Susah payah kuturunkan barang bawaan dari bus. Ada satu ransel besar yang ku gendong dan dua buah tas jinjing yang juga besar di kiri kanan tanganku. Bus yang ku tumpangi baru saja melewatiku untuk kembali beroperasi menuju terminal akhir pemberhentian.
"Damkar, damkar, damkar." Begitu teriakan kernet bus tadi ketika akan tiba di tempat yang aku tuju. Aku yang setengah mengantuk kaget dan buru-buru berdiri memeriksa semua barang bawaan agar tak ada yang ketinggalan.
"Repot banget sih." Aku menggumam.
"Perlu bantuan?" Tiba-tiba seseorang menawarkan bantuan. Aku menoleh ke arah suara berasal, terpesona. "Ganteng amaat." Aku memuji dalam hati. Terdiam beberapa detik lalu tersadarkan.
"Ngga, makasi." Jawabanku singkat. Dia hanya mengangguk seolah bilang oke. Beberapa menit kemudian aku menyesal karena menolak bantuan orang tadi. Ternyata sulit sekali berjalan di bus lalu turun dengan menggembol barang yang besar-besar. Aku tak berhenti meminta maaf tiap kali menyenggol orang yang kulewati. Untungnya, supir dan kernet bus sangat sabar. Mereka mau menunggu sampai aku dan barang-barangku sudah benar-benar turun.
"Baru pindah ya neng? Kuliah?" Tanya bapak supir ketika aku sudah berdiri di dekat pintu depan, bersiap untuk turun.
"Iya pak." Singkat saja jawabanku.
"Semangat neng, semoga sukses ya. Lancar-lancar semuanya." Bapak supir menyemangatiku.
"Hati-hati neng." Teriak kernet ketika aku selesai menurukan semua barang bawaan. Aku tersenyum samar, entah terlihat atau tidak.
Aku menunggu lalu lalang kendaraan sampai sepi di pinggir jalan sambil kembali mengumpulkan tenaga. Setelah itu mulai menyebarang dan berjalan menuju indekos yang masih bisa terjangkau dengan jalan kaki meskipun sebenarnya akan lebih cepat jika naik angkot. Tapi aku memutuskan untuk berjalan saja. Aku ingin menikmati setiap pemandangan baru yang kulewati. Cilegon agak berbeda dengan Jakarta ternyata. Meski di kenal dengan kota baja karena ada PT krakatau steel disana atau terkenal juga dengan sebutan kota industri karena memang banyak pabrik juga, nyatanya Cilegon tidak sepadat Jakarta.
Daerah tempat tinggalku masih di sekitaran kampus tempat aku kuliah. Hari itu aku tiba mendekati ashar, sudah menjelang sore. Jadi keputusan berjalan kaki menuju indekos adalah keputusan yang sangat tepat. Kota yang selalu di sebut panas, sore itu terasa adem. Rezeki sekali buatku. Aku mulai memasuki perumahan, entah perumahan apa namanya. Yang pasti masih dekat-dekat dengan tempat pemberhentian bus yang di sebut damkar tadi dan bukan komplek perumahan krakatau steel yang dimaksud orang-orang lokal. Di perumahan ini memang sebagian besar rumahnya adalah tempat kos buat para pekerja atau mahasiswa dari luar kota. Letaknya cukup strategis, maka tak heran jika harga sewa perbulannya rata-rata lumayan juga.
Aku berjalan santai sekali. Melihat kiri kanan yang masih banyak tanah lapang di tumbuhi rumput-rumput liar. Untuk sekelas kota industri yang terkenal panas, penghijauannya tergolong cukup banyak menurutku. Apalagi jika dibandingkan dengan Jakarta. Aku sendiri merasa seperti di dunia yang berbeda. Terdengar berlebihan tapi begitulah yang aku rasa. Aku yang awalnya merasa berat dengan hasil masuk PTN, menjadi sangat bersemangat ketika melihat langsung lokasi kampus dan indekos. Sesuatu yang baru dan berbeda telah menungguku.
