~oOo~
Kepadamu yang mendamba binasa
Percayalah, masih tersisa asa
~oOo~
“KAK RAVEN!” Tanpa memedulikan tatapan kesal Raven, Sienna bergerak melingkarkan lengan di bahu cowok itu dan mendekapnya. “Akhirnya lo sadar juga.”
Kening Raven membentuk kerutan. Sejak Sienna memegang-megang tangannya, dia sebenarnya mulai bangun tapi enggan membuka mata lantaran malas ditanya-tanyai. “Sadar? Gue tidur, bukan koma apalagi mati.”
“Tapi ka-kata Kak Adila, lo...” Sienna melipat bibir, menelan kembali kata-katanya. Adila bilang Raven sedang kritis makanya dia meminta Sienna menjaganya. Namun sekarang, cowok itu mengaku dia cuma tidur barusan. Sienna takut sekali salah bicara, tapi dia juga sangat ingin tahu. Sienna bingung bagaimana memenuhi keingintahuannya tanpa menyakiti Raven. Dia melepas pelukannya.
“Jadi Kak Adila yang ngasih tahu lo? Ngomong apa saja dia?”
Kepala Sienna buru-buru menggeleng cepat. “Nggak ada kok. Dia cuma butuh bantuan buat nungguin Kak Raven karena ada ujian mid-semester.”
Dari spontanitas gelengan kepala Sienna yang terburu-buru, Raven tahu Sienna sedang menutupi sesuatu. “Udah? Gitu doang? Terus lo langsung mau datang ke sini tanpa tanya kenapa gue di RS?” Raven membuang muka. “Melihat track record lo yang pengin banget gue dirisak massa, gue nggak yakin itu terjadi.”
“Kak Adila ngasi tahu kok.”
Raven tegang oleh antisipasi tapi bibirnya tidak bisa menahan diri untuk bertanya. “Apa katanya?”
“Lo nabrakin diri ke tiang listrik, masuk RS dengan alasan kepalanya benjol sebesar bakpao biar bisa mangkir dari tanggung jawab sebagai Ketua OSIS.” Sienna cekikikan sendiri.
Raven berdecak. Tatapan sengitnya melunak, berubah jadi sebentuk senyuman. Melegakan bahwa Sienna mungkin tahu sesuatu tapi dia tidak berusaha membahasnya. Setelah apa yang dialaminya belakangan, Raven merasa tidak ingin bertemu siapa pun. Tapi melihat Sienna sore ini, rasanya berbeda. Cewek itu tidak menghakimi atau mengasihaninya. “Kayak pernah dengar itu cerita siapa.”
“Setya Novanto.”
Keduanya lalu tertawa. Begitu tawa itu terhenti, atmosfir kecanggungan terbentuk. Mengendap dan mengapung di langit-langit rumah sakit.
Pintu terbuka. Seorang dokter dan suster masuk ke ruangan Raven memecah kecanggungan.
“Sudah bangun?” Dokter itu tersenyum pada Raven dan bergerak ke sisi cowok itu. “Gimana perasaan kamu?”
Raven tidak tahu harus bicara apa, jadi dia menyambar kosakata yang paling standar. “Baik.”
“Harus lebih baik dong, kan sudah ada yang nungguin.” Dokter itu tersenyum menggoda pada Raven. Sesekali dia memperhatikan perawat mengecek selang infus. “Saya periksa lukanya dulu, ya.” Dibantu perawat, dokter membuka bagian atas baju rumah sakit yang dikenakan Raven.
Saat itulah, Sienna melihat pangkal leher Raven diballut perban yang dilumuri bekas merah dan kekuningan. Tanpa sadar Sienna mengatupkan rahang. Luka itu...
“Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, jangan mengambil jalan pintas kalau tidak tahu di mana ujungnya. Kamu akan tersesat semakin jauh.” Sambil mengecek perban, si dokter berbicara pada Raven. “Kamu masih muda, banyak cinta dan cita yang menunggu di luar sana. Masa mau menyerah begitu saja?” Kepala dokter itu meneleng jenaka lalu berbisik pada Raven. “Lagian nggak kasihan sama yang nungguin?” bisiknya sambil memberikan kode kedipan ke Sienna.
“Dokter mau mengecek luka, kan? Bukan mau ngejekin saya?” Raven bergumam dengan kesal.
Sienna meliriknya dengan sengit karena cowok itu bersikap tidak sopan. Lalu Sienna kembali teringat bahwa Raven benci intervensi soal masalah pribadi. Dia selalu bersikap seperti itu kalau ada orang yang mengusik masalahnya.