Ada yang berbeda dari suasana taman belakang rumah Geri malam itu. Aroma daging panggang menguar ke udara, alunan musik terdengar menyatu dengan dengung obrolan orang-orang yang datang. Hari ini, Geri mengadakan pesta untuk merayakan kelulusan. Hasil ujian telah diumumkan beberapa hari lalu dan seluruh murid Garuda dinyatakan lulus seratus persen.
Di antara ramainya murid kelas 12, hanya ada dua orang dari kelas 10 yang datang. Nathan dan Rahma. Nathan baru muncul dengan mengenakan kaus Polo berwarna abu-abu, celana jins hitam, dan sepatu kets. Dia disambut oleh kakak kelasnya: Geri, Adit, Budi, dan Kevin. Mereka sudah tahu berita seputar Nathan yang putus dengan Salma dan memilih untuk tidak membahasnya malam ini. Intinya, hari itu Nathan harus bersenang-senang.
“Gila, ganteng bangeeet,” Budi menyentuh dagu Nathan dengan jarinya, bertingkah menggoda. “Kangen deh gue sama adek gue satu ini,” cetusnya merajuk.
Nathan geleng-geleng kepala. “Gue ke sana dulu, ya.” Dia menunjuk Rahma yang sedang duduk di sofa, sibuk dengan ponselnya.
“Mau nanyain kabar Salma, ya? Cielah, udah mantan juga masih kepo,” celetuk Aditya. “Bosen, kalian tuh putus-nyambung melulu, itu hati apa puzzle?”
Nathan tidak mau menanggapi. Dia berjalan mendekati Rahma, lalu duduk di sebelahnya.
“Lagi ngapain? Kok diem di sini? Nggak sama Bang Kevin?”
“Males ah, banyak asap. Nanti aja kalau udah jadi.
Nanti rambut sama wajah gue bau,” katanya sambil menunjuk wajah.
“Lagi chat sama Salma?”
“Hm, iya.” Rahma mengangguk dan memasukkan ponselnya di dalam tas.
“Gue minta maaf.”
“Ha?” Rahma heran, “minta maaf buat apaan nih?” Nathan nyaris tidak pernah meminta maaf pada orang— walaupun dia yang bersalah, jadi Rahma terkejut mendengar kata maaf begitu enteng terdengar dari bibir Nathan.
“Salma pasti udah cerita ke lo. Sori kalau udah buat sahabat lo nangis. Entah udah berapa kali gue buat dia nangis.” Raut wajah Nathan berubah. Ada ekspresi bersalah yang tergambar jelas dari sorot mata, suara, dan ekspresinya. “Sampein maaf juga buat Salma.”
“Kenapa nggak ngomong langsung aja?”
“Nggak berani,” jawabnya sambil menggedikkan bahu.
“Lo itu preman sekolah, masa nggak berani?” sindir Rahma. “Jadi, kalian betulan putus?”
Nathan mengangguk. “Keputusan paling baik ya gitu.”
“Terus, lo nggak berusaha balikan?”
Bibir Nathan tertarik, membentuk senyum getir. “Emangnya Salma masih mau sama cowok berengsek ini?” Dia menertawakan diri sendiri. “Makasih buat lo karena udah ngeluangin waktu lo buat ngedeketin gue sama Salma. Titip salam ya buat dia, bilang makasih karena dia udah ngeluangin sedikit waktu mudanya untuk ngisi hidup gue. Walaupun nggak lama, tetap aja bermakna. Gimana rasanya berusaha narik hati si gadis kaku, perjuangin dia supaya mau, sampai akhirnya pacaran.”
“Salma nggak mau lo pindah.”
“Iya.”
“Terus, kenapa lo jadi pindah?”
“Kan udah putus,” jawabnya singkat.
“Dia lagi emosi aja kemarin, itu cuma gertakan. Namanya juga cewek, senjata lain selain marah dan diem, ya ngancem. Gue juga sering gitu sama Kevin.”
“Tapi, lo juga nggak semudah itu kan ngomong putus ke Kevin? Salma udah minta putus. Dia kecewa sama gue, Rah.”
Rahma terdiam, bingung untuk menjelaskan. Kalau sudah menyangkut urusan hati dan cinta, setiap manusia memiliki perspektif dan pemikiran berbeda-beda. Ada pembatas transparan yang sulit untuk ditembus, digapai, atau dihancurkan.
“Dia itu sayang sama lo, Nath—”
“Gue juga, Rah, tapi Salma juga harusnya ngerti.” Nathan menggedikkan bahunya. “Lagian, walaupun nggak di sekolah yang sama, bukan berarti gue sama dia harus putus, kan? Walaupun nggak satu sekolah, gue masih bisa antar-jemput dia. Kami masih bisa ketemuan. Gue ke rumah dia, gue ajak dia jalan biar hidupnya nggak monoton belajar melulu. Salma kan pinter, masa dia nggak bisa ngertiin gue sedikit aja. Jangan selalu gue yang ngertiin.”