HELLOVE

aya widjaja
Chapter #28

[28] Lil Love You Share

~oOo~

Kepada langit kusampaikan rindu

Kepada malam kubisikkan asa ingin bertemu

Kepadamu, kusimpan segala agar kau TAK TAHU yang kumau

~oOo~

 

Ranjang sebelah diisi penghuni baru. Aktivitas sebelah ruangan itu sedikit mengusik Raven. Bukan karena dia terus berteriak mengeluh sakit, bukan pula karena pasien itu seorang gadis manis yang sedikit lebih muda darinya, bukan karena pembesuknya kelewat banyak dan berisik, bukan. Namun karena seorang wanita paruh baya yang dengan sabar menghadapi kerewelan putrinya yang mengeluh dan meminta berbagai hal. Wanita paruh baya itu adalah seorang ibu yang bicara dengan lembut dan menenangkan putrinya yang tengah sakit.

Mendadak, Raven merasa begitu kosong. Ibu. Kata itu mencekik tenggorokannya dan memanaskan matanya.

Raven tidak merasa iri. Tidak sekali pun terlintas di pikirannya ingin ditunggui Naura dalam keadaan seperti ini. Keinginannya untuk mati bukan sebuah aksi mencari perhatian agar Naura mengasihaninya. Dia menggores pangkal lehernya bukan sebagai self harming atau meluapkan rasa sakit. Segala rasa sakit yang dirasakannya dalam hati dan kekerasan fisik yang dilakukan Reno lebih dari cukup. Raven benar-benar berharap untuk mati dan tidak perlu bertemu siapa pun.

Meski begitu, Raven jadi mengingat-ingat. Pada kondisi berbeda, bertahun-tahun yang lalu, kapan terakhir kalinya Naura menungguinya saat dirinya sedang sakit? Raven tidak ingat kapan. Mungkin ketika dirinya masih sangat kecil, karena begitu beranjak dewasa, Raven tidak pernah tega membiarkan mamanya tersaput rasa khawatir. Jika rasa sakit itu masih bisa ditahan, Raven memilih beristirahat di UKS sekolah atau di rumah Adila. Jangan sampai mamanya tahu. Kekhawatiran Naura terhadap kekerasan yang dialaminya dari Reno sudah cukup menyiksa dan Raven tidak tega menambah beban ibunya.

 “Raven?”

Raven mendongak tidak percaya. Seorang wanita paruh baya masuk ke biliknya sambil tersenyum. Bukan ibunya, melainkan ibu Sienna. Raven mengerjap untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sebuah imajinasi.

Tangan Sarah menjinjing kantong belanja dan setumpuk kotak bekal. Lengan kirinya mengepit tas jinjing. “Raven, ya ampun. Kamu beneran pindah tidur di rumah sakit?”

Raven mengerjap. Tanpa menunggu tanggapan, Sarah meletakkan barang bawannnya di nakas. Dia mulai membuka semua barang bawannya dan menatanya di atas meja.

“Tante kok…” Raven bingung harus berkata apa. Menengok teman sekelas yang sakit sudah jamak dilakukan. Menengok orangtua sahabat yang sakit, masih biasa dilakukan. Tapi ditengok oleh ibu seorang teman—Raven tidak yakin dirinya dan Sienna bisa dianggap berteman karena mereka lebih cocok bermusuhan—adalah sesuatu yang… aneh.

“Sienna itu memang minta dijewer. Dia bilang, ‘Mama sebagai ibu rumah tangga gabutan—tidak punya kegiatan, mau nggak Sienna kasih kesibukan?’. Terus Tante tanya, ‘Apa?’. Kata dia, ‘Nemenin temen Sienna yang saking gabutnya pengin pindah tidur di rumah sakit.’”

Mau tak mau Raven jadi tertawa. Kemarin Sienna menungguinya sampai pukul sepuluh malam. Dia baru pulang waktu Adila datang. Raven pikir, dia akan sendirian di rumah sakit karena Adila harus kuliah dan Sienna harus sekolah. Ayahnya jelas tidak tahu karena Raven meminta Adila merahasiakan ini dan berkilah bahwa ada kegiatan OSIS yang mengharuskannya menginap. Namun, Sienna malah mengirimkan mamanya. Sinting! Raven yakin Sienna pasti mengatakan sesuatu tentang dirinya kepada ibunya, sehingga Sarah mau berkunjung. Pikiran itu membuat Raven tak nyaman. Namun ternyata, sama seperti Sienna, Sarah tidak bertanya apa-apa soal apa yang dialami Raven.

“Kamu udah makan belum?” tanya Sarah sambil membuka tumpukan kotak bekal. Aroma wangi menguar di udara. “Isi kulkas Tante chicken wings semua, Rav. Jadi maaf ya, menu utamanya chicken wings..”

“Tante kenapa repot-repot?”

“Kok bisa-bisanya kamu bilang Tante repot? Anak Tante sendiri saja ngatain Mamanya gabutan.” Sarah mengambil satu kotak kosong dan mengisinya dengan nasi, beberapa potong chicken wings, dan beberapa lauk lain. Dia meletakkan sendok dan menyerahkannya ke pangkuan Raven. “Makan dulu.”

Raven menekan remote agar ranjangnya setengah tegak dan punggungnya bisa bersandar. Dia memandangi kotak bekal di tangannya dengan canggung.

“Kok cuma dilihatin, sih?” Sarah meraih piring dari pangkuan Raven dan mulai menyuapi cowok itu.

“Tante, jangan.” Raven berusaha mengambil alih kotak dan sendok itu dari Sarah. “Saya bisa sendiri.”

Lihat selengkapnya