Hello You

Ello Aris
Chapter #3

#3

Rumah yang ditempati Rishi dan Petty memiliki dua kamar tidur. Kamar-kamar itu berhadapan dengan ruang tamu yang lumayan luas. Di bagian belakang terdapat dapur mini dan juga kamar kecil. Hari itu juga, Rishi dan Petty memutuskan untuk berbeda kamar. Petty menempati kamar yang lebih besar. Sementara Rishi yang notabenenya menumpang, harus rela berada di kamar yang sempit.

Petty puas dengan kamarnya. Meski tak semewah penginapan, beberapa furnitur di dalam cukup lengkap. Ada kasur, lemari, dan juga meja rias. Setelah memantau isi kamar wanita itu membuka jendela. Bau laut langsung masuk, menyerang hidungnya. Tak membuang waktu Petty merapikan barang bawaannya. Dia menyimpan baju-baju di lemari, dan mengatur sepatu serta sandal dekat pintu. Terakhir Petty menata kosmetiknya di meja rias.

“Hei, setelah ini kau mau ngapain?” teriak Petty. Wanita itu sedang meletakkan botol cleanser di meja.

“Aku?” Rishi menyahut dari ruang sebelah. “Tidur!”

“Dasar pemalas!”

“Kita harus memulihkan tenaga,” teriak Rishi dari kamarnya. “Trus, hari ini kita makan apa?”

“Makan angin!” jawab Petty setengah bercanda. “Makan pasir dan deburan ombak. Menu paling enak di desa ini.”

“Oke,” kata Rishi manyun. Harusnya dia tak bertanya soal makanan. Pria itu lantas naik ke ranjang dan merebahkan raga. Satu-satunya obat setelah melakukan perjalanan jauh adalah rehat. “Selamat tidur, Petty.”

“Astaga, kau beneran tidur?” Petty heran di kamarnya. “Kau memang benar-benar pemalas Rishi!” Wanita itu sibuk lagi menyimpan kotak make up.

Beres menata barang-barang, Petty yang penasaran langsung keluar kamar. Dia hendak melihat Rishi, apakah pria itu bercanda atau memang niatan tidur. Seperti penguntit wanita itu mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Benaran, dia mendapati Rishi sedang telentang. Pria itu hanya mengenakan singlet dan celana pendek. Petty geleng-geleng.

Wanita itu lalu melirik jam di pergelangan tangan, hampir pukul empat sore. Sepertinya dia harus mencari sesuatu untuk mengisi perut.

---

2 jam berikutnya….

Rishi duduk dengan posisi menekuk lutut di atas pasir. Pandangannya jauh menjangkau laut lepas di hadapan. Tiupan angin sesekali mengibarkan kemeja yang dikenakan. Memang tadi, setelah melihat Petty tak ada di dalam rumah, Rishi memutuskan kabur ke pantai.

Sore itu langit desa Tanjung mulai menguning meski beberapa awan kelabu mengganggu. Burung-burung cerek terbang rendah di sekitar pantai. Ombak bergerombol kecil-kecil, saling mengejar ke tepian. Rishi tersenyum—dua lesung pipit tercetak di wajah, suasana inilah satu dari sekian banyak yang ingin dia nikmati selama liburan. Mumpung tak ada Petty, senja pertamanya di luar Jakarta ini harus dinikmati.

Sial saat baru saja berniat leha-leha, Rishi mendengar teriakan.

Rish, Rishi....

Pria itu menepuk jidat. Dia tahu suara itu milik Petty. Rishi menoleh. Di halaman, Petty tampak geregetan seperti seorang ibu yang memanggil anaknya.

“Ada apa?” balas Rishi dengan suara agak keras.

“Bantuin aku!”

“Jadi kuli lagi?” Rishi menebak. “Apa kau tak bisa melihatku senang sedikit saja? Ini sunset pertamaku!”

Mendengar itu, gigi-gigi Petty langsung mengunci. Matanya memelotot. Dengan gaya mak-mak, Petty menyeret langkah ke pantai. Dia menghampiri Rishi yang memang acuh tahu. “Kau ini!” geram Petty sembari menjewer kuping Rishi. Gerakan tangan Petty yang seperti mengangkat barang, membuat Rishi tertarik ke atas.

“Aduh du,” ringis Rishi. Tubuh pria tersebut menegak.

Petty hendak membawa Rishi balik. Terbungkuk-bungkuk, Rishi mengekori Petty yang belum melepas jewerannya. “Ini bisa lembut nggak jeweranmu?”

Petty tak peduli.

“Bertemu denganmu seperti mimpi buruk.”

Petty melepas jeweran. Dia menyemprot Rishi. “Seharusnya aku yang bilang begitu!” Wanita itu kembali menjewer, dan membawa Rishi mendekati halaman rumah.

Rishi yang kesakitan, lantas bertanya. “Apa aku harus mengerjakan tugas ketiga?”

“Nah, itu ngerti!”

“Sudah kuduga,” ucap Rishi, nadanya lemas.

Tepat di teras Petty melepas tangannya dari kuping Rishi. Wanita itu memosisikan tubuh Rishi lurus menghadap kursi rotan. Rishi mengamati kursi, di situ terdapat terdapat tiga buah piring, dua gelas, sebuah stoples dan cerek air. Piring-piring itu berisi makanan, kue-kue kering terperangkap di dalam stoples, sementara cerek berisi potongan jelly dan serutan kelapa muda. Di sebelah kursi terdapat tikar berwarna kuning.

