~oOo~
Kegagalan terbesarku adalah melepaskanmu.
Kekosongan terdalamku adalah ketiadaanmu.
Penyesalan terparahku adalah kehilanganmu.
~oOo~
Scarlet tidak pernah meninggalkan surat ketika dia minggat. Tidak kali ini, tidak juga kepergiannya yang lalu-lalu. Scarlet biasanya menuliskan pesan lewat chat, bukan surat layaknya orang minggat dalam novel atau sinetron. Benda di atas meja memang berupa serakan kertas—yang mungkin diambil buru-buru dan lupa dibereskan, tapi itu bukan surat. Meski begitu, Raven yakin akan menemukan petunjuk penting di sana. Dengan cepat Raven menyambar hamparan kertas di atas meja.
Sebuah tiket kereta bertuliskan nama Scarlet. Dalam tiket yang dipesan dari sebuah agen tiket itu tertulis nama pemesan, Naura Kirana, ibu mereka.
Mata Raven membelalak tak percaya. Dadanya ditabuh hingga sesak hingga seluruh tubuhnya gemetar. Raven menolak untuk percaya hingga kepalanya tumpang tindih oleh prasangka yang membuat hatinya remuk.
Jadi, ibu mereka ada dibalik menghilangnya Scarlet selama ini? Ibu mereka yang telah menghilang dan tidak pernah berkirim kabar? Ibu yang dirindukan Raven setengah mati dan didoakannya setiap hari agar kembali? Ibu yang diharapkan akan menjemput dirinya dan Scarlet, lalu memulai hidup yang baru?
Sacarlet yang dilindungi Raven sepenuh hati tahu soal Naura dan dia menyembunyikan semua ini. Scarlet yang menjadi satu-satunya motivasi hidup Raven mengkhianatinya. Scarlet, satu-satunya orang yang membuat Raven mempertaruhkan segalanya, tidak peduli pada Raven.
Raven begitu mencintai adiknya dan merindukan ibunya, tapi tidak berlaku sebaliknya. Tidak ada rasa sakit yang lebih menyiksa dari ini. Tidak ada rasa tidak berarti lebih dari ini. Tidak ada kata patah karena luluh lantak lebih tepat menyebut semua ini.
Kini, tidak hanya tangan Raven yang gemetar. Sekujur tubuhnya gemetar. Rasa lemas merayap dari ujung jari kaki ke seluruh tubuh. Cengkeraman jemari Raven di meja kayu tidak cukup kuat menopang tubuhnya yang limbung. Cowok itu berlutut di lantai dengan dada yang sakit sekaligus sesak.
Raven terisak.
Dalam diam.
Dalam hening.
Dalam kesendirian.
Raven ingat benar, hujan sore yang membawa ibunya pergi. Raven sudah berusaha keras melindungi ibunya dari kekerasan papa, tubuhnya babak belur, tapi ibunya tetap pergi.
Naura menyeret koper di bawah hujan sambil menangis. Dia hanya membisikkan, “Mama pergi supaya kamu nggak harus melindungi Mama lagi. Mama janji, Mama akan kembali untuk membawa kamu dan Scarlet. Pegang janji Mama. Sampai waktu itu tiba, kamu harus jaga Scarlet. Oke?” Lalu dia tidak berbalik lagi. Tidak peduli Raven meraung menangis sambil memeluk adiknya, tidak peduli Scarlet yang meronta di bawah pelukan Raven, tidak peduli Raven yang membiru menahan sakit di dada dan di tubuhnya.
Sejak saat itu, Raven membenci hujan sore hari yang menyeretnya pada kenangan memilukan. Sejak saat itu, Raven menghindari hujan yang mengingatkan rasa rindunya pada Mama. Raven tidak membenci ibunya karena dia percaya pada janji Naura bahwa dia akan kembali. Untuknya dan Scarlet. Dia percaya saat itu akan tiba. Tapi sekarang, Raven tahu bahwa janji itu telah lama diingkari.
Naura hanya menghubungi Scarlet bukan, dirinya.
Scarlet yang dilindunginya, berpaling pada Naura. Tanpa dirinya.
Jadi, apa arti semua yang dilakukan Raven selama ini?
oOo
Gedoran Sarah di pintu membuat Sienna terenyak dari rebahan minggu pagi. Dia bangun dengan enggan sambil bergerak menuju pintu.
“Kenapa, Ma?” Sienna mengucek-ngucek mata dengan malas. “Sekarang bilang dulu siapa yang datang. Jangan kayak kemarin-kemarin. Udah acak-acakan yang datang Mas Rekta. Dandan rapi yang nongol Raven. Dih, males banget!”
Eh, masa rasanya aneh gue bilang males sama Raven.
“GR!” Sarah menyentil dahi Sienna. Lamunan sesaat cewek itu menyingkir. “Temenin Mama ke pasar.”