Rishi menopang dagu. Di ruang tunggu bokongnya masih betah berada di kursi. Dua menit yang lalu sirene peringatan dari kapal sudah lantang berbunyi. Mau tak mau Rishi memang harus melanjutkan perjalanan ini. Dia tak mungkin membuang tiket yang dia beli. Sebelum bunyi sirene peringatan terakhir terdengar, Rishi membuka salah satu ritsleting carrier miliknya dan mengambil kacamata hitam. Dia memasang kacamata, mengenakan tas dan bergegas menuju kapal.
Sebuah tulisan besar “Cantika Anugerah” tercetak di badan kapal. Rishi dapat membacanya secara jelas. Pria itu langsung masuk ke dalam kapal. Kapal ini adalah jenis kapal kecil yang hanya memiliki dua geladak. Namun kecepatan kapal ini sangat bisa diandalkan untuk perjalanan laut. Hanya butuh dua jam hingga sampai di pelabuhan Amahai. Karpet lantainya berwarna hijau. Tak ada kabin, semua berupa ruangan mirip bioskop yang dipenuhi kursi-kursi yang berderet.
Setelah berada di dalam, Rishi menuju geladak yang agak rendah tepat berada dekat haluan kapal. Dia mencari-cari kursi yang masih kosong. Kepalanya sedikit memanjang sibuk memantau keadaan sekitar. Indra penglihatannya kemudian tertuju pada sosok wanita berambut panjang—yang berada tak jauh dari posisinya. Wanita itu melingkari lehernya dengan syal. Dialah Petty. Tanpa pikir panjang Rishi menuju kursi kosong yang berada di sebelah Petty.
“Akhirnya dapat juga!” kata Rishi. Dia bisa melihat kalau Petty sedang memelotot heran kepadanya. “Hai…,” sapa Rishi garing dengan wajah yang berusaha diramahkan.
Petty memandang penuh.
“Kita ketemu lagi,” lanjut Rishi.
“Oh, kurasa kau memang sengaja mengikutiku!” Petty menerka. “Aku sangat tahu, kalau sekarang ini, banyak penipu berpenampilan perlente terhadap calon korbannya. Mereka sering membuat cerita palsu agar dikasihani.”
“Oh..., jangan menuduhku. Aku bukan orang jahat! Aku hanya melihat kursi kosong, dan memutuskan duduk di sini…,” jelas Rishi. Lantas dia meralat kalimatnya setelah kembali Petty menunjukkan tampang tidak percaya. “Oke… oke… aku duduk di sini karena melihat dirimu. Soalnya di sini, hanya dirimu yang kukenal.”
“Ya udah, kalau begitu berlakulah seperti orang yang baru pertama bertemu. Dan ingat, sebenarnya aku tidak terbiasa bicara dengan orang asing.”
“Baiklah…,” Rishi memaju-mundurkan kepala.
Pria itu menyimpan tasnya ke dalam ruang kosong di bawah tempat duduk. Beberapa menit dia hanya mampu memandang kursi yang berada di depannya. Sesekali Rishi meratapi nasibnya, yang bakal sengsara setelah sampai di pelabuhan Amahai, bahkan dia tak sanggup membayangkan jika nanti harus tidur di emperan toko. Dia butuh bantuan. Perjalanan indahnya ke pantai Rutah, desa wisata suku Naulu di dusun Ruhua, gua Akohi di Tamilouw, yang sudah dia lingkari akan binasa dalam sekejap. Seumur-umur, inilah perjalanan liburannya yang terburuk.
Rishi melepas kacamatanya. “Kau bukan berasal dari sini ya?” tebaknya.
Mau apa lagi nih, cowok? Petty monolog dalam hati. “Yah…,” sahutnya pendek membenarkan tebakan Rishi.
“Dari Bandung?”
“Tidak. Jogja!”
“O…,” Rishi melebarkan mulutnya. “Aku dari Jakarta. Tujuanmu kemari?”
“Bukan urusanmu!”
