CKITT!!!
Terdengar suara rem motor yang berhenti mendadak. Raut wajah lelaki yang saat itu sedang mengendarai motor langsung panik. Begitu pula yang duduk di belakang.
“Kenapa?” tanya Wendy, yang masih duduk di kelas tiga SMA. Ia melihat ke depan dan menemukan pemandangan yang mengenaskan.
“Astaga!” pekik Wendy, ketika melihat ayam jago yang berbulu merah terkapar tidak berdaya di depan motor Peter.
Saat itu mereka berdua habis pulang sekolah, dan berencana ingin makan bakso seperti yang sesuai Peter janjikan pada Wendy sebelumnya.
“Gimana dong Wen?” tanya Peter pada Wendy, ia turun kemudian melihat ayam yang sudah tewas di tempat akibat ulah Peter yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.
“Gue kan udah bilang, kalau naik motor itu pelan-pelan aja, eh lo malah ngeyel.” Wendy menggerutu kepada Peter, mereka berdua adalah sepasang kekasih atau lebih tepatnya sepasang kekasih yang terpaksa menjalani hubungan karena suatu tujuan.
Karena suara pertengakaran mereka, tak lama kemudian muncul bapak-bapak dengan jenggot lebat di dagunya. Ia mengenakan sarung sampai di atas lutut dan memakai peci yang dimiringkan sebelah, ala-ala bapak juragan jengkol.
“Kayaknya dia pemilik itu jago,” bisik Wendy pada Peter, nyali lelaki itu pun menciut ketika mendapati pemiliknya yang tak kalah sangar dengan wajah guru BP di sekolahnya.
“Astaga! Jajang!” teriak bapak-bapak tersebut kemudian menghampiri ayam jago yang sudah kehilangan nyawanya beberapa waktu yang lalu. Bapak itu memeluknya layaknya memeluk anaknya sendiri.
Adegan dramatis sempat terjadi beberapa menit, dan membuat Peter merasa bersalah padanya.
“Jang! Kenapa ninggalin gue secepat ini! Kemarin si Entin udah mati diopor sama bini gue, dan sekarang lo mati di tengah jalan begini! Ah tidaaak!”
Wendy tidak tahu harus mengatakan apa pada bapak itu, namun ketika ia menoleh ke arah sampingnya dia tidak menemukan Peter di sana. Ia bersembunyi di belakang punggung Wendy dan menyuruh gadis itu untuk menyelesaikan masalahnya.
“Wen, gue takut, lo deh yang ngadepin bapak itu,” bisik Peter, dia mendorong tubuh Wendy hingga maju ke depan.
“Kan lo yang nabrak, kenapa harus gue yang nyelesaiin masalah lo” protes Wendy, namun belum sempat ia menyelesaikan protesnya bapak yang bernama Dadang itu melirik tajam ke arah Wendy dan juga Peter.
“Oh, jadi kalian yang nabrak Jajang gue?” Dadang mendekati Wendy, ia juga takut karena melihat jenggot Dadang yang berkibar-kibar mirip bendera festival.
“Bukan saya Pak,” elak Wendy, karena memang bukan dia yang menabrak ayam jago tersebut hingga tewas.
“Terus siapa?”
“Ini, teman saya yang menabraknya.” Saat Wendy menoleh ke belakang, dia sudah tidak menemukan Peter di tempatnya. Padahal baru semenit yang lalu dia ada di balik punggungnya untuk bersembunyi.