Aku menepi sebentar di pinggir jalan. Meletakan tas jinjing yang beratnya luar biasa di samping kaki-kakiku. Ku keluarkan ponsel sejuta umat yang sejak tadi anteng di saku celana. Dua puluh pesan masuk, sepuluh panggilan tak terjawab. Kebanyakan dari Billy, Tika dan Widi. Sisanya dari keluargaku. Aku cek satu persatu isi dari SMS yang kudapat. Semua menanyakan, apakah aku sudah sampai di Cilegon. Buru-buru kubalas pesan keluargaku, agar mereka tak khawatir. Lanjut kubalas pesan Tika dan Widi. Terakhir barulah pesan dari Billy. Semua langsung membalas pesanku secepat kilat kecuali Billy. Aku menunggu beberapa menit sebelum berjalan lagi. Khawatir Billy membalas pesanku. Sambil menunggu, kulihat ada beberapa papan nama jalan yang dapat terlihat oleh mataku. Aku tersenyum karena baru menyadari sesuatu. Nama-nama jalan di perumahan ini memakai nama beberapa gunung rupanya. Ada Gunung Ciremei, Gunung kupak, Gunung Pulosari dan kuketahui belakangan, masih banyak nama-nama gunung lainnya, termasuk nama jalan tempat aku tinggal. Sudah hampir sepuluh menit aku duduk, Billy masih belum juga membalas. Akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa meter lagi.
Tak lama aku berjalan, ponselku tiba-tiba bergetar terus menerus. Kulepaskan tas jinjing dari tangan kananku, lalu kuambil ponsel dari saku dan menyambungkan headset. Telepon dari Billy.
"Yaaa." Suaraku sangat ceria.
"Cieee, udah sampe nih? Aman?" Billy langsung bertanya.
"Belum, masih jalan ini. Bentar lagi sampe. Tapi gue lupa jalan apa ya. Tunggu ya." Tiba-tiba aku lupa harus lewat mana. Bingung sendiri harus belok ke jalan yang mana. Aku menepi lagi, mengambil buku kecil dari ransel. Kulihat alamatnya. "Oh, jalan gunung kencana ni. Nomor 5. Ingetin Bil. Gue mau masukin bukunya, tangan gue penuh sama tas jinjing." Aku minta tolong pada Billy.
"Siap." Billy sigap menjawab. "Jadi gimana? Suka ya? Roman-romannya bakal betah ni di sana? Bakalan jarang balik ke Jakarta juga kayanya."
"Alhamdulillah, sejauh ini suka. Beda Bill suasananya sama di Jakarta. Gatau kalo betah mah. Dicoba dulu aja." Aku menjawab sambil tengok kanan kiri mencari rumah yang dimaksud.
"Oke deh. Yang terbaik aja buat lo." Billy terdiam sejenak, "gimana? Udah ketemu rumahnya?" Billy bertanya lagi.
"Belum, bingung gue. Bentar Bill. Nanti gue telpon balik ya." Aku memutus sambungan telepon setelah Billy menjawab oke. Ku simpan lagi ponsel di saku dan mulai fokus mencari alamat.
Tiba-tiba seseorang bertanya dari belakang, "Cari alamat? Jalan apa?"
Aku menoleh kaget, "eh, iya."
"Mahasiswa baru?" Tanyanya lagi. Aku terdiam beberapa detik tapi dalam hati membatin, "dia lagi."
"Hai, ko bengong? Cari alamat kan? Jalan apa? Mahasiswa baru?" Tanya lelaki yang menawarkan bantuan padaku ketika di bus tadi.
"Eh iya, saya mahasiswa baru dan iya lagi cari alamat kosan. Kayanya sekitar sini deh. Tapi lupa. Alamatnya jalan gunung kencana nomor 5. Maaf, mas nya tahu ngga ya?" Aku bicara gugup.
"Tahu donk, Mau diantar skalian?" Ia menawarkan sambil tersenyum lebar. Manis sekali.
Meski ragu akhirnya aku mengangguk, "boleh kalo ngga ngerepotin." Suaraku pelan sekali tapi ia bisa mendengarnya. Lalu dengan sigap Ia membawa kedua tas jinjingku.
"Yuk, lewat sini. Jalan gunung kencana di sebelah jalan ini." Katanya.
"Eh, ngga usah. Saya aja yang bawa. Ini berat-berat banget." Aku panik melihatnya membawakan tas-tasku.
"Justru karena berat, kamu perlu di bantu. Simpan aja tenagamu buat nanti." Ia tersenyum lagi.
Kami berjalan tanpa banyak bicara. Benar katanya, jalan gunung Kencana ada di sebelah jalan yang salah ku lewati dan tak begitu jauh dari tempat tadi aku berhenti. Aku mulai melihat-lihat papan nomor tiap rumah. Meski rumah-rumah di komplek ini bentuknya berbeda, aku tetap saja lupa. Mungkin karena memang baru yang kedua kalinya. Sebelumnya aku hanya membayar uang muka lalu kembali ke Jakarta.
"Nah, ini dia kosannya. Semoga betah ya." Ia meletakan tas-tas ku didepan pagar indekos lalu berbalik pergi meninggalkan aku yang masih sibuk mencari-cari nomor rumahnya. Aku membatin, "maen pergi aja sih, belum juga bilang makasi. Ngga tau juga siapa namanya."