“Jadi ini yang harus kuangkat?” Rishi melirik Petty. “Kenapa kau tak bilang?”

“Kalau makanan aja, cepat!” Petty mencebik. “Tadi saat kau tidur, aku ke pasar. Bekal selama perjalanan sudah habis. Makanya harus beli makanan jadi.”

“Lalu kita makan di?”

“Pantai,” jawab Petty cepat. “Kupikir seru kalau kita makan sambil lihat ombak.”

Sesuai perintah Petty, Rishi segera mengangkat piring-piring tersebut. Tiga piring muat sekaligus di sebelah tangannya. Sebelah tangan yang lain memegang cerek berserta gelas-gelas. Sementara stoples dan tikar jadi tanggung jawab Petty. Mereka meninggalkan teras.

Empat langkah dari halaman, Petty merasa ada tetes air yang jatuh di tangannya. Wanita itu menatap langit di atas kepala, mendung mulai samar-samat, dan gerimis jadi tanda cuaca berubah. Ini jauh berbeda dengan langitu di ujung senja yang masih kelihatan menguning. “Astaga hujan, bagaimana ini?” Petty hendak balik ke teras.

Saat Petty mundur, Rishi mencegah. “Kau mau balik ke dalam?”

“Balik lah, masa kita makan sambil hujan-hujanan?”

“Ini cuman gerimis. Kecil,” jelas Rishi. “Aku sudah senang loh ya, saat tadi kamu pilih pantai sebagai tempat makan kita.”

“Tapi?”

“Ayolah, makan di bawah gerimis pasti akan menjadi hal yang mengesankan.”

Petty mendengus. “Jangan bercanda.”

Rishi memasang tampang memelas, berharap Petty membatalkan niatnya. Benar, beberapa detik kemudian Petty luluh. Rishi tampak senang. Wanita itu lalu mengikuti Rishi yang selangkah di depan. Pasir tempat mereka menjejak kini sudah lumayan basah. Angin bertiup makin kencang, hal itu membuat mereka sesekali mengedip lantaran pasir berterbangan.

Rishi mencari tempat yang dikira bagus untuk memandang laut dan senja. Pria itu mengentak-entak kaki, memastikan pasir yang mereka duduki nanti benar-benar padat. Setelah menemukan spot yang pas—tepat tiga meter dari tepi pantai, Rishi meletakkan piring-piring. Sementara itu Petty yang masih memegang stoples dan tikar bingung, bagaimana caranya makan dengan guyuran air seperti ini.

“Sini tikarnya,” pinta Rishi, lalu menyuruh Petty duduk.

“Harus duduk di atas pasir?” Petty memastikan.

“Iya,” sahut Rishi.

Ragu-ragu Petty duduk. Namun wanita itu tetap saja bingung. Kalau harus duduk di pasir, terus fungsi tikar yang mereka bawa apa? Petty memeluk stoples yang berada di pegangannya. Mendadak wanita itu kaget, ternyata Rishi membuka tikar dan meletakkan benda itu di atas kepalanya. Pria itu ikut duduk dan bersila di samping. Petty mengerutkan kening.

“Ini bukan payung!” komentar Petty.

Rishi membenarkan letak tikar di kepala mereka. “Tidak apa-apa. Yang penting kita tak kehujanan.”

“Tapi ini aneh.”

“Jangan banyak protes,” Rishi menggeser posisi lebih rapat dengan Petty. “Jarang-jarang kan begini? Nikmati saja.”

Petty menggigit bibir bawah. Dia berusaha mencerna kata-kata Rishi. Namun bagaimana pun, berteduh di bawah tikar memang benar-benar ganjil. Satu menit berjalan, yang terdengar hanyalah bunyi ombak, deru angin dan gerimis yang jatuh di atas tikar.

“Jadi kapan kita makannya?” tanya Rishi. Perutnya mulai lapar.

Petty tak merespons. Pandangan wanita itu melurus ke depan. Dia memperhatikan senja di ujung sana. Warna kuning keemasan yang menggurat langit meneduhkan mata. Gulungan ombak tampak memikat. Sudah lama dia tak pernah merasakan suasana seperti ini. Jogja terlalu membuatnya sibuk sehingga lupa kalau dia butuh suasana rileks, contohnya seperti pantai ini. “Ternyata menyenangkan berada di sini.”

Senyum terbit dari bibir Rishi. Dia tahu omongan Petty itu pertanda suka.

“Aku makan duluan ya,” Rishi menarik satu piring. Dia merobek daging ikan dan mencampurnya dengan nasi. Tanpa sendok pria memasukkan makanan ke dalam mulut. “Ini enak,” komentarnya.

Petty turut mencicipi makanan.

“Kau lihat itu,” tunjuk Rishi, mulutnya masih mengunyah. “Sunset-nya indah bukan? Harusnya kau lebih sering keluar menjelajahi banyak tempat, agar kau bisa memiliki seribu kesempatan memandangi sesuatu yang berbeda setiap hari. Aku yakin sekarang kau sedang merasa beruntung duduk di bawah tikar dan makan seperti ini di tepi pantai. Satu kejadian yang tak akan terulang dalam hidupmu.”

Lihat selengkapnya