“Maaf kalau begitu.” Rishi menggantung kacamatanya di leher baju. “Kalau aku memang sengaja liburan. Tapi kau tahu kan, nasibku apes di sini. Entahlah, aku tak tahu bagaimana nasibku selanjutnya.”
Petty diam saja.
“Aku memang senang liburan. Jalan-jalan. Setiap tahun mengadakan agenda untuk berkeliling. Dan tahun ini, aku memutuskan untuk ke pulau Seram. Banyak informasi yang kudapat dari internet tentang pulau ini. Bahkan kalau waktuku cukup, aku berencana mengambil trip ke pantai Ora. Bagiku hidup tak pernah bisa dinikmati jika kau tak pernah melihat ada sisi lain, sisi unik dari belahan dunia lain selain suasana di lingkungan tempat tinggalmu.”
“Kalau aku, ini pengalaman pertamaku, jalan sendirian!”
“Benarkah?” kening Rishi berkerut.
“Aku anak rumahan!”
Suara cekikikan keluar pelan dari mulut Rishi. Dia nyaris terpingkal-pingkal mendengar pengakuan Petty. “Kau bercanda?”
“Ini sungguhan!” Petty geram. “Sudah, hentikan tawamu!” Petty tak menyangka kalau Rishi akan bereaksi demikian—sebegitu anehkah seorang wanita, melakukan perjalanan jauh untuk pertama kalinya saat berumur 25 tahun? Petty kemudian bangkit, “Aku ke toilet sebentar.”
“Silakan…, paling cuman ingin membereskan makeup!”
Petty makin geram. “Mulutmu mirip cewek! Kau harusnya mengganti kelamin.”
“Aku bisa mendeteksi orang yang akan bisa akrab denganku.” Pria itu menekan kata bisa. “Dan kurasa itu kamu.” Rishi lantas mendorong tubuh Petty. “Sudah pergi sana…, nanti kau kencing di sini.”
***
2 Jam berikutnya. Pelabuhan Amahai, Maluku Tengah.
Perjalanan laut yang memakan beberapa jam, akhirnya finis di sebuah pelabuhan kecil. Sepintas pelabuhan ini mirip dok kapal yang kebetulan memiliki jembatan yang lebar-lebar. Fungsinya bahkan hampir sama dengan limbung sandaran kapal feri atau kapal cepat. Desainnya menjorok ke laut. Di samping kiri kanan pelabuhan ini terdapat permukiman warga, pohon-pohon kelapa tumbuh di antaranya. Bau laut begitu kentara sekali dari pelabuhan sebelumnya.
Rishi setengah lesu melanjutkan langkah, begitu keluar dari kapal. Di kerumunan penumpang yang berjubel di jembatan, dia mirip layang-layang yang enggan naik maupun turun. Bingung dengan keadaan. Apa yang harus kulakukan? Rishi bertanya dalam hati. Untuk menutupi wajahnya yang benar-benar turun semangat, Rishi mengenakan kacamata, dan membusungkan sedikit dadanya. Setidaknya, dalam keadaan buruk begini, dia masih terlihat seperti pelancong yang berkantong tebal.
Mendadak Rishi menoleh, sebab tiba-tiba Petty yang baru saja keluar dari kapal mengambil tempat di samping pundaknya.
“Bagaimana, kita berpisah di sini?” tanya Petty.
“Eee….” Rishi berpikir sebentar.
“Udara di sini, segar sekali,” ucap Petty dengan gerakan seperti menghirup udara. Dia lalu menatap ke langit. “Cuacanya juga cerah.”
Rishi ikut menatap ke atas.
“Kau bisa mengambil gambarku?” tanya Petty lagi. Sebelum mendengar persetujuan Rishi, Petty buru-buru mengeluarkan kamera dari koper. “Tolong fotoin aku ya….” Dia menyerahkan kamera.
“Dengan senang hati.”
Petty tanpa malu-malu, bergerak ke arah pinggir jembatan. Posisinya langsung menegak. Dengan percaya diri, Petty melebarkan bibirnya, memberikan senyum nyaman sambil sebelah tangannya memegang koper. Rambutnya berkibar-kibar tertiup angin.
