Jakarta, Mei 2015
Kantin belakang sekolah adalah salah satu tempat yang hampir tidak pernah sepi di SMA Garuda. Selalu ada murid yang memelipir ke sana, menghindari waktu upacara bendera sambil sarapan pempek dan nasi uduk atau mabal pada jeda sebelum istirahat—minta izin buang air kecil ke guru, tetapi tidak kembali hingga bel istirahat berbunyi. Hari ini, kantin belakang sekolah lebih penuh daripada biasanya. Pagi tadi guru mengumumkan bahwa sekolah akan mengadakan rapat membahas UAS. Semua murid dipulangkan lebih awal. Sebagian lari ke kantin karena malas pulang.
Ada tiga kantin di SMA Garuda. Kantin pertama adalah koperasi, biasanya yang jajan di sana adalah guru-guru serta murid yang ingin membeli peralatan sekolah. Kantin kedua terletak di dalam—ini kantin untuk anak-anak normal, yang memang pergi ke sana karena ingin menghilangkan dahaga dan lapar. Kantin ketiga, ada di belakang sekolah; tempat berkumpulnya mereka yang sering menongkrong, beli gorengan cuma tiga biji tetapi duduknya bisa dua jam.
Karena letaknya di belakang, jauh dari ruang guru, tempatnya sedikit lebih bebas. Murid bisa merokok di sana tanpa takut ketahuan. Bisa main gitar tanpa harus ditimpuki karena bernyanyi keras-keras. Hampir tidak ada anak perempuan datang ke sana kalau tidak mau mendapat risiko digodai gerombolan tukang rusuh.
Saat ini, gerombolan tukang rusuh dari kelas 12 sudah tidak ada lagi karena mereka tidak memiliki kewajiban untuk hadir ke sekolah setelah Ujian Nasional. Namun, tetap saja kantin belakang sekolah masih menjadi momok bagi anak perempuan karena masih ada Nathan dan teman-temannya. Para siswi tidak masalah kalau hanya harus bertemu Nathan karena tertolong wajah tampannya. Masalahnya adalah di teman-teman Nathan, Kalau nekat mendatangi kantin belakang, siap-siap saja merelakan uang lima ribu untuk disedekahkan ke mereka.
“Biasanya tak pakai minyaaak wangi, oh.
Biasanya tak suka begitu.
Saya cemburuuuu... saya curiga.
Takutnya ada main di sana.”
“Solali laliii, ola ola lasolali lali, ola la la! Mwah!” Arif menyahuti kalimat Robi yang bernyanyi sembari mengecupkan bibirnya ke udara.
“Belakangan ini sering keluar malam.
Tak betah di rumah.
Minggu-minggu ini saya jarang disentuh.
Tak diperhatikan.”
“Habis si Eneng bau, Abang jadi males nyentuh!” celetuk Arif lagi.
Nathan tertawa terpingkal-pingkal. “Lagi dong, sawer nih,” dia mengeluarkan uang lima ribu dari dompet dan dikibaskan di depan Robi supaya bersemangat.
Suasana kantin yang semula riuh, mendadak berubah hening. Suara-suara yang tadi terdengar nyaring, tenggelam dalam waktu beberapa detik begitu melihat kemunculan tiga orang ke dalam kantin. Dimas, anak kelas 11, bersama dua temannya.
Dimas duduk tanpa permisi di depan Nathan. “Kok berhenti? Lanjut dong,” tukasnya—dengan suara seperti memerintah alih-alih bersahabat justru menunjukkan sikap senioritas. Dimas mengeluarkan sekotak rokok yang dia sembunyikan dalam bajunya, dia sodorkan sebatang ke Nathan. “Rokok, Nath?” tawarnya.
Nathan mengangkat alis kanan, dia menggeleng. “Sori, n g g a k .”
“Kenapa? Disuruh Salma berhenti ngerokok, ya?” Dimas bertanya lagi, tetapi dengan nada sedikit mengejek.
