~oOo~
Jangan katakan aku tidak memberi peringatan. Bahwa aku datang dari kelam. Jauh dari cemerlang. Masihkah kau berharap aku akan membawamu pada terang?
~oOo~
Raven membuat Sienna membuat perjanjian dengan iblis. Bertukar kebebasan dengan menjadi Wakil Sekretaris OSIS. Setelah berjabat tangan di depan saksi dan didokumentasikan Nino, Dito mengulurkan kunci motor pada Raven. Lagak Dito sudah mirip ajudan mafia. Tanpa bisa mengelak, Sienna digiring ke parkiran untuk diantar pulang. Alasannya permintaan maaf karena telah membuat Sienna pulang terlambat.
Sayangnya, Sienna bukan orang bodoh. Dijebak sekali membuatnya belajar. Alarm waspada menyala di kepalanya. Sepanjang jalan, dia bungkam diboncengan Raven—kecuali obrolan soal arah jalan—padahal jantungnya gemuruh oleh prasangka. Air yang tenang menenggelamkan. Seperti Raven dan senyumannya. Baru sehari, cowok sudah membuat hidup Sienna jungkir balik.
“Makasih, Kak.” Sienna buru-buru turun dari boncengan dan menyerahkan helm. Tinggal di cluster membuat rumahnya tidak berpagar. Pagar dibangun mengelilingi kompleks dengan satu gerbang yang dijaga satpam. Sienna menyeberangi halaman, berusaha secepat kilat kabur ke dalam rumah. Tapi, Raven menangkap ranselnya.
“Eits! Gesit amat. Dikira ojol kali, helm dibalikin terus ditinggal pergi.” Dengan tak acuh, cowok itu lalu menangkap pergelangan tangan Sienna dan membimbingnya ke pintu.
Sienna melongo. Halo... yang punya rumah siapa?
Tanpa melepaskan genggaman, Raven memencet bel rumah.
“Mau ngapain, Kak? Ortu gue nggak bakal marah-marah cuma karena gue telat satu-dua jam.”
Mata gelap Raven tertuju pada Sienna. Belum sempat cowok itu bicara, pintu sudah terbuka. Sarah—mama Sienna muncul di baliknya.
“Kok baru pulang?” tanya Sarah pada Sienna. Bungkamnya Sienna membuat Sarah sadar bahwa ada orang lain di teras rumahnya. Dia sudah akan bertanya, tapi matanya tertuju pada tangan Sienna yang digandeng cowok asing itu.
“Salam kenal. Saya Raven, Tante.” Raven mengulurkan tangan pada Sarah. Senyum cowok itu langsung mengembang manis dan santun. “Saya kakak kelas Sienna di DHS.”
Sienna mendengus dengan mata melotot galak. Bisa-bisaan si gagak sengak jadi sok manis!
“Masuk yuk, Raven!” Sarah melebarkan daun pintu, tapi Sienna mencegah.
“Mendung, Ma.” Sienna menyela. “Keburu hujan. Kasian—“
“Om-nya ada Tante? Saya mau ngobrol sebentar.” Mengabaikan usiran Sienna, Raven malah menatap Sarah penuh harap. Senyumnya sama sekali tidak pudar. Poin plus dengan penampilannya yang super rapi dan terlihat seperti pemuda-super-baik-hati-sekali.
Mata Sienna melotot tidak percaya. Tangannya mengepal menahan keinginan menjambak rambut Raven sampai acak-acakan. Dia tidak sempat melayangkan protes karena mamanya sudah menggiring mereka masuk.
“Ada kok, ada. Baru banget pulang kantor. Tunggu sebentar, Tante panggilkan.” Sarah masuk ke dalam setelah menawarkan minuman.
“Mau ngapain lo, Kak?!” Sienna memberengut sementara Raven sudah menyamankan diri di sofa ruang tamu. Benar-benar tidak tahu diri.
“Menjawab tantangan lo.” Raven berbisik di telinga Sienna. Mata kelamnya menyorot misterius dan senyum yang tadi dia pamerkan tidak lagi terukir.
Sienna merinding. Ada yang tidak beres dengan cowok ini. Dibalik sikapnya yang manis, dia punya aura... Magis? Mistis? Sienna kebingungan mendeskripsikan. Terlalu cepat untuk menyimpulkan pribadi seseorang yang bahkan belum genap dikenalnya selama 24 jam.
Suara dehaman membuat Raven menarik dirinya dari Sienna. Merentangkan jarak. Bayu, papa Sienna, sudah berada di ruang tamu. Sarah menyenggol lengan suaminya dengan keras. Dia bergumam di sebelah suaminya dengan bibir terkatup. Lalu mata Sarah dan Bayu sama-sam tertuju pada satu titik. Tangan Sienna dan Raven. Bayu kembali berdeham. Sienna dan Raven baru sadar dan menarik tangan masing-masing dengan keki.
Senyum Raven kembali terbit. Dia bangkit dari sofa, mengulurkan tangan untuk berkenalan. Sienna benar-benar menaruh harapan agar papanya bersikap tidak ramah pada cowok SKSD yang berani-beraninya menggandeng putrinya ini. Sayangnya, harapan itu pupus. Raven berhasil dengan teknik ice breaking-nya.
Raven dan papa Sienna bicara soal bisnis, trading, saham dan entah apalagi yang membuat kening Sienna berkerut rapat. Sementara Sarah, kini ikutan mengangguk-angguk kagum.
Lalu entah obrolan apalagi, hingga Raven tiba-tiba mengatakan, “Nanti saya yang bakal jagain, Sienna.”
Sienna membelalak. Dia terlalu sibuk merutuki Raven hingga tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. “Jagain dari apaan? Lo sendiri berbahaya! Nggak butuh! Nggak!”
Raven menepuk-nepuk lutut Sienna yang duduk di sebelahnya dengan sabar.
Mama Papa Sienna saling pandang. “Kalian pacaran?”
“Ngaco ah!” Sienna sudah nyaris berdiri dari sofa tapi Raven menarik lengan cewek itu hingga terduduk lagi. Cewek itu memberengut kesal sambil menyingkirkan tangan Raven. “Lo kok ngatur sih, Kak! Baru juga kenal!”