Hello, Spring

Tearose
Chapter #5

4. Kehidupan Baru

“Apa bos kita benar-benar mengenal gadis itu?”

Suara Tiya menghentikan Edgar yang sedang mengangkat sebuah kursi untuk diletakkan di luar restauran. Sudah hampir seratus kali Tiya mempertanyakan hal itu pada Edgar maupun Marco.

“Itu benar-benar bukan urusan kita, Tiya.” Edgar cukup lelah untuk menjawab, dia sendiri pun tak mengetahui mengapa Abraham tampaknya mengenal gadis bernama Bella itu. Sementara gadis itu baru berada di kota ini selama beberapa hari saja.

“Memang aneh, ini pertama kalinya aku melihat bos begitu perhatian pada seseorang. Apalagi seorang gadis.” Sahut Marco sambil keluar restauran dengan meja di tangannya. Di sisi lain, Edgar menatap Tiya dengan seksama. Gadis itu terlihat berbeda sejak Abraham datang membawa Bella, hingga bahkan mengajak Bella ke rumahnya.

“Itu karena Bos adalah orang yang baik dia akan menolong siapapun, gadis itu dia tidak bisa kembali ke rumahnya. Jadi wajar saja jika bos menolongnya, kan?” Edgar berusaha untuk memberikan alasan yang serasional mungkin. Dia pun tak mengada-ada, Abraham memang terkenal sangat baik. Semua orang di kota yang kecil ini mengenalnya seperti itu. Abraham sering mendapatkan permintaan untuk menolong penduduk kota.

“Tidak ada yang memanggilnya dengan Abram.” Tiya masih tidak bisa melepaskan rasa penasarannya. Selama mengenal Abraham, semua orang memanggilnya sebagai Tuan Wilson, atau Abraham. Tak seorang pun di kota ini memanggilnya sembarangan bahkan hanya Abram.

“Gadis itu tak memanggilnya begitu, hanya bos yang memperkenalkan dirinya seperti itu.” Marco menimpali sembari berjalan di depan Tiya dan masuk kembali ke dalam kedai. Tiya mengulang kembali kejadian semalam, dia memang tidak mendengar Bella menyebutkan nama Abraham dengan sebutan Abram.

Semakin dia memikirkannya dan tidak menemukan jawaban yang mampu memuaskan hatinya, Tiya pun membiarkannya berlalu. Dia kembali masuk ke dalam restauran dan membersihkan jendela dan lantai.

Tak berselang lama, sosok Abraham terlihat berjalan melewati jalan di depan Restauran kemudian membantu Edgar menata kursi-kursi untuk pelanggan di luar ruangan, “Hari ini tidak akan turun hujan, kan?” tanya Abraham pada Edgar. Satu pegawainya itu selalu rutin melihat ramalan cuaca yang cukup akurat.

“Cerah berawan, sangat cocok untuk berpiknik.” kata Edgar.

Abraham terkekeh mendengar perkataan Edgar, musim dingin saja belum berlalu mana mungkin ada keluarga yang melakukan piknik di musim dingin.

“Maksudku berpiknik di restauran kita,” Edgar meralat ucapannya setelah ditertawakan oleh Abraham. “Ini adalah hari keluarga Gerands memesan restauran kita untuk acara keluarga mereka.”

“Astaga!” Abraham menepuk keningnya. Dia melupakan hari pentingnya.

Sudah seperti kebiasaan baginya, Abraham akan meluangkan seluruh waktunya untuk melayani semua pelanggan terlebih lagi bagi mereka yang memiliki acara dan memesan tempatnya. Seandainya Edgar tidak memberitahunya mungkin dia akan benar-benar melupakannya.

“Mereka akan datang sekitar jam lima sore hari, tenang bos kita masih ada waktu.” balas Edgar yang mengerti kegelisahan Abraham. Bosnya itu selalu menginginkan pelayan yang sempurna untuk para pelanggan mereka. Biasanya dia juga akan menghiasi restauran sesuai dengan acara pelanggan meski tak pernah ada pesanan untuk mendekorasi ulang restauran, Abraham selalu totalitas melakukan segala hal.

“Baiklah kalau begitu aku akan melihat ke gudang, kita bisa sedikit mendekorasi ruangan agar sesuai dengan acaranya.”

Edgar membalasnya dengan senyum canggungnya, dia tahu bahwa kata sedikit itu tidak berarti sedikit bagi Abraham.

“Mereka sedang merayakan hari jadi pernikahan, kan?” tanya Abraham saat ia sudah melangkah sampai ke ambang pintu restauran. Edgar hanya mengangguk sambil mengangkat jempol kirinya untuk menjawab pertanyaan dari Abraham.

Hari itu cukup cerah daripada biasanya yang selalu mendung setiap saat, langit terlihat bersih dan udaranya sangat bagus. Abraham mendekorasi kembali restaurannya, memasang beberapa lilin untuk menambah kesan romantis di setiap meja dan meja utama untuk pasangan yang sedang merayakan hari jadinya. Lampu tumbler dengan bola lampu yang cukup besar dia pasang di luar restauran, membuat seluruh halaman terasa lebih terang. Dia mengganti seluruh taplak meja dengan warna yang lembut, menata semua alat makan dengan rapi dan… saat Abraham melihat lagi hasil karyanya terasa ada yang kurang.

Abraham memanggil semua pegawainya untuk ikut melihat apa yang kurang dari dekorasinya untuk acara hari jadi itu. Ke empat orang itu saling berdiri dan menopang dagu masing-masing sambil mengamati seluruh ruangan. Selama beberapa saat mereka melihat ruangan itu, tak merasa ada yang kurang bahkan kening mereka sampai berkerut karena terus berpikir.

“Tidak ada bunga?”

Sebuah suara menarik perhatian ke empat orang yang sedang sangat serius menatap seluruh ruangan itu. Mereka menoleh ke arah pintu masuk dan melihat sosok Bella berdiri di ambang pintu.

“Ah… ya bunga bos!” seru Marco penuh semangat.

“Kau datang…” ujar Abraham sambil berjalan mendekat ke arah Bella.

“Tidak ada yang bisa aku lakukan di rumahmu, jadi aku pergi kemari, mungkin melihat kalian membuat pangsit atau-” ucapan Bella bahkan belum selesai dan seseorang menyelanya.

“Disini bukan pertunjukkan memasak, kau bisa melihat itu di tv.” sahut Tiya dengan ketus. Reaksi Tiya cukup mengejutkan, bahkan untuk Bella sekalipun. Sesaat kemudian Marco melingkarkan lengan besarnya pada leher Tiya dan menutup mulut teman kerjanya itu dan tersenyum canggung pada Bella.

“Ahh, kau benar sekali…mungkin aku harus kembali saja, aku tidak terpikirkan untuk menonton tv.” Bella berbalik untuk pergi dari restauran itu, hingga sebuah tangan menahannya untuk melangkah lebih jauh.

“Pergi denganku saja,” yang dilakukan oleh Abraham sangat mengejutkan semua orang terlebih lagi Tiya yang langsung menggigit telapak tangan Marco lalu berjalan masuk ke ruang khusus pegawai.

Bella menoleh dengan tatapan penuh tanya pada Abraham, “Pilihkan bunga yang cocok.” lanjut Abraham dengan seulas senyum yang terukir indah di wajahnya. Bella pun hanya mengangguk perlahan.

Lihat selengkapnya