~oOo~
Katanya, yang pertama tidak akan pernah terlupa. Aku menjadikanmu yang pertama. Jadi, bolehkah aku memintamu menjadikanku satu-satunya?
~oOo~
“Mas...” Sienna meneguk ludah. Mendadak tenggorokannya begitu kering dan sulit bicara.
Pemuda yang membukakan pintu itu menelengkan kepala. Memandangi Sienna yang terpana padanya. Keningnya berkerut, tampak berpikir keras.
“Mas Rekta!” Mata Sienna berkaca-kaca sementara cowok itu mengembangkan senyum lebar.
“Apa kabar, Sien?” Rekta tampak tenang-tenang saja.
“Kok Mas Rekta nggak kelihatan senang atau kaget ketemu gue lagi? Sudah bertahun-tahun nggak ketemu loh!”
Rekta tertawa. Masih dengan cara yang sama seperti yang Sienna ingat. Renyah, hangat dan efeknya menenangkan. “Tadi, sebenernya gue udah lihat lo. Jadi kagetnya udah lewat.”
“Tadi kapan?” Kening Sienna berkerut rapat dan jantungnya berdegup makin cepat. Tidak mungkin dia tidak jejeritan histeris kalau bertemu Rekta tadi.
“Tadi gue lihat lo di dekat ruang OSIS, lagi digandeng sama cowok... siapa itu... si ketua OSIS?”
“Raven?” Sienna langsung mencebik. Pertemuan sakralnya dengan Rekta kenapa harus dinodai dengan kemunculan si Gagak yang minta dikeplak itu! “Kenapa Mas Rekta nggak nolongin aku?! Dulu kan, Mas Rekta suka nolongin aku kalau digangguin sama temen-temenku.”
Lagi-lagi Rekta tertawa. Kekesalan Sienna pada Raven memudar mendengarnya. “Lah, kenapa harus ditolong?”
“Gue itu diseret-seret sama dia, bukan digandeng. Dia itu resenya setengah mati. Gue yang baru dua mingguan jadi anak baru di DHS, udah dikerjai habis-habisan sama dia. Dipaksa jadi Wakil Sekretarisnya, nyari biodata buat modusin gebetan, ngerjain gue di depan senior, mempermalukan gue pas raker OSIS, suka seenaknya, pemaksa! Pokoknya Raven Kresna Amarta itu ketua OSIS jelmaan iblis!”
“Begitu ya, Wakil Sekretaris Sien?” Suara itu datangnya bukan dari Rekta, melainkan sosok di belakang kepala Sienna.
Baik Sienna maupun Rekta sama-sama menoleh dan mendapati Raven melipat tangan dengan alis terangkat. Seketika, Siena berubah pucat.
“Anu... itu...” Sienna garuk-garuk kepala sambil memandangi lantai. Takut pada Raven.
“Bukannya latihan teater, malah ngomong macam-macam ke pelatihnya?” Raven berjalan mendekati dua orang itu.
“Pelatih teater?” Sienna membeliak.
Pantes saja! Seingat Sienna, Rekta dulu adalah kakak kelasnya. Dia SMP, sedangkan Rekta sudah SMA. Keduanya sekolah di yayasan yang sama, Yayasan Kama Yogyakarta. Karena bertetangga, Sienna sering berangkat bersama Rekta. SMP dan SMA Kama ini mirip boarding school. Gedung sekolah cewek dan cowok dipisah. Muridnya boleh masuk asrama, boleh tidak. Saat Rekta naik kelas XI, dia masuk asrama. Sejak itulah hubungan Sienna-Rekta merenggang. Ditambah lagi Sienna harus pindah sekolah mengikuti orangtuanya.
“Halo, Bang. Apa kabar?” Raven tersenyum sopan sambil menjabat tangan Rekta. “Sori ya, anak ini kurang attitude-nya minus. Dia anak pindahan yang mau join di ekskul teater.”
“Wow, selamat bergabung Sienna.” Rekta berubah antusias. Dia beralih menjabat tangan Sienna. Keduanya bersalaman dengan semangat.
“Oh iya Bang,” Raven menunjuk telinga kiri Rekta. Sebuah anting terpasang di sana.
“Oh, lupa gue.” Rekta buru-buru melepas antingnya.
“Lengan kausnya juga ya, Bang. Sori banget.” Tatapan Raven tertuju pada tatto di lengan kanan Rekta. “Tolong dijaga atribut dan ketertibannya ya, biar nggak kena teguran Bu Myria lagi. Tahu sendiri Bu Myria kayak apa.” Raven menangkupkan kedua tangan lalu permisi.