~oOo~
Diam. Jangan melawan saat kugenggam.
Tenang. Aku tidak sedang mengajak berperang.
~oOo~
“Jangan pergi.”
Sienna menatap jemari Raven yang melingkar di pergelangannya. Dia meneguk ludah sambil menoleh pada Raven. Mata cowok itu masih terpejam rapat. Mungkin Raven cuma mengigau. Sepelan mungkin Sienna berusaha menyingkirkan tangan Raven.
“Jangan!”
Lagi Sienna mengintip. Sekarang, mata Raven sudah setengah terbuka sambil menatapinya horor. “Kak ... ud-udah bel---aarrrrgh!”
Raven menarik lengan Sienna hingga cewek itu terjungkal. Alih-alih menubruk Raven seperti dalam adegan film romantis, Sienna malah terjengkang ke belakang dengan kepala menghantam tepian sofa yang ditiduri Raven.
“Lo kenapa sih, selalu maksa-maksa!” Sienna mengusap belakang kepalanya.
“Udah gue bilang ‘jangan’ kenapa ngelawan?” Raven terduduk dari posisinya.
“Lo boleh ngelarang, tapi lo nggak berhak memaksa!” Pipi Sienna menggembung penuh emosi. “Gue ini manusia, punya hati, nggak bisa seenaknya lo injak-injak. Lo baik ke semua orang, tapi sama gue?!”
“Lo nggak suka?” Tangan Raven menyangga dagu sambil mengangguk-angguk.
“Jelas enggak!”
Raven melengos. “Lo ke sini ngapain?”
Mata Sienna mengerjap-ngerjap. Sepertinya Raven tidak mendengar semua celotehannya. Dia berhenti menggosok belakang kepalanya. Hati-hati dia mulai bicara. “Lo beneran mau gue mundur dari OSIS, Kak?”
“Gue bilang ‘lo boleh mundur’, bukan ‘lo harus mundur’. Kalau gue kasih perintah lo bilang pemaksa, kalau gue kasih pilihan lo bingung. Maunya gimana, hmm?”
Mata Sienna membulat. Wajahnya cerah seketika. Kegalauannya terangkat. “Jadi gue nggak harus mundur?”
Raven bangkit dari duduk. “Gue benci orang yang mencampuri urusan pribadi gue, tapi gue lebih benci sama orang yang nggak bisa bedain mana urusan pribadi dan profesional.” Dia berjalan melewati Sienna dan sesaat sebelum membuka pintu dia berpaling, “Lo bisa menyerang kehidupan pribadi gue, tapi lo harus ingat, pembalasan gue pasti lebih keji.”
“Ayo kita bikin kesepakatan.” Sienna sukses membuat Raven urung membuka pintu. “Gue minta maaf Kak, soal kemarin. Gue janji nggak bakal ngusik kehidupan pribadi lo, asal lo bersikap baik juga sama gue.”
Raven tersenyum miring. “Kalau gue nggak mau?”
“Lo harus mau, karena ini demi OSIS.”
“Spill ...” Tangan Raven terlipat di dada.
Sienna tersenyum penuh percaya diri. “Gue mau diperlakukan secara manusiawi kayak yang lain.”
“Emang kemarin-kemarin gue perlakuin lo kayak tumbuh-tumbuhan?”
“Kak ...” Sienna merajuk jengah.
Raven menatap mata Sienna yang sarat permohonan. Jelas dia lelah. Raven merasakan kelelahan yang sama. Rasa lelah ketika dia harus terus mengendalikan diri di hadapan semua orang. Pengendalian yang bisa beristirahat di hadapan Sienna. Tapi ternyata, identitas aslinya tidak terima. Orang lebih suka mengenalnya sebagai Raven sang philanderer. Raven yang harus menyenangkan setiap orang.
“Jadi lo nggak mau gue perlakukan secara spesial?” Tatapan Raven merayap di kejauhan. Rasanya aneh, seperti selapis kertas yang tersobek.