Kepulan asap tipis dari cangkir putih berisi teh bunga chamomile ini membuatku sangat tenang, aromanya mengingatkanku pada seseorang, orang yang sangat menyukai berbagai macam jenis teh, orang yang tidak akan ragu untuk mencoba rasa teh terbaru. Ah, aku merindukannya, semua dari dirinya selalu berhasil membuat hatiku bergetar karena rindu. Senyumnya, adalah hal paling hangat dari dirinya, dalam keadaan apapun dia selalu berhasil menciptakan satu senyuman tulus yang dia berikan kepadaku. Aku merindukannya, suaranya... tidak selalu merdu seperti saat sedang bermanja, tapi tanpa suaranya hidupku akan terasa sepi, dia lebih suka tak membuka mulutnya jika tak merasa itu perlu, namun saat dia bicara tidak satu hal disekitarnya luput dari ocehannya, dia sangat suka bercerita...sesekali.
Manisnya cairan hangat yang mengalir pada tenggorokanku tanpa hambatan ini mengingatkanku pada manisnya tatapan matanya kala sedang berbahagia, di sudut matanya selalu terdapat kerutan saat ia sedang begitu bahagia hingga membuatnya tersenyum. Itu adalah saat-saat yang membuat hatiku terasa penuh dengan bunga, terkadang aku selalu bertanya pada diriku sendiri, apakah dia dilahirkan untuk membuat orang lain bahagia?
Aku mendongak sedikit mengintip langit, awannya kelabu tampaknya akan turun hujan. Ini akhir musim dingin, sebentar lagi memasuki musim semi, musim yang selalu dinanti dan sukai olehnya. Dia sangat membenci musim dingin, tubuhnya tak kuat menahan cuaca dingin yang ekstrem, jarinya akan membengkak jika terkena suhu dingin, kaki dan tangannya akan membeku, dia akan terbatuk sepanjang tubuhnya kedinginan.
Mataku menangkap sosok yang berlari melewati pagar rumah, seorang anak perempuan dengan rambut di kepang dua. Tampaknya dia tergesa-gesa untuk menemuiku karena anak perempuan itu tak pernah bersikap terburu-buru, pembawaannya sangat tenang. Hari ini sepertinya sesuatu mengusiknya, hingga memaksanya untuk bergerak cepat.
Tiba di halaman rumahku dia terhenti, tatap matanya memerangkap diriku yang sedang menikmati secangkir teh dari ruang kerjaku. Raut mukanya tak bisa ku tebak, ada rasa cemas, ragu, dan kesedihan. Ku hela nafasku, bersiap untuk menyambutnya, apapun itu.
"Tuan Wilson..." Bibirnya bergerak menyebut namaku, dia tidak bersuara, tidak sanggup kurasa.
Jantungku berpacu lebih kencang, aku masih menanti anak perempuan itu untuk memberitahu apa yang terjadi. Dia berjalan lagi, memasuki rumahku yang besar ini. Dibutuhkan beberapa saat hingga dia sampai di pintu ruang kerjaku.
"Tuan Wilson..." Kini aku bisa mendengar suaranya yang teramat pelan hampir tak terdengar. Di hadapanku jelas tampak raut wajahnya, bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Tanpa sadar, pegangan jariku pada gagang cangkir itu menguat, suara jantungku berdegup dengan keras, hingga rasanya menyesakkan.