Hello, Spring

Tearose
Chapter #3

2. Jembatan Yang Runtuh

Langit-langit kamarnya tak berubah meski sepanjang malam ia telah menatapnya, Bella tak bisa tidur walau sudah berusaha menghitung domba dalam pikirannya. Dia menegakkan tubuhnya, duduk di pinggir ranjang sambil menghela nafas. Bukan pertama kalinya bagi Bella mengalami kesulitan tidur, sebelumnya ia juga mengidap insomnia. Untuk beberapa waktu dia menjalani terapi, kini sudah tidak lagi karena gejalanya mulai berkurang dan dia bisa memejamkan matanya meski tidak selama yang seharusnya. Namun, pertemuannya dengan pria dari masa lalunya telah mengembalikan gejalan insomnianya, dia tak bisa memejamkan matanya lagi setiap malam hingga menjelang fajar.

Bella beranjak keluar dari kamarnya menuju ke area dapur, membuka satu per satu kabinet di atasnya mencari wadah teh, mengambil teko dan mengisinya dengan air, lalu meletakkannya di atas kompor. Sembari menunggu air mendidih, Bella bersandar di kabinet dengan kedua tangan yang terlipat di dadanya. Mata Bella tertuju ke arah api biru yang menyala sedang itu, pikirannya tiba-tiba saja melayang ke hari festival. Ingatannya menunjukkan wajah pria tampan yang memberinya sebuah jas. Bella masih tidak mengerti mengapa pria itu mengatakan “senang berjumpa denganmu lagi.” yang seolah-olah mereka pernah bertemu sebelumnya.

“Apa kami memang pernah bertemu sebelumnya?” Bella bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.

Ngiiiiiiingg, suara teko mengoyak angan-angan Bella, ia tersadar kemudian mematikan kompornya dengan segera. Air panas itu dituangkan Bella ke dalam cangkir berwarna putih favoritnya. Membawa cangkir yang sudah terisi air dan teh mendekat pada indera penciumannya, Bella sangat menyukai aromanya yang wangi, cukup menenangkan baginya.

Bella berjalan ke arah jendela yang tak jauh dari dapur, menikmati pemandangan daerah sekitarnya, meski yang terlihat hanya beberapa rumah yang berjauhan dan lampu jalan yang tak seberapa banyak itu. Beruntungnya rumah Nenek berada di atas bukit, sehingga Bella bisa melihat keadaan lingkungan di areanya dari rumahnya. Tatapannya terhenti ketika ia melihat sebuah jembatan yang letaknya tak begitu jauh dari rumahnya, bukan jembatan yang menarik perhatian Bella, melainkan sebuah bangunan kecil namun begitu terang pencahayannya. Itu adalah sebuah restauran kecil dan cukup terkenal di kota kecil mereka, pemiliknya adalah seorang pria yang selalu menjadi gosip terhangat, hingga sekarang Bella masih tidak mengerti mengapa pria itu sangat menarik atensi para penduduk kota.

“Apakah itu masih buka?” gumamnya sambil menyesap teh yang mengepulkan asap tipis.

Bella kembali ke dapur, dia meletakkan cangkir pada tempat cuci lalu bergegas menuju ke kamarnya untuk mengambil jaketnya yang paling tebal. Daripada hanya memandangi langit-langit kamarnya dan tak bisa memejamkan mata sama sekali, mungkin memakan beberapa pangsit bisa membuatnya mengantuk.

“Auh, dingin sekali.” decak Bella tepat setelah tubuhnya menyentuh udara di luar rumah. Kedua tangannya pun menarik jaketnya, merapatkannya agar hawa dingin yang begitu menusuk itu tak menyentuh kulitnya.

Berjalan pelan Bella menyusuri jalan yang terbuat secara alami karena sering dilewati oleh mobil bibinya itu. Jalan itu benar-benar sepi hanya terdengar hembusan nafas dan telapak kakinya yang menapak setiap kali melangkah. Bella berjalan perlahan sembari sesekali melihat ke atas memandangi pemandangan langit malam yang dipenuhi oleh bintang yang berkedip-kedip.

Cukup lama berjalan Bella menghentikan kakinya tepat di depan sebuah jembatan yang hanya bisa dilewati sebuah mobil itu. Ada sebuah papan peringatan tertulis di samping jembatan; AWAS! JEMBATAN DALAM TAHAP PERBAIKAN. Sementara restauran itu ada di seberang tepat berada di samping jembatan, lama berpikir akhirnya Bella tetap melangkah. Dia berpikir hanya satu orang yang lewat tak mungkin jembatan itu akan runtuh.

