~oOo~
Bahkan udara yang tak bertuan dirindukan setiap hembusan insan
Lantas bolehkah mengharap rengkuhan yang jelas bukan milik Tuan dan Puan?
~oOo~
Sienna sibuk sepanjang hari jelang pementasan tunggal teater. Auditorium harus disiapkan supaya kondusif dan sesuai dengan standar pementasan. Mulai dari pemasangan panggung, backdrop untuk menutup semua celah yang potensial menyelinapkan cahaya tak diinginkan dari luar, latar, tata artistik, tata cahaya, space alat musik, ruang ganti, alur pintu masuk dan keluar, segalanya harus siap dalam dua hari ini.
Sebagai anggota baru, Sienna memang tidak mendapatkan peran di atas panggung. Dia lebih dipercaya sebagai stage manager dan mengurus segala perizinan. Karena kesibukannya, Sienna tidak sempat mengecek keadaan Raven. Padahal dia benar-benar ingin tahu apa cowok itu baik-baik saja. Nggak peduli bahwa pertemuan tadi pagi sedikit canggung dan tidak bisa dibilang menyenangkan, Sienna tetap ingin tahu kondisi Raven. Sadar bahwa dirinya mungkin satu-satunya orang yang tahu keadaan Raven sebenarnya membuat Sienna merasa bertanggungjawab untuk menjaga Raven.
“Sien, alat musik di ruang musik sudah aman buat di angkut ke auditorium?” Rekta menepuk bahu Sienna, membuat cewek itu menarik pandangannya yang melayang ke selasar kelas XI. Rekta ikut menatap selasar kelas XI. Sejak tadi Sienna menatapi sisi gedung yang sama padahal tidak ada apa-apa di sana.
“Eh. Anu. Itu udah aman kok, Bang.” Sienna mengulas senyum canggung. “Gue udah izin sama ketua klub musik.”
Tidak mendapati apa-apa di arah pandang Sienna, Rekta lalu mengacungkan ibu jari tanda bahwa kerja Sienna bagus. Seolah itu tidak cukup, Rekta lantas menyibak poni Sienna yang jatuh ke dahi dan menyelipkannya pada headband yang dikenakan cewek itu.
Sienna tertegun. Tatapannya mengunci Rekta dengan tatapan takjub, tapi juga bertanya. Harusnya dia senang dengan perhatian Rekta, tapi kenapa rasanya biasa saja?
Tiba-tiba Rekta meniup kening Sienna. “Bengong melulu dari tadi. Mikirin apa sih?”
“Nggg…” Sienna menggeleng. “Nggak apa-apa.” Matanya kembali terpaku pada selasar kelas XI. Jam pulang sekolah sudah berlalu setengah jam yang lalu. Suasana sekolah sudah mulai sepi kecuali yang punya kegiatan klub. Apa Raven sudah pulang? “Kak, gue boleh nggak nyari Kak Raven sebentar?”
“Kenapa emangnya?”
“Eh, itu, anu, dia kan, ketua OSIS-nya, ngelapor gitu soal kegiatan ini.” Sienna beralasan. Jemarinya meremasi ujung seragamnya.
“Dia kan, sudah tahu jadwal pentasnya tanggal berapa. Nggak mungkin nggak tahu.”
Sienna menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tak gatal. “Oh, gitu ya.” Bibirnya meringis malu. Sebenarnya memang tidak ada yang perlu dilaporkan. Hanya saja…Sienna ingin punya alasan untuk bertemu Raven. Eh, kenapa begini?
“Pick up yang nganter tambahan level buat stage sudah di depan gerbang, Sien.” Rekta membuyarkan kegalauan Sienna. “Tolong lo arahin ke pintu terdekat auditorium biar gampang ngangkatinnya. Gue panggil anak-anak biar bantu mindahin.”
Sienna cuma bisa mengangguk dan bergegas ke gerbang sekolah. Selesai mengarahkan pick up, dia berusaha membantu teman-temannya mengangkat stage.
“Hei, lo kan cewek. Nggak usah.” Rekta memegang pergelangan tangan Sienna yang siap mengangkat benda berat itu. “Ngerjain yang lain sana.”
Terdengar dehaman pura-pura dari teman-teman klub teater yang lain. Sebelum Secha muncul dan memperkeruh keadaan, Sienna memilih menuruti permintaan Rekta dan dibalas cowok itu dengan menepuk puncak kepalanya.
Waduh, kok begini? Sienna bergegas balik badan sebelum semakin digoda. Dan saat berbalik itulah matanya menangkap sesosok bayangan di atas gedung sekolah. Sienna menyipitkan mata untuk memastikan siapa sosok yang berdiri di atap gedung sesore ini. Lalu sosok itu lenyap. Jantung Sienna berdentam tak karuan. Perasaannya diliputi kecemasan. Apa benar yang dilihatnya…
Tanpa meneruskan pikiran yang berputar di otaknya, Sienna sontak berlari menuju tangga terdekat. Dia melangkah dua-dua anak tangga sekaligus supaya cepat mencapai atap gedung. Napasnya putus-putus dan kakinya terasa keram karena diforsir tanpa pemanasan. Sienna tidak peduli. Yang dia tahu, dia harus bergegas.
“KAK RAVEN!” Dengan napas terengah, Sienna memanggil-manggil sosok yang berdiri di tepi atap gedung. Dia memacu langkah dengan tenaga yang tersisa ke arah Raven. “KAK RAV…”
Setelah teriakan Sienna entah keberapa kalinya, Raven menoleh. Keningnya berkerut dan wajahnya terlihat ingin tahu, tapi bibirnya terkunci rapat.
“Kenapa Kak Raven di sini?”
Kerutan di kening Raven semakin rapat. “Kenapa emangnya?”