhamdulillah, ngga yaudah emang bukan jalannya kali." Aku menjawab santai.
"Mau kemana emang lo?" Widi yang sejak tadi menata makanan di meja, ikut bertanya.
"Belum jelas sih. Maunya kan sekolah masak atau bahasa gitu, perhotelan, apa lah gitu deh. Yang nantinya gue mau jadi kang masak di hotel-hotel. Atau biar cas cis cus aja gue ngomong bahasa asing. Buat jadi translator." Aku menyendok siomay yang sudah dingin malas-malasan, mendadak hilang rasa laparku.
Widi dan Tika yang sudah lolos di sekolah kesehatan, berusaha menyemangati aku yang seolah tak ada harapan.
"Keluarga ibu gue kan, yang penting gue sarjana. Sarjana apa aja. Tapi kayanya kalo gue kuliah bukan dengan jurusan yang gue minati, bakalan berat deh kayanya. Ya ngga sih?" Aku menatap serius kedua sahabatku. Meminta dukungan.
"Iyalah pastinya. Semua juga baiknya dimulai dari apa yang kita suka." Tika menyahut di sambut anggukan sepakat dari Widi.
"Besok gue bawain contoh soal try out dari tempat les gue. Lo belajar aja yang bener. Kalo ngga ngerti bisa tanya gue atau Tika." Widi menatapku serius. "Atau Billy." Buru-buru widi menambahkan seakan baru diingatkan akan sesuatu.
Bel masuk kelas berbunyi, kami buru-buru menghabiskan sisa makanan dan minuman. Lalu bergegas menuju kelas untuk melanjutkan pelajaran.
Selain Widi dan Tika, Billy juga termasuk kawan dekat yang bisa kuajak bertukar pikiran. Satu sekolah menyangka kami berpacaran karena terlalu sering terlihat pulang sekolah bersama. Padahal tidak seperti itu
Aku dan Billy satu kelas selama tiga tahun dan seperti memang sudah takdirNya, rumah kami pun berdekatan. Hanya berbeda beberapa gang saja. Tapi awal mula kedekatan kami justru bukan karena rumah yang berdekatan. Kami termasuk anak rumahan, jarang keluar rumah jika tidak ada keperluan. Jadi kami benar-benar tidak saling kenal sampai akhirnya bertemu di sekolah dan kelas yang sama.
Kedekatan kami dimulai ketika wali kelas di kelas sepuluh meminta aku membantu Billy yang saat itu adalah ketua kelas untuk merapikan kertas ulangan dan tugas harian kawan-kawan sekelas. Entah bagaimana, yang jelas saat itu banyak sekali kertas-kertas bertumpuk bercampur jadi satu antara kertas ulangan dengan kertas tugas harian di meja wali kelas kami. Lumayan membuatku dan Billy agak pusing. Kami menyelesaikan itu hingga sore sekali dan sekolah sudah mulai sepi. Saat itu aku belum punya kawan yang cukup dekat dan tidak ada kawan untuk pulang sekolah bersama pula.
Selesai dengan tugas dari wali kelas aku bergegas pulang. Angkutan umum yang biasa ku naiki tidak lewat depan sekolah. Maka aku harus berjalan sedikit untuk sampai di jalan yang merupakan rute dari angkutan umum itu. Waktu maghrib semakin dekat, aku berjalan dengan panik tak karuan. Khawatir keburu malam. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman, seseorang seperti mengikuti di belakang. Aku tak berani menoleh, tapi mempercepat langkahku. Berharap bisa menghilang, namun sesuatu malah menepuk pundakku.