Tulehu, Maluku Tengah
Setiap melakukan perjalanan liburan, ada hal-hal yang menyenangkan bagi Rishi. Pria itu selalu mendapatkan banyak pengetahuan, mulai dari ragam bahasa—ada yang mirip dan ada yang mencolok perbedaannya, aneka makanan—mulai dari yang menggugah selera sampai yang bikin ketagihan, serta pengetahuan budaya, yang kadang membuat pria itu kagum betapa beragamnya penduduk Indonesia. Dan ketika memutuskan menuju Indonesia Timur untuk pertama kali, di benaknya sudah banyak tertanam angan-angan yang dia ingin lakukan. Ingin ke pantai, bercita-cita mendaki gunung, mau berkeliling kota serta menyusuri desa-desa. Rishi berharap perjalanannya kali ini, akan memberi banyak sensasi tak terlupakan, apalagi setelah sang pacar—Dinar membatalkan rencananya untuk ikut bertualang bersamanya.
Rishi bisa ke mana saja tanpa diatur. Bisa selama mungkin menikmati pantai tanpa harus dibatasi sang pacar. Memakan apa saja yang ingin dilahap tanpa memikirkan kadar lemak. Atau memilih penginapan murah. Paling tidak perjalanan kali ini, Rishi bisa menjadi dirinya sendiri.
Sejak satu jam perjalanan menggunakan bus dari pusat kota Ambon, Rishi tak pernah melepaskan peta pulau Seram[1] dalam buklet yang dia beli saat turun di Bandara Pattimura. Beberapa tempat dia lingkari sebagai tujuan arah langkahnya kali ini. Pria itu menebar pandang ke jendela, dia melihat-lihat kawasan yang menjadi rute perjalanan menuju Pelabuhan Tulehu. Meski berbeda dengan Jakarta, melihat kawasan ini, Rishi merasa alangkah senangnya menjadi warga yang jauh dari kesibukan kota. Mereka masih dapat menikmati hidup tanpa beban fashion, barang-barang mewah, status sosial, yang bahkan bagi Rishi itulah yang membuat Jakarta membosankan.
Tut… tut… tut… bunyi ponsel Rishi berdering. Cepat-cepat dia mengalihkan kepalanya dari jendela dan melipat buklet. Dengan sebelah tangan, Rishi merogoh ponsel di kantong celananya. Tulisan ‘My Beib’ yang merupakan sebutan ganti untuk Dinar, kelap-kelip di layar ponsel.
Rishi menekan tombol yes. “Halo, Beib!” katanya dengan suara agak dipelankan.
“Sudah sampai mana?” cecar Dinar di ujung telepon, tanpa membalas ucapan Rishi.
“Hampir sampai di pelabuhan, sebentar lagi akan menuju Masohi[2] kok!” jelas Rishi.
“Jaga kesehatan. Jangan makan sembarangan ya!” suara Dinar terdengar lagi.
“Oh, jangan menasihatiku seperti anak kecil,” nada Rishi terdengar seperti mengeluh. Pria tersebut kemudian tersadar, suaranya yang lumayan membesar menarik perhatian. Dia lantas lebih merapatkan diri ke jendela bus. Pria itu berbicara setengah berbisik, “Aku akan baik-baik saja di sini. Tak lebih dari dua minggu. Makan-makanan sehat. Tidak main seharian di pantai, selalu menghubungimu setiap hari dan… tidak melirik cewek lain!” Rishi mengacung dua jari di tangannya, membentuk lambang ‘sumpah’ seolah Dinar dapat melihatnya.
“Oke,” suara Dinar terdengar yakin.
“Ya udah bye…. Nanti disambung lagi.” Rishi menutup telepon.
Pria itu menatap ponselnya beberapa saat, lalu tersenyum. Dia tahu wanita yang dipacarinya sejak kuliah ini, akan selalu memonitor hidupnya.
Rishi memandang sekeliling. Orang-orang di bangku bus sudah terlihat bersiap-siap. Beberapa menit lagi, bus akan berhenti di area parkir pelabuhan. Pria tersebut lantas memasukkan peta ke dalam tas carrier yang tersandar di bangku yang membelakanginya. Bus benar-benar berhenti.
Rishi merasa dadanya berdebar-debar, sebentar lagi dia akan melanjutkan perjalanan laut selama dua jam. “Aku bebas…,” serunya bersemangat, begitu kakinya memijak di dasar pelabuhan. Rishi mengeluarkan dompet dari saku celananya. Pria itu membayar tarif bus kepada kondektur yang sedang menagih.