Sesaat Rishi terpesona. Dia tahu Petty lumayan menarik. Tubuhnya benar-benar proporsional, cukup semampai, dengan pinggul yang kecil. Mengingatkannya pada Luna Maya. Pria itu lantas, memotret Petty dengan latar laut membiru. “Sudah, hasilnya bagus!”
Petty berlari kecil mendekati Rishi. “Coba kulihat.” Wanita itu kemudian berseri-seri. “Mmm… thanks!” Petty menyimpan kembali kameranya. “Jadi apa selanjutnya rencanamu?”
“Aku tak tahu pasti.”
“Ooo…” Petty mengangguk-angguk kepala. “Aku tak bisa lama-lama di sini, aku duluan ya….”
Rishi hanya memberikan senyum.
Sementara itu, Petty menggenjot langkah menuju daratan. Mobil-mobil angkot dan ojek menuju kota Masohi parkir tepat 4 meter dari jembatan. Di kota sekecil ini, kendaraan-kendaraan tersebut menjadi andalan untuk bepergian. Namun sekitar tiga mobil carteran juga parkir di antara barisan angkot. Beberapa kernet menawarkan tumpangan kepada Petty. Wanita itu kembali mengeluarkan kertas alamat yang berada di saku. Dia memperhatikan baik-baik. Ya, aku harus secepatnya ke Tanjung Yainuelo, katanya mantap.
Petty mengikuti salah satu kernet yang membawanya ke angkot. Di depan angkot Petty tersenyum. Sudah lama sekali dia tidak menaiki angkot, seingatnya terkakhir dulu sewaktu SMP. Dan kali ini dia benar-benar akan merasakan lagi nostalgia berimpitan di antara orang-orang dan bergoyang-goyang seperti orang berdisko di dalam angkot. Petty sedikit menunduk ketika memasuki pintu angkot. Dia meletakkan koper tujuh senti di depan pintu, pas di belakang kursi sopir, lalu memilih duduk di sebelah anak remaja, berumur kira-kira lima belas tahun.
Petty kemudian menutup mulutnya yang menganga lantaran kaget. Di luar, persis di depan pintu Rishi tengah berancang-ancang naik angkot. Pria itu bergegas masuk, lalu mendaratkan bokong di samping dirinya.
“Rishi?” suara Petty mirip orang pasrah.
Rishi mendekatkan mulutnya ke kuping Petty. “Bantulah aku, aku tak mau jadi gembel di pelabuhan.”
“Dengan membayar ongkosmu?”
Rishi mengangguk, “Please….”
“Omigot!"
Bola mata Petty nyaris tak bergerak.
Sekitar tiga orang menjadi penumpang terakhir di angkot yang sama. Sopir angkot dengan gegas melajukan kendaraan keluar dari area pelabuhan. Tujuan angkot memang ke Masohi. Sebagai ibu kota kabupaten Maluku Tengah, kota ini menjadi pemberhentian kedua sebelum berbagai pelancong menuju ke daerah-daerah lain di Maluku Tengah. Kota ini pula menjadi pusat pemerintahan. Sebagian kota Masohi merupakan daerah hijau dengan beberapa perbukitan cantik. Jalan-jalan di kota ini lebar-lebar. Kendaraan-kendaraannya masih sepi. Bangunan-bangunan juga belum semegah kota-kota besar, bahkan jauh tertinggal dengan kota Ambon.
Angkot yang mereka tumpangi melewati arah utara. Membutuhkan waktu sekitar 15 menit menuju pusat kota.
Sesampainya di terminal Binaya, Rishi dan Petty akhirnya turun. Terimal Binaya terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh halte. Kira-kira luasnya seperempat dari lapangan bola. Kendaraan-kendaraan banyak yang ngetem menanti penumpang. Biasanya Rishi akan luar biasa semangat jika mendapatkan suasana baru, sayang begitu kakinya berpijak di dasar terminal, kengeriannya menjadi gembel makin menebal.
Petty menyegerakan langkah.