~oOo~
Terkadang, memiliki begitu banyak rasa suka membuat kita lupa cara mencinta. Oleh karena itu, tercipta rasa benci agar kita bersyukur pernah dicintai.
~oOo~
“Serius banget tampang lo. Pelajarannya udah bubar, Rav!” Zelina entah sejak kapan sudah duduk di bangku kosong sebelah Raven.
Bel istirahat sudah berbunyi tapi Raven belum beranjak dari bangkunya.
“Diam, Zel. Saya lagi serius.” Raven meletakkan telunjuk di bibir. Matanya terpejam sok cool.
“Zel! Zel! Cuma ayah gue yang boleh manggil Zel. Lo manggilnya Lin aja!”
“Saya kan, juga ayah. Ayah dari calon anak-anak kita!” Raven menyipitkan mata, sementara bibirnya nyaris membentuk seringai.
Zelina mengurut dada. Yang waras ngalah. Rapalnya berulang kali. Meladeni Raven cuma bikin sakit kepala menjadi-jadi. “Ngelamun segitunya, lagi mikirin cewek mana lagi yang mau lo modusin?”
“Negatif mulu pikiran lo kalau sama gue. Mikirin OSIS nih, gue.”
“Dulu katanya nggak mau ikut organisasi, sekarang malah serius ngurus OSIS.”
Raven mendesah. Wajahnya berubah lebih serius. “Tanggung jawab sebagai Ketua OSIS itu berat, lebih berat dari tanggung jawab saya ke orangtua kamu, Zel. Kalau saya bisa milih buat nggak jadi ketua OSIS, mendingan saya fokus sama kamu.” Khas Raven! Philanderer-nya terindikasi kambuh kalau dia mulai bicara dengan kata ganti saya-kamu.
Zelina benar, awalnya Raven memang tidak sudi bergabung di organisasi. Kekecewaan karena dipaksa pindah dari Wasesa ke DHS membuatnya jengah. Susah payah dia melewati kaderisasi kepemimpinan di SMA Wasesa, tersiksa latihan disiplin di PMPP yang rasanya seperti wamil—wajib militer—dan semua dikandaskan begitu saja. Tapi Adila membuka matanya. DHS mungkin kesempatan kedua bagi dirinya. Formulirnya mungkin serampangan, tapi tanggung jawab tidak boleh diemban sembarangan.
“Ngalus mulu kerjaan!” Zelina mengatupkan rahang dengan kesal. “Tuh, antrian pasien yang mau curhat mulai nelponin gue, nanya lo jadi buka sesi konsultasi nggak?”
Raven memukul keningnya sendiri. Salah satu program kerjanya adalah menjadi tempat curhatan para siswa DHS. Program konyol yang ternyata diminati banyak orang. Siapa sangka dunia ini berisi banyak sekali masalah dan orang kadang hanya ingin didengar meski tak punya solusi.
oOo
Sienna berdoa dalam hati supaya dia bisa segera hengkang dari kelas. Bel istirahat pertama sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu dan Fendi masih merayunya supaya mau diajak ke kantin bersama. Selain tidak tertarik berteman, Sienna juga tidak tertarik mencari pacar. Terutama tipikal cowok super agresif seperti depannya ini.
“Lo kan, punya hutang nemenin gue ke kantin seminggu penuh. Nemenin doang, nggak minta dibayarin.” Fendi membujuk. “Janji adalah janji, Na.”
“Yang janji siapa? Gue nggak bilang apa-apa. Ngerti?”
“Kok ketus?”
“Kalau ceweknya nggak mau, jangan dipaksa.” Nino melipat tangan sambil geleng-geleng kepala. Fendi sudah nyaris melayangkan protes tapi Nino menunjukkan amplop dengan kop surat OSIS. “Bro, gue ada urusan sama dia. Boleh pinjam bentar nggak?”
Sienna menggusah napas lega ketika Fendi keluar kelas. “Thanks.” Cewek itu langsung berdiri dan bersiap pergi, tapi Nino meletakkan amplop yang tadi dipegangnya di atas meja. Kelegaan Sienna tidak berlangsung lama ternyata.
“Gue diminta nganterin undangan MPLS buat besok.”