Suasana SMA Garuda pagi hari itu tidak seperti hari Senin biasanya. Tidak ada murid-murid berlarian menuju gerbang karena takut terlambat mengikuti upacara. Tidak ada pemandangan murid sibuk memakai dasi, topi, atau tali pinggang supaya tidak dihukum. Tidak ada juga pemandangan murid dijemur di depan pagar, harus menunggu hingga upacara selesai agar gerbang bisa dibuka oleh Pak Satpam. Murid kelas 10 dan 11 memang datang dengan mengenakan seragam putih-putih seperti biasanya, tetapi murid kelas 12 mengenakan pakaian bertema retro. Alhasil, warna-warni bertebaran di lapangan. Biasanya, perpisahan SMA identik dengan jas dan kebaya. Namun, untuk angkatan tahun ini mereka membuat sebuah perubahan. Keluar dari zona nyaman. Mengambil tema pakaian yang terkesan antik.
Awalnya, sempat terjadi pro-kontra. Ada murid yang ingin perpisahan diadakan di hotel mewah—tapi akhirnya yang disetujui oleh Kepala Sekolah adalah merayakan di sekolah, supaya suasana perpisahan lebih terasa. Berada di sekolah, di tempat yang selama tiga tahun menjadi rumah kedua, dengan guru sebagai orang tua, dan teman-teman menjadi sanak saudara.
“Wohooo, siapa di sini!” seru Budi—yang mengenakan kemeja kebesaran bermotif burung dengan lengan digulung, rambut dimodif ala Elvis Presley, celana model cutbray dan sepatu bot. “Ada Rhoma Irama, begadang jangan begadaaang.” Dia menunjuk Aditya yang tampil seperti idolanya sejak SD. Alasan terbesar mengapa dia suka menyanyi dangdut sambil membawa gitar di kelas.
Jika anak seumurnya mengidolakan Justin Bieber, Taylor Swift, One Direction, atau Super Junior, Aditya lebih memilih mencintai musisi dalam negeri. Katanya, kita harus mencintai kearifan lokal sebelum diklaim bangsa lain. Aditya betul-betul mengadopsi gaya berpakaian Rhoma Irama, mengenakan kemeja putih, dan selendang merah yang dililit ke belakang.
“Ini selendang apa kain sari?” Geri muncul, menunjuk kain di leher Adit.
“Kutang emak gue!” teriak Aditya jengkel dibalas tawa cekikikan dari teman-temannya, “lagian lo nanya yang serius dulu, gesrek-nya tolong dikurangin ya kawan-kawan, bentar lagi kuliah, nih. Jangan malu-maluin sebagai alumni Garuda.” Jawaban Aditya mendapat cemoohan dari teman-temannya karena tak sesuai dengan fakta.
“Woi Nath, sini!” Geri melambaikan tangan pada Nathan yang baru terlihat di gerbang. Begitu Nathan sudah di dekatnya, cowok itu menepuk pundaknya. “Mana tuh Dimas nggak keliatan? Nggak ada gue kurang ajar itu anak,” sergahnya terdengar jengkel.
Nathan tertawa. “Nggak bakal berani, lagi di kamar, disuapin mamanya.” Kebetulan, Nathan sudah bercerita dengan Geri dan teman-teman kelas 12-nya yang lain. Dan respons mereka sama seperti Nathan, daripada dipaksa meminta maaf atas kejadian yang bukan kesalahannya, lebih baik memilih pindah sekolah. Karena bagi mereka, harga diri tentu saja ada di atas segalanya.
Bukan hanya siswa yang berdandan heboh, para siswinya tak kalah totalitas tanpa batas. Mereka memakai dress retro warna-warni, ada yang bermotif polkadot, sampai polos. Salah satu dari mereka ada yang mengadopsi gaya Audrey Hepburn di film Roman Holiday. Dinda baru saja datang dan menjadi pusat perhatian dalam balutan dress berwarna hijau tosca, stoking tangan berwarna kuning hingga ke lengan, dan sebuah topi bulat di kepala.
“Hai,” Dinda menyapa teman-temannya. “Cantik nggak gue?”
“Cantik, tapi coba sini gue hapus alisnya, masih cantik nggak.” Budi menjulurkan tangan, berniat menghapus alis Dinda dan langsung ditepis gadis itu supaya tidak menyentuh riasan wajahnya.
Walaupun mereka suka berbuat onar dan bertingkah gila, setidaknya mereka selalu berhasil membuat Nathan tertawa. Melepaskan penat dari sejuta masalah yang hinggap dalam kepala. Menjadi obat terbaik untuk menutup luka. Bahkan hanya dengan membicarakan alis Bu Rena sudah bisa jadi candaan yang mengisi hari-hari mereka. Tanpa anak nakal, di sekolah tidak mungkin ada drama. Tentang mereka yang selalu buat kerusuhan di kantin belakang, dikejar guru karena lupa cukur rambut atau lupa pakai dasi dan tali pinggang, jadi incaran Pak Rudi karena ketahuan berdiam diri di kelas, tidak mengikuti upacara. Tanpa anak nakal, reuni tidak akan punya cerita yang mengundang tawa dan tanpa anak nakal, sekolah hanya akan dipenuhi dengan teori, rumus, serta segala retorika.