Bella memperhatikan setiap langkahnya, sampai di tengah jembatan sebuah bunyi retakan menghentikan kakinya untuk berjalan. Jantungnya tiba-tiba berdebar lebih kencang, Bella memutar lehernya untuk melihat ke belakang. “Mungkin perasaanku saja,” gumamnya dan kembali berjalan. Bunyi itu semakin keras ketika Bella melangkah, dia pun berhenti dan memegangi pagar jembatan dengan erat. “Nenek! Aku akan jatuh!” rengeknya.

“Berhenti disana, Jangan bergerak!” Sebuah teriakan menyadarkan Bella, dia melihat lurus ke depan. Dia mengedipkan matanya berkali-kali untuk melihat siapakah yang ada di ujung jembatan

“Si, siapa kau? Aku, apakah aku akan jatuh?” Bella meracau dengan suara yang gemetar menahan tangis.

“Tunggu, oke? Jangan bergerak, jangan menangis, aku akan segera kembali, kau mengerti?”

“Kenapa aku tidak boleh menangis?”

Tidak ada lagi jawaban dari pria itu karena sosoknya pun terlihat menjauh dari jembatan. Bella melihat ke sekelilingnya, hanya ada dua lampu di ujung-ujung jembatan, tak sengaja tatapannya mengarah ke bawah jembatan hingga membuatnya semakin takut. Pikirannya sudah membayangkan bagaimana jadinya dia jika jatuh ke bawah. Bella menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk mengenyahkan pikiran buruknya. Dia menarik nafasnya, menghembuskannya perlahan-lahan, hal itu cukup membuatnya menjadi lebih tenang sambil menunggu satu-satunya harapan.

“Hei!”

Helaan nafas lolos dari pernafasan Bella, akhirnya penyelamatnya datang kembali setelah cukup lama dia menunggu hingga kakinya terasa kesemutan. Pria itu melangkah mendekat di ujung jembatan dengan hati-hati dia melemparkan sebuah tali ke arah Bella.

“Dengar, ikat tali itu ke tubuhmu dengan kuat, setelah itu berjalanlah dengan memegangi talinya. Aku akan menunggumu disini.”

Sesuai dengan instruksi yang diberikan, Bella mengikatkan tali itu ke sekitar pinggangnya dengan simpul yang kuat. Ketika mencoba melangkah, jantung Bella kembali berdetak sangat cepat. Dia berhenti sambil menatap lurus ke depan, “Aku tidak bisa bejalan…” suara Bella masih bergetar.

“Jangan takut, jalanlah sambil melihatku, aku disini, aku tidak akan membiarkanmu jatuh, mengerti.” kata pria itu lagi, “Ambil nafas dalam-dalam lalu hembuskan dengan perlahan. Anggap saja kau sedang berjalan sebagai model catwalk.”

“Itu lebih mengerikan!” seru Bella. Pria itu tergelak mendengar suara Bella yang keras.

“Kurasa dia tidak butuh bantuanku,” gumamnya lirih hingga hanya dia saja yang bisa mendengarnya, “Baiklah, baiklah, bayangkan saja kau sedang berjalan ke tempat favoritmu. Oke?”

Bella terdiam sesaat, dia menutup matanya sambil menghirup udara sekuat paru-parunya menampung, lalu menghembuskannya secara perlahan. Memaksa imajinasinya bergerilya mencari kotak kenangan yang berisi hal-hal baik, Bella memilah-milahnya dan menemukan satu kenangan baik tentang tempat favoritnya, itu adalah sebuah ladang luas yang ditumbuhi bunga lily. Dengan perlahan, kaki Bella kembali melangkah.

“Ehm.” Bunyi dehaman merusak imaji liar Bella yang berada di taman bunga Lily yang sedang bermekaran. Seketika matanya terbuka lebar dan langkahnya pun terhenti. Kepalanya menunduk untuk melihat kakinya yang kini tak lagi menapak pada jembatan melainkan jalanan biasa.

“Aku selamat? Aku selamat!!!” Bella berseru gembira, dia melompat-lompat lalu memeluk pria yang sudah membantunya melewati jembatan dengan selamat.

“Ya, Ya, kau sudah selamat,” balas pria itu. Wajah Bella seketika memanas, dia telah bersikap kekanakan dengan memeluk pria itu. Perlahan-lahan dia melonggarkan pelukannya dan memberikan jarak dengan pria itu.

Lihat selengkapnya