~oOo~
Aku menunggumu berlari menjauh menghindariku, setelah kau tahu siapa aku.
Aku menantimu menghujatkan seribu hinaan kepadaku, setelah kau lihat betapa ketidakberdayaanku.
~oOo~
Scarlet tersungkur ke lantai karena kerasnya dorongan Raven. Tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya. Dia menjerit parau membuat Sienna yang bersembunyi dalam lemari pakaian takut-takut keluar.
Sienna mendengar segalanya. Semuanya. Dia tahu keadaan tidak berlangsung dengan baik jadi dia berusaha keras tidak mengeluarkan suara ketika mengendap ke arah Scarlet. Dikuncinya pintu perlahan. Lalu didekapnya Scarlet dalam pelukan. Dia berusaha menenangkan padahal jantungnya sendiri melompat-lompat keluar.
Erangan dan suara pukulan dibalik pintu terdengar mengerikan. Dua orang itu meringkuk ketakutan di lantai. Dan tanpa disadarinya, Sienna ikut mengeluarkan air mata. Menangis tanpa suara. Apa yang harus dilakukannya?
Sienna berusaha menarik Scarlet menjauh dari pintu. Selain mengurangi terdengarnya suara pukulan mengerikan di balik pintu, dia juga mengantisipasi suara sedunya sendiri. Benang kusut yang masai di otaknya tak mampu terurai, bagaimana akhirnya dia terjebak dalam situasi ini. Terjebak kekalutan yang membuatnya tidak tahu harus berbuat apa.
Suara kengerian di luar sudah berakhir. Tidak ada lagi makian dan teriakan Reno. Suasana benar-benar hening ketika langkah-langkah berat terdengar menjauh diiringi suara mesin mobil yang meninggalkan garasi.
“Pulang,” kata Raven dingin begitu Sienna membuka pintu kamar Scarlet. Cowok itu menarik pergelangan Sienna dan menyeretnya keluar.
Sienna menyentuh punggung tangan Raven yang memar. Dia bertahan untuk tidak mengikuti seretan Raven. “Kak!”
“Kenapa lagi?” Raven menghentikan langkah. “Banyak materi buat gosip besok di sekolah. Mending lo balik buat ngerangkum dan milih gosip mana yang bisa lo publish duluan.”
“KAK!” Sienna menyentakkan tangan Raven. Dia tidak punya kalimat penghiburan yang tepat. Hanya air mata yang mengalir turun lagi. Dan entah bagaimana, Sienna punya keberanian untuk merapatkan diri ke sisi Raven dan mendekap lengan cowok itu.
Dan menangis.
Sienna menangis.
Tangis yang dia sendiri tidak tahu untuk apa. Permintaan maaf karena terseret kehidupan pribadi cowok itu? Penyesalan karena perlakuan buruk yang selama ini dilakukannya? Atau, rasa kasihan yang tidak dibutuhkan Raven?
Sekarang, Sienna tahu kenapa Raven begitu benci kehidupan pribadinya diketahui orang lain. Sienna juga tahu darimana luka-luka di tubuh cowok itu berasal. Sienna sangat tahu, Raven tidak pernah menanggalkan kemeja atau jasnya bukan semata demi kerapihan. Raven ingin menyimpan lukanya seorang diri. Tanpa berbagi. Tangis Sienna makin kencang.
“Apa gue minta ditangisi?”
Sienna menggeleng. “Gue nggak nangis buat lo.”
“Ya udah, kalau gitu balik sana.” Raven merenggangkan cekalan Sienna tapi cewek itu menggeleng. “Terus mau lo apa?”
“Biarin gue nangis dulu,” tutur Sienna di antara isak. Bahu Raven melorot. Cewek itu menangis makin kencang.
Kemudian, Scarlet muncul di balik pintu dengan mata bengkak. Napasnya masih belum teratur. Dia terhuyung mendekati Raven. Menangis sambil merapalkan kata maaf yang terbata. Dia memeluk Raven erat-erat hingga cowok itu mengaduh kesakitan.
Dua orang perempuan menangis di kiri kanannya. Raven benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Ini pada ngapain?”