~oOo~
Kita berbeda dalam banyak cara
Tak sama dalam beragam makna
Kita takkan bisa bersama
Meski dipasung sejiwa seraga
~oOo~
“Jadi kesimpulannya, ekskul teater bakal bikin pentas tunggal dalam waktu dekat dan ekskul lain harus turut serta menyemarakkan acara.” Raven bersiap menutup rapat OSIS yang digelar sepulang sekolah.
Rapat itu dihadiri oleh semua koordinator sekbid dan semua ketua ekskul. Sienna duduk tepat di sebelah Raven, tapi cowok itu memperlakukannya seolah tak nampak. Zelina dan Nino bolak-balik menyenggol Sienna, tapi cewek itu hanya mengedikkan bahu. Kalau sekentara itu Raven menghindarinya, Sienna semakin digerogoti rasa bersalah. Dia tidak bermaksud membuka rahasia Raven di depan banyak orang. Dia hanya marah, sedih, dan kecewa karena Raven menyembunyikan segalanya sendiri. Namun, kenapa Sienna harus kecewa karena itu? Berbagi atau tidak adalah hak setiap orang. Berbagi kepada siapa, itu juga BUKAN URUSAN SIENNA. Kenapa Sienna merasa perlu tahu?
Tanpa sadar Sienna mengetuk kepalanya sendiri dengan iPad.
“Oke, Sienna?” Tahu-tahu Raven menoleh pada Sienna.
Sienna yang semula melamun langsung tergeragap. Wajahnya memerah dan anehnya, jantungnya jadi berdegup kencang. “A-apa, Kak?” tanyanya takut-takut.
“Ekskul lain yang berminat untuk bikin booth pameran di sekitar acara, bisa menghubungi lo buat pembagian lokasi.” Raven biasanya akan langsung menegur atau minimal menyindir Sienna. Namun kali ini, cowok itu mengulang penjelasannya dengan baik dan benar.
“Oke, Kak.” Sienna menunduk ke iPad-nya lagi. Harusnya Sienna senang karena Raven tidak marah seperti biasanya. Namun, kenapa kali ini Sienna malah kecewa tidak dimarahi Raven? Gue bego apa gimana, sih?
“Kalau gitu rapat hari ini gue tutup. Thanks buat kalian yang udah meluangkan waktu,” pungkas Raven.
Para peserta rapat bergegas meninggalkan ruang OSIS. Beberapa bergegas segera menyampaikan ke anggotanya, buru-buru ingin segera bergabung dengan ekskul yang mereka ikuti, atau bergegas untuk pulang karena mendung hari ini begitu pekat.
Seiring sepinya ruangan, detak jantung Sienna berubah kencang. Nino sudah pamit beserta pengurus inti OSIS yang lain—sepertinya semua sadar sesuatu terjadi antara dua orang itu. Mereka sengaja memberi ruang supaya keduanya menyelesaikan masalah. Tersisa Sienna dan Raven. Cewek itu memang menunggu saat yang tepat untuk bicara pada Raven. Bicara soal apa, Sienna sendiri tidak yakin. Dia hanya ingin membuat perasaan tak nyaman di hatinya karena kejadian jam istirahat tadi menyingkir.
Raven beranjak dari kursinya menuju komputer di sudut belakang.
“Kak,” seru Sienna dengan degup jantung yang turut menderu.
“Hari ini ada latihan teater, kan?” Tiba-tiba Raven menatap Sienna tajam. “Kenapa lo masih di sini?!”
Sienna melongo. Bibirnya yang membuka terkatup lagi. Dia mengerjap berulang. “Kak, gue mau minta maaf.”
“Kalau telat, minta maaf sama anggota teater lo, bukan sama gue.”
“Bukan itu, Kak. Tapi soal—“
“Sienna, pentas tunggal teater lo sebentar lagi dan lo malah berlama-lama di sini? Tanggung jawab lo di mana?!!”
Tangan Sienna meraup wajahnya dengan gemas. Dengan kaki mengentak kesal, dia meninggalkan ruang OSIS. Menyerah untuk mengungkapkan rasa bersalahnya. Padahal, jarang-jarang dia punya motivasi sekuat ini untuk minta maaf.
oOo
“Sebelum latihan inti, kita pemanasan dulu.” Selepas briefing, Rekta memimpin sesi latihan teater jelang sore ini. “Gantian. Siapa yang belum pernah mimpin pemanasan?”
“Sienna aja.”
“Iya. Sienna belum pernah.”
“Cus, Sien!”
Semua suara dan pandangan tertuju pada Sienna. Namun, cewek itu hanya memandangi garis-garis lantai di auditorium. Bergeming bagai patung dan pikirannya melayang entah ke mana.
“Sienna?” Rekta berjalan mendekati cewek itu.
Secha, teman sekelas Sienna langsung menyikut lengan Sienna.
“Hah? Apa?”
“Lo nggak apa-apa?” Mata Rekta membulat. Kekhawatiran jelas tercetak di wajahnya. “Eh, maaf. Nggak apa-apa, Mas-eh, Bang.” Sienna buru-buru meralat.
Di ekskul teater, Rekta dipanggil dengan ‘Bang’ dan Sienna berusaha menyesuaikan dengan teman-temannya. Tidak sekali pun dia pernah bercerita bahwa mereka sudah lama kenal. Kecuali pada Raven saat cowok itu mengatainya makan bersama Rekta dengan modus curhat.
“Kalau nggak ada apa-apa, pimpin pemanasan, Sien.”
Biasanya Sienna senang kalau mendapatkan kesempatan ‘tampil’ di depan Rekta. Saat seperti ini Sienna merasa punya peluang untuk mendapat perhatian Rekta. Tapi hari ini, dia sedang tidak menginginkan itu. “Jangan. Jangan gue, Mas, aduh, Bang. Jangan gue, please.”
“Kenapa?”
“Eng-itu.” Sienna sibuk menyelipkan untaian rambutnya ke belakang telinga dengan gugup. “Gue... gue lagi nggak enak badan, Bang.”
“Kalau gitu istirahat aja di belakang.” Rekta mundur dari Sienna.
Sienna tersenyum. Perhatian Rekta yang selalu dicarinya, hari ini tidak berarti apa-apa.