~oOo~
Kepalaku dipenuhi prasangka. Otakku dijejali praduga. Kenapa kita terus saling mencela?
~oOo~
“Coba cicipin, apa ada rasa stroberi atau cherry atau mungkin tembakau?”
Sienna tidak bisa membayangkan ekspresi wajahnya saat itu. Mungkin sudah semerah kepiting. Dia jelas tidak sudi menyambar umpan Raven yang kelewatan. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah pergi meninggalkan kawanan terkutuk dan iblis laknat satu itu.
Sayangnya, tempat yang dipilih Sienna jelas bakal mempertemukannya lagi dengan Raven. Ruang OSIS.
Ale meminta semua inti OSIS berkumpul, jadi setelah—entah modus apa yang dilakukan Raven pada Olive, cowok itu masuk ke ruang OSIS. Duduk di sebelah Sienna sambil berbisik.
“Gimana yang tadi? Seru?” Raven mengerling. Suaranya lirih dan hanya bisa didengar Sienna. “Gue bisa mempermalukan lo lebih dari itu, kalau lo terus-terusan mengusik kehidupan pribadi gue.”
Glek. Sienna kehilangan nyali. Semoga di ruangan ini tidak ada yang tahu apa yang terjadi tadi. Ujung jarinya masih memanas kalau teringat peristiwa bibir Raven di jarinya. Dua orang itu saling tatap dalam ketegangan. Sienna berusaha tegar dan Raven berusaha untuk tidak terlihat sangar.
“Guys,” suara Ale memecah ketegangan antara Sienna dan Raven. Ale dengan anehnya mendadak mengumpulkan semua teman-teman inti OSIS. “Gue hari ini ultah, pada mau gue traktir nggak?”
“Anjir gue kira dikumpulin karena ada apaan... gue jelas nggak nolak!”
“Mau!”
“Selamat ultah, Le. Sering-sering ultah ya!”
Ketujuh anggota inti OSIS dijamu Ale untuk merayakan ulang tahunnya. Raven bertugas membawa mobil Ale dan mengantar semua orang pulang. Karena rute rumah Sienna yang melenceng jauh, Raven mengantarkannya paling belakangan.
“Duduk depan. Gue bukan supir taksi online.” Perintah Raven setelah Dito turun dari mobil.
“Nggak bagus deket-deketan, yang ketiga setan,” sahut Sienna bergeming duduk di belakang. Padahal dia sendiri iblis, sambung Sienna dalam hati.
Raven mendengkus. “Pindah, Sienna.” Raven menunggu Sienna berganti posisi sambil menghubungkan ponselnya dengan audio mobil. “Denger ya, gue nyuruh lo pindah biar bisa mantengin Waze. Lo sebenarnya mau pulang atau ngarep nyasar jadi bisa lebih lama semobil sama gue?”
Sambil bersungut-sungut, Sienna membuka pintu mobil dan berganti posisi di sebelah Raven. Mobil langsung melaju begitu Sienna menerima ponsel Raven.
“Arahin yang bener.”
“Iya, ih berisik!” keluh Sienna masih dongkol. Padahal dia sudah berencana tidur di belakang. Raven memang tidak pernah membiarkannya hidup tenang.
Tidak ada obrolan antara keduanya. Sienna hanya sesekali menginterupsi arah. Suasana mobil terasa hening, kecuali musik yang diputar Raven. Melodinya aneh. Lagu-lagunya tidak familiar di telinga Sienna. Kadang kelewat mengentak dan keras, tapi dipagu dengan suara sopran seorang cewek. Tangan Raven mengetuk-ngetuk setir sesekali mengiringi lagu, sementara tatapannya fokus pada jalanan.
Come to me, Ravenheart... Messanger of evil...
Come to me, what’s the news... Here I’m still left lonely...
Ravenheart? Kening Sienna berkerut-kerut mendengarkan lagu dengan seksama. “Lagu apaan sih, Kak? Geje begini.”
“Methal Gothic Symphonic.”
“Serem amat sih, melodinya.” Sienna merinding.
“Lo dengerin lama-lama juga suka. Nama bandnya Xandria, kalau lo mau tau.”
“Nggak. Makasih.”
oOo
“Makasih Kak, tumpangannya.” Sienna turun dari mobil sambil melambai-lambai pada Raven. “Hati-hati di jalan.”
Tapi tampaknya, Raven tidak menggubris salam Sienna. Cowok itu malah menatapi langit malam dan kelebat petir di kejauhan.
“Mau hujan nih, Kak.” Tetesan gerimis menitik di atas kap mobil. “Pelan-pelan aja nyetirnya, bye bye!” Sienna sengaja sok manis supaya Raven segera pulang.
Alih-alih tancap gas, cowok itu malah membuka pintu sebelahnya dan turun dari mobil. Dia berdiri di teras, di sebelah Sienna. Cewek itu mengkerut.
“Kok malah turun? Nggak pulang?”
“Kan, lo bilang mau hujan.”
“Ya terus kenapa? Kan lo pakai mobil, nggak kehujanan juga.”