Nathan masih diam, bersikap seolah tidak mendengarkan.
“Cowok kok nggak punya prinsip, mau aja dipaksa cewek. Lagian Salma itu baru jadi pacar udah ngatur-ngatur, gimana kalau jadi istri?” Dimas memasukkan lagi sebatang rokok ke dalam kotaknya.
Tangan kanan Nathan sudah mengepal. Menahan letupan emosinya agar tidak lepas kendali.
“Hm, Nath, mau ke kelas?” Arif bangkit, paham bahwa situasi menjadi kian tegang dan barangkali apabila tidak cepat ditangani maka akan terjadi perang dunia ketiga. “Yok.”
“Mau aja lo diperbudak sama kemauan cewek lo. Cewek kayak gitu doang, banyak kali yang jauh lebih bagus dibanding Salma, yang bisa menerima lo tanpa harus mengubah kepribadian lo.”
Nathan sudah tidak bisa menoleransi lagi ucapan Dimas yang baginya sudah di ambang batas, dia spontan berdiri dan menarik kerah seragam Dimas. “Jaga ucapan lo,” tegasnya marah. “Kalau lo ngejelekin gue, gue masih terima, tapi nggak usah bawa-bawa Salma. Ngerti lo?”
“Kenapa marah? Mau pukul gue? Nggak apa-apa. Pukul aja.” Dimas terkekeh. “Gue kan cuma ngasih tahu sebagai teman yang baik. Kalau mau, nanti gue cariin deh cewek buat lo. Banyak yang mau kok, sama lo—”
Nathan langsung kalap. Tanpa repot-repot menunggu Dimas menyelesaikan perkataannya, dia memukul rahang cowok itu sampai terjerembap ke lantai. Teman-teman Nathan dan teman-teman Dimas berusaha melerai, tetapi tidak berhasil. Nathan menduduki pinggang Dimas hingga lawannya itu terkunci.
Awalnya, Dimas sempat memberi perlawanan dengan meninju ujung bibir Nathan, tetapi Nathan segera menghantam tulang pipi dan tulang hidung Dimas hingga terdengar suara berkeretak. Aliran darah mengalir keluar dari kedua lubang hidung Dimas.
Melihat situasi yang kian membahayakan, Arif berlari ke dalam. Mengadu ke guru, ke teman, ke satpam, pada siapa pun yang masih di sekolah dan mampu membantu mereka semua.
Dimas terkapar berlumuran darah. Robi mengumpulkan tenaga untuk mencengkeram lengan Nathan, bahkan sampai menggigit lengan Nathan kuat-kuat sampai temannya itu berteriak kesakitan dan akhirnya berhasil ditarik menjauh dari Dimas. “Udah! Mati nanti anak orang!” teriak Robi, menyadarkan Nathan yang seperti orang kesurupan.
Dada Nathan naik-turun, napasnya tersenggal seperti seseorang yang habis berolahraga mengelilingi lapangan sepuluh putaran. Bu Rena datang, terkejut melihat kondisi Dimas yang terkapar di lantai dengan wajah berdarah-darah.
“Ya Allah, ini kenapa lagiiii?” Suara Bu Rena terdengar putus asa, “cepat bawa Dimas ke dalam! Kalian kenapa diam saja? Angkat teman kalian, panggil Pak Rudi untuk bawa Dimas ke UKS!” Bu Rena histeris, takut sesuatu terjadi pada salah satu muridnya.
Teman-teman Dimas yang semula membeku, mau tak mau akhirnya bergerak mengangkat Dimas masuk ke dalam gedung sekolah.
“Kamu! Lagi-lagi kamu!” Bola mata Bu Rena terarah pada Nathan. “Kamu ikut ke Ruang Kepala Sekolah.”
Nathan terduduk di kursi kantin dengan lunglai. Dia memejamkan mata, seperti baru tersadar atas tindakannya. “Boleh gue minta minum?” pintanya lirih pada Robi yang masih berada di sebelahnya.