~oOo~
Perang sudah dimulai. Tidak ada pedang. Tidak ada parang. Tapi, tidak ada kata damai.
~oOo~
Sienna terbungkuk-bungkuk karena napas dan tawanya memburu jadi satu. Punggungnya menyandar ke dinding deretan ruang ekskul. Tiba-tiba saja otaknya membayangkan Raven kalau malam berdandan menjadi cewek. Suara Raven berubah mendayu dan gerakannya jadi gemulai.
“Sebentar ya cin, gue dendong dulu pakai foundation biar cucok meong.” Sienna bicara dan tertawa sendiri. Dia terkikik-kikik geli di sudut koridor. “Semalam eke kena razia satpol PP babak belur, Cyn!”
“Lagi ngomongin siapa, Sienna?”
Suara di belakang kepala Sienna membuat cewek itu menoleh. Dia cepat berdeham dan menormalkan ekspresi. “Eh, Mas Rekta. Kok ke sini? Emang ada jadwal latihan teater hari ini?”
“Nyari lo.” Rekta dalam balutan kemeja flannel warna maroon lengan panjang digulung sampai siku. Terlihat rapi. Pasti dari kampus. “Di telepon kok nggak diangkat?”
Mata Sienna membulat. Setengah tidak percaya Rekta mencarinya sampai ke mari. Dia memang menyukai Rekta, tapi Rekta? Sienna tidak tahu. Dulu mereka memang dekat, tapi perbedaan usia membuat Sienna takut hanya dianggap sebagai adik. Itu sebabnya sekian lama Sienna hanya berani memendam segalanya dalam hati, dalam diam, dalam doa.
“Kok bengong?”
“Eh, anu.., itu...” Sienna tergeragap. “Tadi lagi ada rapat sama OSIS, Mas. Ke-kenapa gitu nyari gue?”
“Gue habis nyari bahan buat properti kuliah, terus kebetulan lewat sini jadi mampir. Lo bisa diganggu nggak? Gue mau ngajak jalan.”
Dada Sienna dipenuhi bunga-bunga bermekaran seketika. Dalam sekejap, dia langsung lupa pada Raven, foundation, dan segalanya.
oOo
Sienna tidak keberatan walau cuma menghabiskan sore dengan berjalan-jalan mengitari Taman Suropati. Tidak masalah kalau cuma duduk-duduk sambil menikmati kudapan di abang-abang yang jajanan yang kebetulan mangkal. Tidak jadi soal kalau ada Rekta di sampingnya. Gila, mengkhayalkannya saja Sienna tidak berani, tapi Rekta yang tiba-tiba muncul dan mengajaknya pergi jelas anugerah yang tidak boleh dilewatkan.
“Om masih suka pindah-pindah kerja, Sien?”
“Yeps! Gue bahkan udah tiga kali pindah sekolah gara-gara bokap.”
“Wow...”
“Nggak harus dipuji, Mas.”
Rekta tertawa. Renyah. Dan Sienna suka.
“Mainlah ke rumah biar ketemu mereka,” kata-kata itu meluncur dari mulut Sienna tiba-tiba dan seketika dia tegang sendiri karenanya.
“Kapan-kapan gue mampir, deh.”
“Beneran ya!” Ketegangan Sienna berubah jadi histeria.
Rekta mengangguk. Dia geli sendiri melihat Sienna yang begitu antusias. “Sambil jalan balik ke parkiran yuk. Udah kesorean.”
Sienna ingin protes, tapi kata-kata Rekta benar. Langit sudah mulai pekat. Dia beranjak dari bangku, mengikuti Rekta. “Ngomong-ngomong Mas Rekta beli properti apaan?” Mata Sienna tertuju pada kantong yang sedari tadi ditenteng Rekta.
“Alat buat praktikum Tata Kostum dan Make Up.”
“Make up?” Sienna berusaha mengkonfirmasi ulang.
Rekta mengangguk sambil tersenyum maklum. “Kaget, ya? Bingung? Bayangannya nggak usah aneh-aneh. Make up itu nggak cuma soal gender, Sien. Di teater, kalau lo manggung pasti butuh make up. Entah itu make up korektif, make up karakter atau make up effect.”
“Kalau bukan anak teater, wajar nggak cowok bawa-bawa foundation ke mana-mana?” Tiba-tiba Sienna teringat Raven.
Rekta tertawa. “Gue anak teater, tapi nggak bawa foundation ke mana-mana juga, Sien. Ini gue bawa make up karena habis beli aja. Sehari-hari juga gue nggak make kali.”
“Berarti nggak wajar kan! Tuh, bener dugaan gue. Ada yang nggak bener sama itu orang.”
Kerutan terbentuk di kening Rekta. “Dugaan apa? Ada hubungannya sama lo yang tadi ketawa-tawa sendirian di koridor?”
“Iya, itu Kak Raven. Masa di tasnya ada foundation sama conceler. Gue bisa berasumsi itu bukan punya dia kalau cuma sekali, ini dua kali gue mergokin. Nggak bener itu orang!”
Rekta makin tertawa. “Lo sensi banget sama dia kenapa sih?”
“Dia itu nyebelin Mas. Pinter cari muka, baik-baik sama orang tapi gue dijahatin.” Sienna menggerak-gerakkan jemarinya dengan geram seperti hendak mencakar. “Nyebelin banget pokoknya! Huahhh!”
“Gue mau dengar ceritanya coba.”
Dengan semangat menggebu-gebu, Sienna menceritakan ulah Raven yang membuatnya jengkel. Mulai dari perkenalan mereka, MPLS susulan, undangan gadungan, jebakan OSIS, dan semua hal menjengkelkan dari Raven. Termasuk hobi cowok itu menyibak poni Sienna dan mendongakkan kepalanya. Saking geramnya, Sienna sampai menjambaki rambutnya sendiri sambil bercerita.
“Tunggu sebentar.” Mendadak Rekta menghentikan langkah. Berhenti di penjual pernak-pernik dan mainan untuk membeli sesuatu.
“Beli apaan, Mas?”