~oOo~
Ketakutan hanya milik mereka yang hidup
Begitu juga dengan harapan
~oOo~
Kejora mengajak Sienna duduk di kantin yang sepi. Namun sejak tadi, cewek itu tidak kunjung bicara tentang sesuatu. Sienna terus menunggu meski hatinya jemu. Dia tengah berburu waktu, mencari tahu pada yang lain kalau Kejora tidak bersedia membantu.
“Selama di DHS, Raven gimana?” Akhirnya Kejora bersuara.
“Emm... baik kok, Kak.” Sienna meneguk ludah. Rasanya tak lagi nyaman menyudutkan cowok itu setelah tahu segala yang terjadi.
“Jadi philanderer juga?”
“Hehe...” Sienna hanya meringis, tapi Kejora tahu itu dugaannya benar. “Tapi dia nggak bermaksud jahat,” gumam Sienna entah pada siapa. Tatapannya kehilangan fokus dan bibirnya mengembangkan senyum samar.
“Eh, gimana?” Kejora melirik Sienna yang menerawang.
“So-sori, Kak Jora.” Sienna menarik lamunannya. “Ya, gitu. Kayaknya Kak Raven cuma pengin akrab sama semua orang. Dia... peduli banget sama orang lain.” Tiba-tiba dada Sienna jadi sesak. “Dia jadi tempat curhatannya anak-anak DHS, tapi anak-anak DHS sendiri nggak tahu dia sebenarnya.”
Tatapan Kejora terangkat dari gelas es jeruk ke mata Sienna yang berkaca. Hatinya kembali goyah. Cewek di hadapannya seperti kelewat putus asa hingga mencari Raven ke sini. Di antara sekian banyak siswa DHS, tempat di DHS, rumah atau apa pun dia memilih ke Wasesa berarti ada dua kemungkinan. Pertama, cewek ini sudah menelusuri semua tempat yang mungkin. Kedua, cewek ini tahu bahwa Wasesa mungkin memberinya petunjuk.
Kejora mendesah. Tidak yakin apa yang dia tahu akan membantu, tapi kenyataan bahwa Raven ingin hal itu disimpan rapat berarti menandakan hal itu penting. “Raven menyembunyikan luka,” kata Kejora setelah menghela napas panjang. Sangat panjang.
Rav, maaf. Kalau langkahku salah, kamu boleh membalas pengkhianatanku.
oOo
“Rav, bisa nggak, jangan godain gue.” Kejora mendelik kesal. Dia menarik kembali bukunya dari tangan Raven. Semalam dia tidak sempat belajar untuk ulangan jam pelajaran ketiga karena syuting hingga dini hari. Jam kosong adalah satu-satunya kesempatan baginya belajar tapi Raven Kresna Amarta malah menggodanya.
Raven menggeleng. “Permintaan lo lebih sulit daripada nyuruh gue ngeringin samudra, Kejora.” Cowok itu lalu mengamati wajah Kejora sedemikian rupa. Dia menunduk untuk berbisik tepat di sebelah Kejora. “Lo habis nangis, ya?”
Pertanyaan itu sontak membuat wajah Kejora kaku. Balok es baru ditimpakan di atas kepalanya. Semalam, dia sudah memohon supaya syuting dipercepat dan dia bisa mempersiapkan diri untuk ulangan. Alih-alih cepat selesai, syuting bahkan berlangsung hingga dini hari. “Ng—“
Raven meletakkan jarinya di bibir. “Jangan menyangkal, My Ravenheart. Gue nggak bakal bilang ke siapa-siapa. Dengan satu syarat.”
Kejora mendongakkan kepala. Mengeluh dalam hati. “Asal bukan minta jalan bareng ya, Rav.”
Raven tersenyum manis. Tidak mengatakan apa pun tapi langsung menarik Kejora keluar kelas, menyusuri lorong kelas dan berbelok ke sisi belakang kelas yang sepi. Mata Raven menyisir sekeliling, memastikan tidak ada orang yang membuntuti mereka atau menguping.
“Ajari gue menyamarkan bekas luka.”
“Menyamarkan luka?” Kening Kejora berkerut rapat. Dia tidak paham kenapa Raven meminta hal itu.
Cowok itu mengangguk. “Ya, seperti yang lo lakuin ke kantung mata lo yang membengkak.” Raven mengusap kantong mata Kejora sambil tersenyum penuh arti.