Pembukaan acara diawali dengan penampilan marching band SMA Garuda. Beberapa anak berpakaian merah-putih mulai berbaris rapi, seorang gitapati—yang terlihat paling mencolok karena pakaiannya sedikit berbeda di antara yang lain—tampak mengatur barisan. Dua orang paramanandi membantu gitapati merapatkan barisan lebih rapi menggunakan tongkat di tangan. Lalu colour guard—yang membawa bendera bertiang masuk lebih dulu, menampilkan atraksi. Diikuti bunyi terompet, tuba, trombon, bass drum, mellophon, dan snare drum.
Nathan bertepuk tangan, mengabadikan Salma menggunakan kamera digitalnya sewaktu gadis itu lewat memainkan snare drum. “Cewek gue tuh, jangan digodain,” tegasnya pada Budi yang bersiul-siul genit. Beberapa kali dia mengambil foto Salma, dalam angle yang berbeda-beda lantas tersenyum puas begitu mendapatkan foto yang sempurna.
Marching band untuk pagi hari ini menampilkan sebuah lagu dari Chrisye, Selamat Jalan Kekasih.
“Selamat jalan kekasih.
Kejarlah cita-cita.
Jangan kau ragu tuk melangkah.
Demi masa depan dan segala kemungkinan….”
***
Penampilan marching band baru saja usai, acara dilanjutkan dengan pembacaan sambutan dari Kepala Sekolah, lalu berlanjut ke sambutan dari mantan Ketua OSIS tahun lalu yang juga menjadi perwakilan dari kelas 12 untuk mengucapkan salam perpisahan. Murid-murid sudah duduk manis di kursi yang disediakan di lapangan—kursi yang dinaungi tarup besar nan mewah agar terhindar dari cahaya matahari.
Sunyi senyap membungkus ruangan sewaktu Aldo berdiri di atas podium, menatap teman-temannya satu per satu.
“Hai,” dia mendekatkan bibirnya ke mik. Kontan ucapan ‘hai’ singkatnya mendapat balasan riuh dari teman-teman. Aldo menghela napas, biasanya dia ahli dalam menyampaikan pidato. Namun, ada yang berbeda hari ini. Seolah perpisahan begitu berat untuk disampaikan.
“Kemarin pagi, saya menonton berita di televisi, ada berita tentang seorang orang tua murid yang menuntut guru karena anaknya dicubit. Ternyata, penyebabnya sepele. Muridnya itu main hape di kelas dan akhirnya mendapat peringatan dengan dicubit. Pagi ini saya berpikir lagi, entah berapa banyak teriakan yang pernah teman-teman dapatkan dari wali kelas, pukulan penggaris dari Pak Rudi karena lupa cukur rambut, jeweran telinga dari Bu Rena karena terlambat datang ke sekolah, selama tiga tahun terakhir ini. Apakah ada dari teman-teman yang mengadu ke orang tua? Setahu saya, belum pernah ada kasusnya. Karena kita sadar, kesalnya guru bukan karena mereka tidak sayang, marahnya guru bukan karena mereka benci, tapi itu adalah cara agar kita, teman-teman semuanya memiliki bekal ilmu di masa depan.
Aldo terdiam sejenak, memandangi guru-gurunya. “Hidup di luar sana jauh lebih keras dan penuh tekanan dibandingkan hukuman di sekolah. Jadi, saya berdiri di sini mewakili teman-teman untuk mengucapkan terima kasih kepada guru yang telah mendidik, membina, mengayomi kami hingga saat ini. Seperti yang pernah Pak Rudi bilang di kelas, guru itu seperti lilin, dia membakar dirinya sendiri untuk menerangi jalan orang lain.
“Ingat sekali, tiga tahun lalu saya masuk ke sekolah, mungkin banyak dari teman-teman berpikir kapan masa SMA selesai. Bebas dari jeratan tugas dan PR yang menumpuk, tapi hari ini belum genap seminggu saya libur dari sekolah. Sampai akhirnya perlahan kita berusaha menerima dan menikmati prosesnya, di sana… di kantin Pak Min, kita lomba lari untuk mendapat kursi. Di lapangan ini, kita pernah dihukum sama-sama, dari berlari dua putaran sampai push-up. Buah kita belajar di sekolah ini mungkin tidak terlihat hasilnya dalam sehari, tapi kita bisa melihatnya sepuluh atau dua puluh tahun nanti. Jadi, sampai ketemu lagi. Beberapa tahun ke depan, di lapangan ini… dengan teman-teman yang sudah bekerja dengan beraneka ragam profesi. Bukan lagi anak SMA berpakaian putih abu-abu, tapi orang berpakaian jas dokter, bos perusahaan, insinyur, guru, sampai teknisi. Terima kasih.” Aldo menyelesaikan sambutannya diiringi tepuk tangan riuh, siul-siulan sampai tangis haru dari beberapa teman dan para guru.
Acara dilanjutkan dengan menyanyikan himne guru dan penampilan pensi. Mereka benar-benar berusaha menciptakan momen untuk dapat dikenang selamanya. Karena masa muda hanya berlangsung satu kali, mereka tidak akan merasa lebih muda selain hari ini. Menciptakan kenangan sebanyak-banyaknya. Bukan hanya cerita tentang bangun pagi dan terburu-buru datang ke sekolah agar tidak terlambat, ketakutan karena tidak mengerjakan tugas, memiliki kehidupan seperti sebuah mesin hingga beberapa tahun lagi tidak memiliki cerita yang dapat dibagikan ke semua orang.
***