Air terciprat dari bekas injakkan kakinya yang menapak di atas kubangan air pada jalanan yang berlumpur itu. Melihat rumah itu sudah tidak jauh lagi, Bella menambahkan kekuatan pada kakinya untuk berlari lebih kencang. Hujan semakin deras ketika langkahnya bertambah, hingga baju yang dia kenakan itu basah.
Di teras rumah itu Bella mengibaskan tangannya, berusaha membuat air yang menempel di lengannya itu berkurang. Percuma saja, bajunya terlalu basah dan tak ada cara lain selain mengeringkannya dibawah sinar matahari, sementara tubuhnya semakin menggigil karena kedinginan. Jika dia lebih lama diluar mungkin akan segera membeku, tapi Bella tak bisa masuk ke dalam rumah atau neneknya akan mengeluarkan seribu satu macam makian padanya karena masuk ke dalam rumah dalam keadaan basah.
Terdengar suara kenop pintu yang diputar, nafas Bella tertahan dan perutnya terasa seperti sedang di remas, waspada jika itu adalah neneknya maka dia sudah menyiapkan mental untuk merelakan telinganya panas. Seseorang membuka pintu begitu terkejut melihat sosok Bella dengan pakaian basah kuyup. Melihat sosok yang keluar dari balik pintu itu adalah wanita yang lebih muda dari neneknya, dalam hatinya Bella sangat bersyukur.
“Astaga! Kenapa tidak langsung masuk ke dalam rumah? Lihat kau basah sekali!”
“Apa nenek sudah pulang, dia akan memarahiku jika lantainya basah.” Keluh Bella sembari menunduk melihat lantai teras yang sudah tergenang dengan air dari bajunya.
“Gadis ini,” Wanita paruh baya itu memukul bokong Bella tidak terlalu keras,”Kau bisa lewat pintu belakang, cepatlah!”
Bella beranjak dari tempatnya, menciptakan jejak basah yang baru di lantai itu, beberapa langkah dia berjalan tiba-tiba saja berhenti dan menoleh lagi ke belakang, “Bibi memangnya hujan-hujan begini mau kemana?” tanyanya.
“Ahh, ada persiapan di balai untuk perayaan ulang tahun kota, aku harus kesana untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.”
“Oh! aku melupakannya, apakah aku harus kesana juga?”
Karina memutar matanya dengan kesal, “Lihat dirimu, kau hampir membeku! Sekarang masuk dan buat air hangat. Nenekmu akan segera kembali!”
Bella hanya meringis, dia kembali memutar tubuhnya dan beranjak menuju ke pintu belakang rumah neneknya. Buru-buru Bella segera masuk ke kamar mandi, ia membuka pakaiannya dengan segera, lalu mandi menggunakan air hangat. Tubuhnya yang hampir membeku itu pun akhirnya terselamatkan.
Puas merasakan guyuran air hangat Bella mengganti pakaiannya dengan sweater dan celana piyama bergambar babi. Dia keluar dari kamarnya berniat untuk membuat minuman hangat yang bisa menghangatkan tubuhnya. Seseorang tiba-tiba muncul dari balik konter dapur, Bella terperanjat saking terkejutnya.
“Nenek! Sejak kapan ada disitu!”
“Kau! Kenapa hujan-hujanan begitu? Lihat lantainya basah, dan kau tidak membersihkannya?” Omel nenek dengan menuangkan air panas ke dalam sebuah cangkir.
“Aku akan membersihkannya,” balas Bella dengan lesu.
“Ini minumlah selagi hangat.” Nenek menyodorkan cangkir gelas dengan kepulan asap tipis itu pada Bella. Dengan senyum yang merekah di wajahnya, Bella mengambil cangkir berisi teh tersebut, dia meletakkan telapak tangannya melingkupi cangkir untuk merasakan kehangatannya.
Perlahan-lahan Bella menyesap cairan berwarna kekuningan itu, dia sangat menyukai teh bunga krisan, rasanya manis dan aromanya sangat harum, “Ah… hangatnya,”
“Jadi kapan kau akan kembali?” pertanyaan nenek membuat Bella tersedak teh hangatnya.
“Sssshh, panas sekali.” dalihnya, berusaha untuk menghindari topik permbicaraan itu.
Hari ini seharusnya sudah dua minggu sejak kedatangan Bella di rumah neneknya, dia datang tanpa memberi tahu siapapun termasuk neneknya. Bella sedang melarikan diri dari kehidupannya di Los Angeles, dia adalah seorang penulis yang novelnya menjadi best seller dua tahun yang lalu. Tidak ada satu pun novel yang di kerjakan olehnya lagi, sementara editornya selalu menekan Bella untuk menulis lagi. Namun, tak seorang pun yang berhasil mengorek lebih jauh alasannya meski Nenek dan bibinya sudah bertanya pada hari pertama Bella berdiri di depan pintu dengan koper di tangannya.
“Apa kau ini pengangguran? Mengapa ambil cuti lama sekali?”
“Aku ini seorang penulis, aku bisa bekerja dari mana pun.” balas Bella dengan tatapan matanya yang mengarah pada air teh di cangkirnya. Dia melihat pantulan wajahnya sendiri, melihat memori lama yang terputar kembali. “Aku tidak akan kembali ke kota.”
“Kau tidak sedang sakit kan?” nenek mendekat, mengulurkan tangannya pada kening Bella, “Jangan katakan omong kosong semacam itu lagi!” hardik Nenek.
“Itu bukan omong kosong nenek!”
“Lalu apa? Hanya orang yang putus asa bisa mengatakan omong kosong seperti itu.”
Bella meletakkan cangkirnya, dia memandangi neneknya untuk sesaat, berusaha untuk mengatakan isi hatinya tapi dia tidak mampu. Kata-katanya hanya terhenti di tenggorokannya saja, “Aku memang putus asa.” Katanya sambil berlalu pergi meninggalkan Neneknnya yang tertegun setelah mendengarkan ucapan Bella.
****
Satu bulan yang lalu.
Pernikahan itu digelar begitu mewah dan meriah di sebuah hotel terbesar. Dekorasinya bertemakan rustic wedding, banyak bunga kering dimana-mana. Di antara keriuhan para tamu undangan yang sedang mengantre untuk mengambil makanan, Bella berdiri dengan kepala celingukan mencari seseorang- sahabatnya, Laura.
Belum sempat dia menemukan Laura, seseorang memanggil namanya dengan suara yang begitu familiar di telinga Bella. Seketika itu dia menoleh, penyesalan pun menghantam Bella secepat cahaya, nafasnya tertahan ketika tatapan matanya menangkap sesosok pria yang tengah berjalan menuju ke arahnya itu, dia adalah sosok yang sama sekali tak akan pernah ingin Bella temui seumur hidupnya, meski dalam mimpi sekalipun. Dengan cepat Bella memalingkan kembali tubuhnya, dia hendak beranjak pergi tapi jalannya telah dihadang oleh pria tersebut.
“Bella, ini kau!” Pria itu terdengar antusias.
“Maaf, Anda salah orang.” Bella mengelak, dia berusaha mencari jalan tapi pria itu selalu menghalanginya.