Senyum Lidya, seorang wanita paruh baya bertubuh tambun yang tidak lain merupakan kepala rumah tangga di rumah Abraham terus tersungging, sesekali dia menatap tuannya yang sedang duduk sembari membaca koran di ujung meja makan. Abraham menyadari jika Lidya bertingkah aneh sejak kedatangannya tadi malam. Koran yang sedari tadi dia baca pun langsung dilipat dan diletakkan ke atas meja makan.
“Apakah ada yang salah dengan penampilanku, Bibi?” tanya Abraham dengan suara lembut.
“Tidak, Tuan Muda,” balas Lidya, “Anda terlihat tampan seperti biasanya.” imbuhnya sembari menata piring di meja makan.
“Lalu, ada apa dengan senyum itu?”
“Akhirnya setelah sekian lama saya bisa menyiapkan makanan untuk anda lagi.” jelas Lidya dengan jujur.
Lidya adalah kepala pelayan di rumah milik keluarga besar orang tua Abraham, sudah bekerja selama tiga puluh tahun, sejak Abraham masih bayi hingga saat ini Abraham memiliki rumahnya sendiri. Namun, sejak bos mudanya itu pergi ke Los Angeles, Lidya tak lagi melayaninya. Hanya menjaga rumah milik Abraham, begitu pula ketika Abraham kembali. Meski memiliki rumah, pria itu jarang sekali tinggal di rumahnya. Seringkali dia tinggal di restauran kecilnya.
Lewat tengah malam saat Abraham datang bersama seorang wanita, hati Lidya membuncah dipenuhi oleh bunga-bunga. Sekian lama akhirnya Abraham membawa wanita ke rumahnya. Lidya menganggap itu sebagai pertanda yang bagus.
“Apakah dia belum bangun?” tanya Abraham pada Lidya.
“Haruskah saya membangunkannya?” Lidya berbalik memberikan pertanyaan. Abraham tak menjawab tapi segera berdiri, dia beranjak sendiri untuk membangunkan si puteri tidur.
Kamar tamu itu tak jauh dari ruang makan, di depan pintunya Abraham terdiam sesaat. Ragu-ragu haruskah dia mengetuk pintu atau langsung masuk dan melihat apakah gadis itu sudah terbangun atau belum. Setelah memutuskan, Abraham memutar kenop pintu dengan sangat pelan agar suaranya tidak terlalu keras. Pandangan Abraham tertuju pada siluet di samping jendela, gadis itu sedang duduk pada kursi sembari kepala menunduk dengan sebuah buku berada di pangkuannya.
Pemandangan yang ada di hadapan Abraham membawa angan-angannya kembali pada masa lalu. Mengulang kembali memori indahnya bersama wanita yang sangat dia cintai, wanita itu pun memiliki kebiasaan yang serupa, duduk di kursi goyang sambil membaca buku di samping jendela dan membiarkan cahaya-cahaya dari luar menerpanya sehingga yang tampak darinya adalah sebuah siluet.
“Haloo…” Abraham terkesiap, lamunannya buyar dan dia kembali pada masa kini.
Di hadapannya, Bella menatapnya dengan mata cokelat yang hangat namun tersirat rasa ingin tahu—penasaran dengan apa yang ada di pikiran Abraham.
“Aku pikir kau belum bangun, rupanya sedang membaca buku.”
“Bagaimana aku bisa bangun jika aku tidak tidur.” Bella bergumam dengan suara lirih, tapi setiap kata yang baru saja terlontar dari bibirnya terdengar sampai di telinga Abraham.
“Apa disini tidak nyaman? Aku bisa meminta Bibi Lidya memberikan kamar yang terbaik.” Buru-buru Bella menggoyangkan kedua tangannya dengan cepat, meminta Abraham untuk tidak berpikir sejauh itu.
“Bukan kamarnya, aku memiliki gangguan tidur.” Bella mengakui keadaan yang sebenarnya. Tidak mudah baginya mengatakan mengenai kondisinya, akan tetapi dia tidak bisa membiarkan Abraham salah paham. Abraham terdiam untuk sesaat, dia mengamati perubahan wajah Bella. Gadis itu menahan rasa malu karena telah mengakui keadaanya. Meski sebenarnya itu bukanlah keadaan yang memalukan.
Bungkamnya Abraham membuat keadaan menjadi canggung, Bella beranjak dari tempatnya melewati Abraham, tetapi suara Abraham menghentikan langkahnya.
“Aku juga mengalami hal yang sama.”
***
“Bolehkah aku meminjam telepon?”