Begitu menyimpan kembali dompetnya, Rishi refleks kaget. Sial! Seseorang dari belakang mendadak merampas dompetnya. Sangat cepat. Tanpa pikir panjang, Rishi berteriak, “Copet….!” Amat lantang. Parasnya langsung geregetan bercampur panik. Tak ayal, orang-orang di sekitar, kompak memandang Rishi. Tak mau kehilangan uang, gegas Rishi mengejar pria botak yang melarikan dompetnya.
Rishi masuk ke dalam kerumunan orang yang sibuk dengan barang bawaan mereka. Larinya lebih cepat dari kuda, apalagi di dalam dompetnya, bukan saja gambar Dinar yang tersimpan, terdapat uang tunai yang lumayan banyak, dan beberapa kartu penting seperti kartu kredit, ATM, SIM dan KTP. Rishi yang harus mengejar sekuat mungkin, berusaha melawan tas carrier di belakang punggungnya yang cukup memperlambat gerakan. Alhasil dia kerap megap-megap lantaran capek.
“Tanjung Yainuelo[3]…,” sebut Petty berulang-ulang. Dengan leher yang menekuk beberapa derajat, dia membaca alamat yang tertera di dalam kertas kecil di tangannya. Sebelah tangannya yang lain sedang memegang koper. Huft, menghabiskan banyak waktu dari Jogja ke sini, merupakan perjalanan pertamanya seumur hidup. Sebagai anak rumahan, Petty biasanya hanya melewati rute rumah-tempat kerja. Tak pernah terbayang sebelumnya, kalau Tanjung Yainuelo, memaksanya memutuskan untuk cuti selama sebulan. Tempat inilah, yang akan menjadi kepastian Petty mempertaruhkan hidupnya kepada seorang pria.
Mendadak tubuh Petty tergeser sepuluh senti dari posisinya. Sebuah benda empuk kuat sekali mendorong punggungnya. Tak ayal, kertas alamat di pegangannya terlepas spontan. Benda itu jatuh dan mendarat tepat di genangan air yang lebarnya tak lebih dari ukuran sebuah novel. Cepat-cepat Petty menoleh, dia menangkap seorang pria yang tengah berlari. Petty saling menekan gigi, dia yakin pria itulah yang menabraki tas carrier hitam ke punggungnya.
Petty fokus lagi ke kertas alamat. Wanita itu geram, kertas yang menjadi satu-satunya penunjuk, sebagian sudah teredam air. “Awas!” katanya melampiaskan kesal.
Rishi tahu dia telah menabrak seorang wanita di tengah kerumunan tadi. Permintaan maaf kepada wanita—yang mungkin sedang jengkel saat ini—bukanlah hal yang utama sekarang. Saat ini, satu-satunya prioritas adalah dompetnya. Pria itu terus memacu lari mengejar si pencopet. Napasnya tersengal-sengal.
Sayang, di antara ratusan orang yang memadati pelabuhan, dia kehilangan jejak. Apalagi lari pria botak tadi mirip pelari Jamaika, Usain Bolt. Rishi berhenti dan memandang sekeliling, dia langsung pasrah. Mana mungkin membedakan banyaknya pria berkepala botak di sini. Semua orang terlihat sama, berkulit gelap, berbadan kekar, mata lebar, bahkan dengan roman muka yang sama persis.
“Aku, apes!” Rishi membanting tangannya ke udara.
Pria itu setengah lesu. Satu-satunya benda yang dapat menjamin perjalanannya sudah raib. Kenapa orang-orang di sini tak membantuku? ratapnya dalam hati. Dengan sempoyongan, Rishi kembali. Dia menuju wanita yang tadi dia senggol tak sengaja.
Petty melepas tangannya dari koper dan buru-buru mengambil kertas alamat, sebelum benda itu makin basah. Wanita itu mengelap benda tersebut. Untunglah, tulisannya hanya luntur sebagian dan masih bisa terbaca. Mes Perusahaan Fishfood, No. 17, Desa Tanjung Yainuelo, Maluku Tengah. Setelah mengusap-usap air di kertas, Petty mengelus dada. Setidaknya satu-satunya petunjuk masih ada di genggamannya.
“Hai, maaf,”—suara seseorang terdengar di balik punggung Petty.
Wanita tersebut membalikkan badan. Seorang pria berbadan tegap berdiri di hadapannya. Dagunya lancip. Tulang pipinya kentara dan tegas sehingga membuat wajahnya tirus. Matanya bening. Bulu matanya yang panjang terlihat mirip daun kelapa yang melambai. Sayang, bekas luka parut di atas kening kanannya membuat semua kesempurnaan di wajahnya berkurang lima persen.